Sabtu, 14 Desember 2024

Refleksi Kisah Tiga Murid Bhagawan Dhomya: Mengupas Ujian Calon Diksita dalam Konteks Kekinianr

Refleksi Kisah Tiga Murid Bhagawan Dhomya: Mengupas Ujian Calon Diksita dalam Konteks Kekinian

Kisah tiga murid Bhagawan Dhomya dalam Adi Parwa menyiratkan pesan mendalam tentang bakti, kesungguhan, dan ketulusan dalam menuntut ilmu. Ketiga murid tersebut, yakni Sang Arunika (Sang Uddalaka), Sang Utamaniu, dan Sang Weda, menjalani ujian berat untuk membuktikan kelayakan mereka sebagai pewaris pengetahuan sang guru. Ujian yang mereka tempuh menuntut pengorbanan fisik, mental, dan speritual.

Dalam cerita, masing-masing murid menghadapi ujian sesuai kapasitas dan tanggung jawabnya:

1. Sang Arunika diuji melalui kerja keras mengolah sawah, hingga rela mengorbankan tubuhnya untuk menyelamatkan padi dari banjir.

2. Sang Utamaniu diuji dengan perjuangan menahan lapar saat menggembalakan lembu, hingga harus mengorbankan dirinya dari segala kenikmatan duniawi.

3 Sang Weda diuji dalam melaksanakan tugas menyajikan hidangan dengan sempurna.

Ketiganya menunjukkan bahwa ujian yang diberikan tidak sekadar pengujian kecakapan teknis, tetapi lebih pada ujian kesungguhan, keikhlasan, dan bakti kepada sang guru.

Paradoks Ujian Calon Diksita dalam Praktik Kekinian

Di tengah kisah ideal tersebut, praktik diksa pariksa (uji calon diksita) di masa kini justru sering bertolak belakang. Banyak calon diksita yang belum memperoleh bimbingan mendalam sudah diminta menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan filsafat, etika, dan tata cara upacara yang rumit.

Hal ini menjadi paradoks. Sebagai seorang calon diksita, mereka datang untuk belajar, bukan sebagai ahli yang sudah menguasai segala aspek spiritualitas. Seolah-olah, calon diksita harus menunjukkan kompetensi tinggi sebelum memulai proses pembelajaran, sementara kisah dalam Adi Parwa mengajarkan bahwa inti dari ujian calon diksita adalah kesungguhan dan bakti, bukan kecakapan teknis semata.

Kembali pada Esensi Diksa Pariksa

Untuk menjawab permasalahan ini, kita perlu kembali kepada esensi diksa pariksa sebagai langkah awal perjalanan spiritual:

1. Menekankan Niat dan Bakti
Seperti kisah Sang Arunika, ujian seharusnya menggali kesungguhan hati dan niat tulus calon diksita, bukan sekadar penguasaan teori atau pengetahuan teknis. Calon nabe (guru spiritual) bertugas menilai apakah calon diksita memiliki komitmen yang kuat untuk menuntut ilmu dengan sepenuh hati.

2. Pengabdian Sebelum Diksa
Dalam konteks kekinian, calon diksita perlu menunjukkan kesungguhan melalui pengabdian langsung kepada calon nabe. Setidaknya selama dua tahun, calon diksita dapat membantu atau terlibat dalam kegiatan spiritual, sosial, dan ritual di lingkungan calon nabe. Pengabdian ini penting untuk membangun kedekatan emosional, mengenal tradisi, serta mempersiapkan mental dan spiritual sebelum menjalani tahap diksa.

3. Bimbingan Sebelum Pengujian
Sebelum diuji, calon diksita seharusnya diberikan waktu dan ruang untuk belajar. Sebagaimana Sang Utamaniu yang awalnya gagal memahami prinsip berbagi, calon diksita memerlukan proses pembelajaran dan pendampingan untuk mempersiapkan diri, baik secara mental, intelektual, maupun spiritual.

4. Fleksibilitas dalam Pengujian
Ujian yang diberikan kepada calon diksita perlu disesuaikan dengan tingkat pemahaman mereka. Kisah Sang Weda menunjukkan bahwa ujian yang diberikan berdasarkan tugas sederhana, namun dilakukan dengan kesungguhan dan ketaatan. Hal ini bisa diterapkan dalam konteks kekinian dengan menyusun pengujian yang relevan dengan tahap awal pembelajaran calon diksita.

5. Membina Keselarasan antara Calon Nabe dan Calon Diksita
Dalam sistem Hindu, hubungan antara calon nabe dan calon diksita tidak sekadar formalitas. Calon nabe memiliki kewajiban membimbing calon diksita secara personal, mengenali potensi, dan memahami kebutuhan spiritual mereka. Proses ini memungkinkan hubungan yang harmonis dan mendukung perkembangan calon diksita.

Kesimpulan
Kisah tiga murid Bhagawan Dhomya menjadi cerminan penting untuk mengevaluasi praktik diksa pariksa di masa kini. Ujian calon diksita hendaknya tidak hanya berfokus pada kemampuan teknis, tetapi juga pada penilaian bakti, kesungguhan, dan komitmen. Proses pengabdian minimal dua tahun kepada calon nabe dapat menjadi salah satu cara untuk menggali kesungguhan dan mempersiapkan calon diksita secara menyeluruh.

Dengan menghargai proses pengabdian, pembelajaran, dan memberikan ruang bagi calon diksita untuk bertumbuh, kita dapat menciptakan generasi rohaniawan yang benar-benar siap menjalani perjalanan spiritual mereka dengan hati yang tulus dan jiwa yang penuh pengabdian.

IBN. Semara M.