Transformasi Mental dalam Keberagamaan
Agama seharusnya menjadi jalan untuk perbaikan diri, baik secara mental maupun perilaku. Namun, jika seseorang tetap marah, membenci, atau berperilaku buruk meskipun menganut suatu agama, maka esensi keberagamaan mereka patut dipertanyakan. Keberagamaan yang sejati bukan sekadar rutinitas sembahyang, meditasi, atau kunjungan ke tempat-tempat suci sebagai bentuk hiburan spiritual, melainkan harus mampu mentransformasi pola pikir dan karakter diri.
Transformasi mental adalah inti dari keberagamaan. Tanpa perubahan dalam cara berpikir dan mengelola emosi, perilaku tidak akan berubah. Jika keberagamaan hanya menjadi formalitas tanpa mempengaruhi kualitas batin, maka ia kehilangan makna dan tujuannya.
Hal ini terutama penting bagi mereka yang akan menapaki jalan spiritual yang lebih tinggi, seperti menjadi Rohaniawan. Sebelum menjadi Rohaniawan, harus terlebih dahulu mampu mentransformasi diri, baik dari pola pikir, karakter diri, maupun perilaku. Calon Rohaniawan harus menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai kesucian, sehingga ketika telah resmi menjadi Rohaniawan, tidak membawa pola pikir dan perilaku ulaka (keduniawian).
Menjadi Rohaniawan bukanlah jalan untuk memperbaiki kondisi finansial atau mengejar materi, melainkan sebuah panggilan untuk menghidupi nilai-nilai luhur dan menunjukkan perilaku yang mencerminkan sifat-sifat Dewata. Rohaniawan adalah cerminan keteladanan, sehingga keberadaannya tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan spiritual bagi umat.
Agama bukan sekadar alat untuk meraih ketenangan sementara, tetapi merupakan jalan untuk meraih transformasi mental dan perubahan perilaku yang lebih baik. Mari menjadikan agama sebagai cermin untuk memperbaiki diri dan menunjukkan keteladanan, bukan sekadar ritual tanpa makna.
IBN. Semara M.