Senin, 29 Juni 2009

Upacara Ngaben

Upacara Ngaben


LATAR BELAKANG

Dasar-dasar yang menggariskan Bagi setiap umat Hindu melakuauan yadnya bersumber dari Ajaran Tri Rnam , yang dimaksud antara lain :
 Dewa Rnam.
 Pitra Rnam.
 Rsi Rnam.

Dewa Rnam

Menyebutkan setiap umat Hindhu untuk melakukan Yadnya kepada Hyang Widhi Wasa baik dalam prabawa Beliau sebagai pencipta (Brahma ), Pemlihara (Wisnu ) dan sebagai pemrelina (Siwa ) segenap isi halam ini.

Pitra Rnam

Menyebutkan setiap manusia Hindhu melakukan yadnya kepada orang tua dan leluhurnya yang mengadakan, dan memliara umat manusia dengan yadnyanya dalam hidup dan kehidupan ini.

Rsi Rnam

Mengaruskan umat Hindhu untuk melakukan yadnya kehapan Dang Acarya, Dang Adi Guruloka, melalui Yadnya berupa ilmu pengetahuan yang memeberikan penerangan dan penuntun serta selalu membawa umat kejalan Dharma.

Dari ketiga tersebut diatas yang merupakan dasar hukum yang mengharuskan dan wajib manusia melakukan dan mempersembahkan yadnya sebagai pengembalian dan perujudan trimakasih., Sehingga Yadnya bagi umat Hindu Wajib Hukumnya Yang merupakan “ Swadarma Agama” dalam hidup dan kehidupan.

Dalam perkembangan Konsep ajaran Tri Rnam dan Tri Hita Karana pelaksanaan dalam keseharian bagi umat Hindu dari Dewa Rnam ini berkebang menjadi upacara Dewa yadnya dan Bhuta Yadnya, Pitra Rnam menjadi Pitra yadnya dan manusa yadnya, Rsi Rnam menjadi Rsi Yadnya
.
Demikian halnya dengan upacara Pitra Yadnya, salah satu dari ajaran Panca Yadnya seperti upacara Atiwa-tiwa, Ngaben /Pelebon lebih sering dilaksanakan daripada upacara lainya.

LANDASAN FILOSOPIS.
Menurut ajaran Agama Hindu manusia terdiri dari tiga unsur (lapisan ) yaitu:

 Raga Sarira (badan kasar)
 Sukma Sarira.(Badan astral/halus)
 Antah Karana Sarira(Sangyang Atma/Yang menghidupakan)

Raga Sarira/badan kasar.

Badan yang dilahirkan karena nafsu /panca maha Bhuta yang terdiri dari :
 Perthiwi (unsur tanah) Yaitu bagian-bagian badan yang padat
 Apah adalah zat cair (bagian badan yang cair)
 Teja adalah Api Yakni panas badan/suhu badan.
 Bayu adalah Angin Yaitu napas.
 Akasa adalah ether yaitu unsur badan yang terhalus antara lain rambut dan kuku.

Raga sarira terbentuk dari sari-sari Panca Maha Bhuta yang berasal dari berbagai jenis makanan yang terdiri dari Sad Rasa yaitu:
“Madhura/manis, Amla/asam, Tikta/Pahit, Kothuka/pedas, Ksaya/sepet, Lawana/asin”.
Sad rasa tersebut terkosumsi oleh bapak dan Ibu ,dalam tubuh dia akan menjadi tenaga dan kama yang terdiri dari Kama petak dan Kama Bang .
Pada saat Pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui proses kemudian dia membentuk telur/antiga dalam garba ibu , dan telur-telur tersebut berkembang dihidupi secara alami oleh ibu dengan mendapat zat-zat kehidupan yang masuk melalui sembilan penjuru lubang (lubang mata dua,hidung dua, mulut, telinga dua, dubur dan pusar).Dan zat tersebut berubah menjadi janin(badan bayi), air nyom,darah, lamas/kekere dan ari-ari . Pada umur tertentu datanglah Bayu, idep,sabda dan turunlah Sang Hyang Titah dan Sanghyang Tuduh akhirnya lahirlah anak manusia ke dunia.
Dari kesembilan enerji yang masuk terrsebut diatas, disamping menjadi panca Maha Bhuta , dia berubah menjadi Panca Tan Matra Yang berproses menjadi Sukma sarira yakni Citta,Mnah, Indriya, da Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yang disebut Tri Guna(Sat twam ,Rajas, Tamas).
Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia, manah adalah pikiran dan perasaan, Indriya alam keinginan, dan Ahamkara, adalah keakuan unsur-unsur ini yang disebut Sukma Sarira.
Alam transparan ini merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendalian citta tersebut diatas, bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi atma yang akan pergi meninggalkan badan, proses pengembalian badan kasar kepada asalnya Panca Maha Bhuta secara cepat dan persisnya atman kealam Pitra serta untuk memutuskan keterikatannya dengan badan kasar.
Proses inilah Yang disebut dengan Ngaben.
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit yang disebut dengan Bhuta Cuil dan atmannya mendapatkan Neraka seperti yang termuat dalam lontar-lontar :

Dalam lontar Tattwa Loka Kreti disebutkan:
1. Yan Wong mati mapedem ring prthiwi salawasnya tan kenenan Wdhi widhana, Byakta matemahan ro gha ning bhuana, haro-haro gering merana ringrat, atemahan gadgad (Tatwa loka Kreti Lamp 5a)
Artinya, kalau orang mati ditanam pada tanah selamanya tidak diupacaaaarakan diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana didunia, menjadi gadgad tubuhnya(Tatwa Loka Krtti Lamp 5a).
2. Kunang ikang sawa yan tan inupakara atmanya menadi neraka,munggwing tegal penangsaran, mengebewki, wadhuri ragas, ketiksnan panesing surya. Menangis angisek – isek, sumambe anak putunya, sang kari maurip.
Lingnya:” duh anaku bapa, tan ana mantra wlas ta ring kawitanta, maweh kita juga juga mawisesa, angen den abebecik –becik , tan eling ring rama rna, kawittanta, weh tirta pangentas jah tasmat kita setananku, wastu kita amanggih alphayusa, mangkan temahning atma papa ring sentana” (Lontar Tatwa Loka kreti Lemb. 11).
Yang artinya:
“ adapun sawa yang tidak diaben atmanya akan berada dineraka, pada tegal/tanah yang panas, yang penuh dengan pohon maduri reges, terbakar oleh sengattan matahari, menangis tersedu –sedu, memanggil keturunanya anak cucunya yang masih hidup dengan berkata sebagai berikut:
:Oh Anak-anak keturunanku, tidak sedikitpun rasa belas kasihmu kepada leleuhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya(hara warisan) tidak ada yang saya bawa, kamu juga yang menikmati , pakai baik-baik tidak ingat pada orang tua (leluhurmu), air tirta pengentas, pemastuku, semoga kau umur pendek demikianlah kutukannya kepada keturunannya”
Dari uraian pada lontar Tatwa loka Kertti tersebut sebagai dasar hukum dan dasar pemikiran bagi umat Hindu untuk menjadi landasan upacara ngaben itu.
Dalam lontar puja mamukur disebutkan:
“ Ong Pretiwi Apah Teja Bayu akasa, pretiwi sangkaning ganda mulih maring pretiwi, apah sangkaning masa mulih maring apah, teja sangkaning rupa mulih maring teja, bayu sangkaning ambekan mulih ring bayu , angkasa Sangkaning sabda mulih ring akasa(Puja mamukur,1b,8a)



Dalam upacara palebon disebutkan:
“Ong raga saking tirtha mulih ring tirtha wewayangan saking bayu mulih ring bayu, sarira sakaninng tan ana mulih ring tan ana, les maring prabha samuruping bayu langgeng, rgha mulih maring kepala, bayu mulih ring idep, atma mulih maring angkasa.

Ucap sastra( Upacara Pati hurip)
“Kunang ikang sawa pinedhem smasana ingaran makingsan, dinunung aken ring sangyang Ibu Pretiwi, ikang atma riknaksa denira Bhatari Durga panguluning setra agung, mangkana ketatwaning sawa mapedem.
“Yan Mendhem wyadin ngisanang ring lemah sawa ika kinrebesihin, riwus ika bhusananin sarwa petak manut tingkahing busana duking urip dadi lanag miwah wadon,nanghing angangge sarwa petak, tegul iti-itik benang putih jempol jrji tangan kalih, wyadin inan jrji cokore kalih, ,kwangi mejinah solkas asiki tacebing ring tangan sawa kadi anak mebakti , segau tepung tawarin, tirthain , raris ringkes husung antuk pepaga, ring wus rawuh ring setra hilehang ping tri,ngutarayana pailehe, raris lebok akena ring babang, walantagaika antuk rwaning maduri,raris pendem, yan rare durung maketus ngangge dwaganing nyuh gading payuk anyar.

Lontar Tatwa Kepatian
“ Muah tingkahhing wong mati mapedem wenang mapengentas wawu mapedem, palannya polih lungguh sang Atma Munggwing Batur Kemulan.

Lontar Widhi sastra
“Yan liwat setahun, winastu de Bhatara Yama, Tawulan Wangke ika mawak bhuta, sangsara atma ika.
Dari kutipan diatas jelaslah sudah akan maksud upacara ngaben atau Mreteka Sawa tersebut, dimana yang pokok adalah mengembalikan unsur raga(badan) kepada asalnya dialam ini.
Kedua ,mengantarkan atma kealam pitra dan memutuskan keterikatan atma dengan badan raganya. Hal itu diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dengan sarana tirtha pengentas ( dengan sarana Tirta Pengentas pekingsan apabiala sawa dipendem,dengan sarana Tirta Pengentas Pengabenan apbila sawa diaben ) Cirinya Tirta pangentas pekingsan tidak memakai sarana kertas Ulan tage diganti dengan daun maduri ( Rwuaning maduri )
Ketiga ,sawa harus sudah diaben ( dipreteka) tidak melebihi dari satu tahun( ayua liwar saking setahun yan liwar matemahan bhuta cuil).
Keempat Mreteka sawa bukanlah dilakukan sekali jadi Upacara ini terdiri dari dua bagian yaitu Upacara pendahuluan adalah upacara pengrikesan(Ngeringkes), upacara selanjutnya bisa Nyekeh atau malelet ( Mekingsan dilemah ), dikubur atau dibakar titip, atau langsung diaben secara tuntas.
Nyekeh atau melelet sering juga disebut masimpen, setelah selesai ngeringkes, sawa dinaikan ditumpang salu dirumah adat. Sesajen dan pujung dihaturkan kepada mendiang. Sejak itu pula penyekehan sudah mulai dilaksanakan dengan memasang damar Kurung lengkap dengan sesajennya , yang diletakkan disamping balai adat. Damar Kurung itu merupakan sarana permohonan kepada sangyang Ageni, agar kaletehan yang dipancarkan sawa mendiang diblokir terbatas, yakni hanya sebatas tanah pekarangan keluarga mendiang saja. Dengan demiklian seluruh desa Adat tidak kena Cuntaka.
Selama nyekeh berlangsung, setiap purnama dan tilem upakara damar kurung dan upakara lainnya agar dibuat ulang (diperbarui). Tanpa pengulangan ini desa adat akan berkeberatan atas adanya “sawa permanen” dalam areal desa, yang berakibat menjadi penular kecuntakaan.
Mengubur (mekingsan)
Yang dimaksukan dengan mengubur disini adalah mempunyai arti mekingsan (Nitip), sawa yang dikubur akan digali setelah tiba saatnya upacara ngaben. Dalam hal upakara mekingsan juga mempergunakan tirta pengentas, akan tetapi tirtha pengentasnya tidak sama dengan tirta pengentas pengabenan, Kalau Mengubur(mekingsan ) Tirta Pengentas yang dipakai adalah “Tirtha Pengentas Pekingsan” yang tidak memakai kekitir dan welantaga yang merupakan sarana untuk meresmikan pengalihan dunia kehidupan itu.
Tirta Pengentas Pengabenan, Salah satu Cirinya adalah:
Memakai Kekitir dan walan taga yakni berkas kertas bersurat khusus, yang berisi bendera kecil bertangkai lidi. Dan hanya dapat dibuat pada hari upacara tersebut (tirta pengentas pengabenan pantang untuk dihinapkan).
Kesipulan
Upacara ngaben adalah merupakan Swadarma Agama (Wajib Hukumnya).
b. Tidak ada alasan bagi orang lain /Institusi untuk mempersulit (mengalangi) orang beryadnya (ngaben).
c. Mekingsan terdiridari :
1. Mekingsan Dilemah desebut dengan nyekeh sawa, seperti yang disebutkan dalam Ucap Sastra ( Upacara Pati Urip )
2. Mekingsan Dipertiwi , dengan jalan sawa dipedem di Setra.
3. Mekingsan Digeni dengan cara sawa dibakar dan abunya dianyut .
d. Kenyataan dimasyarakat selama ini , kebanyakan yang terjadi “Adat yang diagamakan bukan Agama yang diadatkan “ Realitanya orang mati dikatagorikan nyebelin. Bukankah didalam melalukan upacara pitrayadnya , melakukan juga upacara Dewa Yadnya ?
e. Melakukan salah satu yadnya dari Panca yadnya, agar tidak tabrakan satu dengan yang lainnya , landasan tata ruangnya adalah konsep ajaran “ Tri Mandala “.

6 komentar:

  1. rahajeng, tiang sangat mengapresiasi bentuk-bentuk tulisan seperti ini , dalam hal ini dapat memberikan suluh bagi umat hindu bali yang sehari-hari dan sudah dari dahulu menjalankan yandnya kerti berdasarkan atas weda yang disarikan dalam lontar karena sesuai dengan sosio-kultur masyarakat bali. ingat kita sekarang ini berada di bali bukan diindia maupun di daerah lainya dipermukaan bumi ini. kita adalah kita bukan orang lain artinya keyakinan kita adalah keyakinan kita jangan menggunakan keyakinan orang lain apalagi yang bermaksud menyesatkan. lebih lanjut saya merasa bangga akhirnya kita mempunyai suatu wadah yang dapat menghantarkan kita dari keluar dari lembah kemunafikan (bahwa kita yang berhasil mempertahankan agama hindu bali hingga masih eksis seperti saat ini)Bravo hindu bali !!

    BalasHapus
  2. Ampure, saya selama ini masih bingung dengan dasar hukum Ngaben, apakah Ngaben merupakan ajaran agama Hindu ataukah improvisasi dari ajaran Hindu (adat) ?..., karena di India asal dari agama Hindu tidak ada Ngaben, demikian pula di Hindu selain Hindu Bali juga tidak mengenal Ngaben. Seperti diulas di atas, ada Lontar yang menyatakan jika tidak diaben dalam waktu tertentu, Roh Si Mati akan Masuk Neraka dan badannya menjadi penyakit Bumi..., yang benar aja tu Lontar...!, emang Surga Hindu bisa dibeli...?, lalu dimana hukum Karma Phala tempatnya ?,..sepertinya perlu diluruskan isi Lontar itu..!, isinya kok ngancam2 seperti ayat2 dalam kitab suci agama sebelah, sukseme

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Sangat Tertarik untuk sedikit menanggapi pertanyaan saudara Satya Sudirajati.
      1. Prinsip Ngaben Sudah Pasti Ajaran Agama Hindu. Karena Pengembalian Panca Maha Butha dan Penyucian Roh Termuat dalam Sastra/Tattwa Hindu. Baik itu yang berasal Dari India atau yang dikutip di Bali. Knapa Kita Harus Ngaben/Kremasi/Mendem. Karena itu proser Pengembalian Badan Kasar Manusia kepada Unsur Asal Mulanya. Dan Pelepasan Keterikatan Atma/Roh dari Jasad. Sehingga Roh Menjadi Roh Suci/bersih yang akan Siap Menjiwai lagi (Punarbawa)sesuai dengan Karmanya.
      2. Di India atau di Daerah lain yang menganut Ajaran Hindu pasti Melakukan Prinsip Ngaben sesuai dengan Adat Istiadatnya. Karena Hindu Sangat Menghormati Local Genius.dan Sangat Flexible dalam pelaksanaanya.Yang Terpenting Prinsip Utamanya tidak Menyimpang. Contoh di India disebut Kremasi dan dilaksanakan dipinggir Sungai.
      3. India bukanlah Asal Muasal Agama Hindu melainkan di India Hindu berkembang dan dianut Masyarakagnya secara konsisten. Asal Agama Seluruhnya Dari Timur Tengah ( Ground Zero Jalur Gaza ) dan Hindu adalah Agama Pertama didunia. Ketika Keyakinan itu di Wadahi (Windhu atau Hindu ) dan dilaksanakan dengan Aturan paten (Agama)
      4.Apa yang Disurat dalam Lontar diatas itu benar adanya. Kalau tidak dilaksanakan upacara Atiwa tiwa dalam waktu tertentu Maka jasad yang Meninggal akan menjadi Tawulan / sampah Penyakit seperti halnya bangkai binatang Meninggal. Dan Rohnya akan Sengsara/Neraka. Sehingga perlu dilakukan upacara atiwa tiwa /Ngaben. Dengan 2 cara yaitu Membakar atau Mendem.
      Coba saja Ilustrasikan kalau jasad Leluhur kita tidak dibakar atau di pendem atau ditempatkan dalam suatu tempat yg khusus. Apakah kita tdk merasa sengsara?
      5.Surga dan Neraka Bisa di Beli /Mayahin tapi tidak Cukup dengan Uang Saja. Karena Tujuan Kita dilahirkan Kembali Menurut Hindu Reinkarnasi adalah untuk menebus Dosa dosa kita denga Dharma dan Artha. Jadi Lontar itu bukanlah Ancaman isinya. Tapi sebagai Sastra Pengingatan kita BerAgama Hindu. Punya Cara Khusus.
      6. Sebaiknya kita jangan membandingkan bandingkan Kitab Suci Karena Itu Adalah KEYAKINAN.
      Ampura itu yg bisa tyang bagikan semoga ada manfaatnya. Bila tidak mengena dan sesuai dipersilahkan untuk mengabaikannya. Salam Sathi lan Rahayu.

      Hapus
  3. Ada beberapa umat yang kebingungan dgn kondisi demikian,terbebani dengan kondisi sosio-kultur yg mengutamakan ritual atau adat.Hindu adalah agama yang fleksibel dpt berkembang sesuai perkembangan zaman.Memudahkan umat mencapai Moksa at Nirwana yaitu tak terikat dgn keduniawian serta berhentinya proses reinkarnasi kita kedepan.Dan adapula susastra untk zaman kali, yg sengaja dibuat olh Maha Rsi. Semoga kedepannya ada solusi lebih bijak, mengingat bagi kelas ekonomi kebawah ttp kesulitan membeli upakara tingkt pling bwh(nistamning).Dan biaya bisa dialokasikan untk pendidikan dan danapunia kpda brahmana atau kpd ank yatimpiatu.

    BalasHapus
  4. mohon pencerahannya :
    apa benar orang yg melakukan upakara mekingsan ring geni, harus melakukan upakara pengabenan selambat"nya 1 th
    setelah upakara mekingsan ring geni di lakukan,
    mohon pencerahannya..
    sedangkan bagaimana kalau keluarga yg punya jasad mekingsan ring geni tsb blm punya cukup biaya selama 1th tsb
    apa ada solusi lain...???
    SUKSME.

    BalasHapus
  5. om swastyastu atu aji...sampai saat ini kami masih mrasa bingung dengan makna dari damar kurung dalam upacara pengabenan,dulu klo ngaben damar kurung dihitung dan disamakan dg jumlah sawa..tapi blakangan ini damar kurung dibuat hanya satu ..apakah boleh demikian..mohon pencerahannya atu aji,,sukseme

    BalasHapus