Senin, 30 Desember 2024

Air, Kehidupan, dan Tantangan Modernitas: Perspektif Hindu Bali

Air, Kehidupan, dan Tantangan Modernitas: Perspektif Hindu Bali


Oleh: IBN.Semara M.

Dalam pandangan masyarakat Hindu Bali, air adalah elemen suci yang menjadi sumber kehidupan. Tidak sekadar memenuhi kebutuhan fisik, air dipandang sebagai simbol dari Bhatara Wisnu, penjaga kelestarian dan keberlanjutan alam semesta. Keyakinan ini diwujudkan dalam pembangunan pura-pura suci seperti Pura Taman Sari, Tirtha Empul, Seganing,  Selukat dan yang lainya. Tempat-tempat ini tidak hanya menjadi sumber air bersih, tetapi juga pusat spiritualitas dan ritual keagamaan. Air di pura-pura ini dipandang sebagai "tirta" atau air suci, yang digunakan untuk penyucian dalam upacara keagamaan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan pura-pura tersebut mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Siklus alami air—mengalir dari gunung ke dataran rendah, menyuburkan tanah, dan akhirnya bermuara ke laut—dipandang sebagai simbol kehidupan yang harus dihormati dan dijaga. Namun, harmoni ini menghadapi tantangan besar di era modern, ketika air tidak lagi hanya dipandang sebagai elemen spiritual tetapi juga sebagai komoditas ekonomi.

Transformasi Perjalanan Air

Di masa lalu, air dari mata air pegunungan mengalir bebas ke sungai-sungai, sawah, dan pemukiman, membawa kesuburan dan kehidupan. Namun, kini air diambil dari sumber mata air suci, diangkut menggunakan truk tangki menuju pabrik-pabrik di dataran rendah untuk diolah dan dikemas. Setelah itu, air dalam botol plastik diberi label berbagai merek dan didistribusikan ke seluruh wilayah, termasuk kembali ke dataran tinggi. Perjalanan air yang dulunya sederhana menjadi rantai produksi yang kompleks.

Ironisnya, air yang dalam tradisi Hindu Bali dianggap sebagai berkah kini menjadi barang dagangan. Perubahan ini membawa dampak besar, baik secara ekologis maupun spiritual. Eksploitasi mata air pegunungan untuk kebutuhan industri menyebabkan penurunan debit air, mengurangi pasokan bagi masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup pada sumber air tersebut untuk ritual dan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, distribusi air dalam kemasan menciptakan jejak karbon yang besar, sementara limbah plastik dari botol kemasan menjadi ancaman serius bagi lingkungan.

Dampak terhadap Tanah dan Lingkungan

Tanah, yang sebelumnya menjadi media alami bagi aliran air, kini kehilangan sebagian besar fungsinya. Pabrik-pabrik air kemasan dan jalur distribusi menggantikan ekosistem alami, mengubah tanah menjadi infrastruktur ekonomi. Di sisi lain, tanah di sekitar sumber mata air menghadapi ancaman erosi dan degradasi akibat eksploitasi berlebihan.

Hubungan spiritual masyarakat Bali dengan air dan tanah juga terpengaruh. Mata air yang dianggap suci kini harus berbagi fungsi sebagai bahan baku industri. Ini menciptakan ketegangan antara tradisi yang menghormati air sebagai elemen sakral dan realitas modern yang memandangnya sebagai komoditas.

Paradoks dan Pelajaran

Modernitas membawa manfaat praktis—air kemasan mempermudah akses ke air bersih di berbagai wilayah, termasuk daerah terpencil. Namun, proses ini memutus siklus alami air dan mengabaikan nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi dalam tradisi Hindu Bali. Paradoks ini mengingatkan kita bahwa perkembangan teknologi dan ekonomi harus sejalan dengan penghormatan terhadap alam.

Masyarakat Hindu Bali, meskipun menghadapi tantangan modernitas, tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional. Ritual penghormatan terhadap air dan tanah tetap dilakukan, meskipun jumlah dan kualitas air suci mungkin telah terpengaruh. Upaya ini menunjukkan pentingnya menjaga harmoni antara modernitas dan tradisi, antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan alam.

Mencari Keseimbangan Baru

Untuk menjaga keberlanjutan air sebagai berkah, dibutuhkan langkah konkret, seperti konservasi sumber mata air, pengelolaan limbah plastik, dan pengembangan teknologi ramah lingkungan. Industri air kemasan juga perlu berkomitmen untuk mengambil air secara bijaksana, tanpa merusak ekosistem lokal. Di sisi lain, masyarakat harus didorong untuk mengurangi ketergantungan pada air dalam kemasan dan kembali menghormati siklus alami air.

Keseimbangan antara modernitas dan tradisi adalah kunci untuk menghadapi tantangan ini. Masyarakat Hindu Bali mengajarkan bahwa air bukan sekadar elemen fisik, tetapi juga simbol spiritual yang menghubungkan manusia dengan alam dan Tuhan. Dengan menjaga penghormatan ini, air akan tetap menjadi sumber kehidupan dan keberkahan bagi generasi mendatang.