"Mula Keto: Pemaknaan Filosofis di Balik Upakara Hindu Bali"
Istilah mula keto sering terdengar dalam percakapan masyarakat Bali, terutama saat kegiatan merangkai atau menyiapkan upakara (banten).
Ungkapan ini memiliki makna yang bervariasi, tergantung pada siapa yang mengucapkannya:
1. Bagi yang memahami agama dengan baik, mula keto mengacu pada pemahaman mendalam bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah kebenaran yang telah ditetapkan. Contohnya, bentuk matahari, bulan, dan bintang memang sudah seperti itu adanya, sebagai wujud harmoni dan tatanan alam semesta.
2. Bagi yang memiliki pengetahuan terbatas, ungkapan ini dapat mencerminkan kurangnya pemahaman tentang filosofi di balik tindakan atau ritual yang dilakukan.
Sebagai contoh, seorang "tukang banten" mungkin menjawab "mula keto" ketika ditanya tentang tujuan atau makna pembuatan banten, tanpa benar-benar memahami filosofi yang melandasi tindakannya.
Banten adalah salah satu elemen penting dalam tradisi Hindu Bali. Lebih dari sekadar simbol fisik, banten mengandung nilai-nilai filosofis yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta.
Banten dipandang sebagai potret diri manusia (raganta tui). Dalam proses merangkai banten, setiap komponen merepresentasikan elemen kehidupan dan sifat manusia. Hal ini menjadi bentuk introspeksi diri, bagaimana seseorang mengatur hidupnya agar selaras dengan ajaran agama.
Secara simbolis, banten mencerminkan alam semesta (andabhuana). Setiap elemen dalam banten melambangkan elemen makrokosmos, seperti:
Canang sari: simbol rasa syukur.
Tepung tawar: lambang penyucian.
Buah dan bunga: representasi kehidupan dan kelimpahan alam.
Filosofi ini menegaskan bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, dan harmoni antara keduanya harus selalu dijaga.
Banten juga dipandang sebagai manifestasi atau simbol Tuhan yang tak terpikirkan dan tak terdefinisikan (niasa). Dalam ajaran Hindu Bali, Tuhan sering kali digambarkan sebagai nirguna brahman—Tuhan tanpa wujud—yang hanya dapat dipahami melalui simbol-simbol spiritual.
Dalam konteks ini:
Banten menjadi medium yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.
Proses merangkai banten adalah bentuk pengabdian dan meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Banten juga dipahami sebagai bentuk komunikasi spiritual, atau "surat" kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Melalui banten, umat Hindu Bali menyampaikan rasa syukur atas anugerah kehidupan, serta memohon berkah, perlindungan, dan bimbingan.
Setiap elemen dalam banten berfungsi sebagai pengantar doa. Misalnya:
Aroma dupa melambangkan doa yang naik ke hadapan Tuhan.
Rangkaian bunga dan daun mencerminkan keindahan dan kerendahan hati manusia di hadapan alam semesta.
Makna mula keto dan filosofi di balik banten menggambarkan kedalaman ajaran Hindu Bali, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga dengan alam semesta dan dirinya sendiri.
Banten bukan sekadar sarana ritual, tetapi juga media pembelajaran spiritual, introspeksi diri, dan pengingat akan harmoni kehidupan. Melalui banten, manusia diajarkan untuk selalu bersyukur, menghormati alam semesta, dan menjaga hubungan spiritual dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
IBN Semara M.