Kenangan di Kaki Gunung Lawu: Harmoni Alam, Sejarah, dan Kebersamaan
Juni 1976
Oleh; IBN. Semara M.
Ketika saya bersa teman-teman Resimen Mahasiswa seluruh Indonesia tinggal di kaki Gunung Lawu pada Juni 1976, pengalaman tersebut menjadi salah satu momen berharga yang mengajarkan arti kebersamaan, keindahan alam, dan kedalaman sejarah. Di bawah bayang-bayang Gunung Lawu, kami menyaksikan keagungan alam yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual dan sejarah yang kental, membuat waktu kami di sana terasa begitu bermakna.
Gunung Lawu, dengan ketinggiannya yang mencapai 3.265 meter di atas permukaan laut, seolah menjadi saksi bisu atas kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, gunung ini tidak hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan warisan Kerajaan Majapahit, seperti Candi Ceto, Candi Sukuh, dan berbagai petilasan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Kehadiran kami di tempat itu terasa seperti menyentuh langsung bagian penting dari perjalanan sejarah bangsa.
Malam-malam di kaki Gunung Lawu memberikan suasana yang berbeda. Di tengah dinginnya udara, kami berbincang dan berbagi cerita, sekaligus merenungkan kisah-kisah tentang Prabu Brawijaya V yang memilih jalan spiritual di akhir hidupnya. Tempat-tempat seperti Hargo Dalem dan Sendang Panguripan seakan menyampaikan pesan keagungan dan kebijaksanaan leluhur. Di tempat itulah, kami merasakan harmoni antara manusia dan alam, sesuatu yang jarang ditemukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
Kehidupan pedesaan yang kami rasakan di kaki Gunung Lawu sangat berbeda dengan kehidupan di Jakarta, tempat kami menjalani pendidikan sebelumnya. Di Jakarta, kami dididik di Pusat Cadangan Nasional di Jalan Salemba Raya No. 14, tepat di depan Rumah Sakit St. Carolus. Hiruk-pikuk ibu kota dengan gedung-gedung tinggi, jalan-jalan yang sibuk, dan suasana yang serba cepat, seolah menjadi kontras tajam dengan kedamaian dan kesederhanaan hidup di desa sekitar Gunung Lawu. Di desa, masyarakat hidup dalam harmoni dengan alam, mengandalkan sumber daya yang tersedia dan menjaga tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Perjalanan kami di Gunung Lawu menjadi sebuah pengingat akan pentingnya menjaga warisan alam dan budaya. Kami belajar tentang penghormatan masyarakat lokal kepada Gunung Lawu sebagai tempat yang sakral. Pantangan, ritual, dan tradisi yang dijaga dengan sepenuh hati oleh masyarakat setempat menjadi inspirasi bagi kami untuk menghormati lingkungan di manapun berada.
Gunung Lawu bukan hanya menjadi lokasi sejarah dan spiritual, tetapi juga tempat kami merasakan arti kebersamaan. Dalam naungan bintang-bintang yang terang, kami, para perwakilan Resimen Mahasiswa dari seluruh Indonesia, menyatukan semangat dan tekad untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pengalaman ini tidak hanya mempererat persaudaraan, tetapi juga memperkaya wawasan kami tentang pentingnya merawat nilai-nilai tradisional di tengah perubahan zaman.
Perjalanan ke Gunung Lawu pada Juni 1976 akan selalu menjadi bagian dari kenangan indah, di mana sejarah, budaya, dan kebersamaan menyatu dalam harmoni yang tak tergantikan. Gunung Lawu telah meninggalkan jejak di hati kami, mengingatkan bahwa kita adalah bagian dari sebuah bangsa yang kaya akan warisan dan kebijaksanaan leluhur.