Minggu, 05 Januari 2025

Diksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual

Diksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual

Oleh: IBN. Semara M.

Diksa Pariksa merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pengangkatan seorang Diksita menjadi Sulinggih. Proses ini tidak hanya sekadar memeriksa kesiapan administratif calon Diksita, tetapi juga menegaskan kesetiaan calon terhadap calon Nabe serta memastikan kemampuannya dalam memahami filsafat, susila, dan tata upacara agama. Diksa Pariksa menjadi langkah awal sebelum seorang calon Diksita dikukuhkan melalui upacara Diksa oleh calon Nabe yang telah membimbingnya.

Dalam pelaksanaannya, Diksa Pariksa melibatkan Tri Guru, yaitu Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Tri Guru memiliki peran utama dalam memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengujian terhadap calon Diksita. Sebagai figur yang mendidik dan mengenal calon Diksita secara langsung, Tri Guru memiliki wewenang penuh untuk menilai kesiapan spiritual, intelektual, dan moral calon tersebut.

Namun, yang menjadi permasalahan utama adalah bahwa dalam beberapa praktik, keterlibatan Sulinggih di luar Tri Guru sering kali melebihi batas yang seharusnya. Meskipun beliau hadir dalam kapasitas sebagai peninjau, ada kalanya beliau mengambil peran sebagai penguji, yang menimbulkan kebingungannya. Apakah peran beliau hanya untuk memberikan nasehat, atau sudah mencampuri wewenang Tri Guru sebagai penguji utama? Jika hal ini dibiarkan tanpa pembatasan, maka muncul kesan bahwa Sulinggih di luar Tri Guru lebih berotoritas dibandingkan dengan Tri Guru yang memiliki tanggung jawab langsung dalam mendidik dan menguji calon Diksita.

Di sinilah letak kerentanannya. Kehadiran Sulinggih yang berperan sebagai penguji dapat merusak tatanan yang telah ada dan berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dalam hierarki spiritual. Meskipun memiliki pengetahuan yang dalam, Sulinggih di luar Tri Guru tidak memiliki hubungan langsung dengan calon Diksita. Beliau tidak berada dalam posisi untuk menilai kesiapan calon dalam konteks yang lebih holistik dan pribadi, yang hanya bisa dilakukan oleh Tri Guru.

Tidak kalah penting, dalam beberapa kasus, kita juga melihat fenomena keterlibatan ulaka atau orang awam atas nama lembaga tertentu yang turut menguji calon Diksita. Praktik ini sangat tidak sesuai dengan etika yang telah diatur dalam tradisi. Ulaka, yang tidak memiliki dasar spiritual atau wewenang yang diakui dalam hierarki Tri Guru, seharusnya tidak terlibat dalam proses yang sangat sakral ini. Keterlibatan beliau tidak hanya merusak esensi pengujian tetapi juga dapat mencederai integritas dan kesakralan proses Diksa Pariksa itu sendiri.

Hal ini menciptakan ruang bagi potensi konflik dan kebingungan dalam proses Diksa Pariksa, yang seharusnya menjadi momen yang sakral dan penuh makna. Jika ulaka atau pihak yang tidak memiliki dasar spiritual ikut menguji, ini dapat menurunkan kredibilitas pelaksanaan Diksa dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap keberlanjutan tradisi ini. Sehingga, sangat penting untuk menegaskan batasan yang jelas mengenai siapa saja yang berhak terlibat dalam proses tersebut.

Sebagai bagian dari tradisi yang berkembang, penting untuk terus mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan Diksa Pariksa agar tetap sesuai dengan etika dan tata aturan yang berlaku. Sulinggih di luar Tri Guru seharusnya hanya berperan sebagai peninjau, bukan penguji, dan ulaka seharusnya tidak memiliki ruang dalam proses ini. Dengan menjaga kejelasan peran dan batasan, kita dapat melestarikan tradisi ini dengan lebih baik di tengah tantangan zaman.

Diksa Pariksa bukan hanya sekadar ritual formal, tetapi juga cerminan harmoni, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam tradisi Hindu Bali. Oleh karena itu, menjaga peran masing-masing pihak sesuai dengan etika dan wewenang yang berlaku sangat penting untuk memastikan bahwa tradisi ini tetap menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan Sulinggih yang tidak hanya suci secara spiritual, tetapi juga bijaksana dan tegas dalam menghadapi perubahan zaman. Jika tidak diatur dengan baik, pergeseran peran ini bisa merusak esensi tradisi dan mempengaruhi kelangsungan warisan spiritual yang telah ada selama ini.🙏