Ketika Rasa Berbagi Mulai Memudar
Dahulu, hidup memang sederhana, tetapi rasa kebersamaan begitu kuat. Orang-orang berbagi dengan tulus, meskipun mereka sendiri sering kali dalam keterbatasan. Saat sulit untuk makan saja, mereka tetap rela berbagi, walau mungkin esok harus kembali mencari. Tidak ada hitung-hitungan atau rasa takut kekurangan, karena mereka percaya bahwa apa yang diberikan akan kembali dengan cara yang tak terduga.
Namun, seiring waktu, keadaan berubah. Ketika sosial ekonomi membaik, pendidikan semakin tinggi, dan akses terhadap segala sesuatu menjadi lebih mudah, rasa berbagi itu perlahan-lahan memudar. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, orang mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Fokus berpindah dari "kita" menjadi "aku."
Dulu, hidup di desa penuh cerita tentang gotong royong. Orang-orang bekerja bersama di ladang, berbagi hasil panen, dan saling membantu tanpa pamrih. Jika ada yang kekurangan, tetangga pasti datang membantu. Kini, di kota-kota besar, tetangga sering kali bahkan tidak saling mengenal. Pagar-pagar tinggi dan pintu yang selalu terkunci menjadi simbol bagaimana orang semakin menarik diri dari lingkungan sekitar.
Bukan berarti kemajuan itu salah. Justru sebaliknya, peningkatan sosial ekonomi dan pendidikan adalah pencapaian besar. Tapi, di sisi lain, ada harga yang harus dibayar. Ketika segala sesuatu diukur dengan materi, rasa kepedulian mulai tergantikan oleh perasaan kompetisi. Orang lebih sibuk mengejar kesuksesan pribadi daripada meluangkan waktu untuk melihat ke sekeliling.
Rasa berbagi yang dulu sederhana kini sering kali dikaitkan dengan formalitas. Bantuan sosial diberikan melalui organisasi atau lembaga, bukan lagi dari tangan ke tangan. Bukan berarti ini buruk, tetapi ada sesuatu yang hilang: kehangatan dan kedekatan itu.
Pernahkah kita bertanya, mengapa saat memiliki lebih banyak, justru kita merasa lebih sulit untuk memberi? Mungkin karena semakin banyak yang dimiliki, semakin besar pula rasa takut kehilangan. Kita terjebak dalam perlombaan tanpa akhir, merasa belum cukup, meskipun sebenarnya sudah lebih dari cukup.
Padahal, berbagi tidak harus selalu berupa materi. Sebuah senyuman, mendengarkan cerita seseorang, atau meluangkan waktu untuk membantu hal kecil juga merupakan bentuk berbagi. Hal-hal sederhana inilah yang sering terlupakan, padahal dampaknya bisa sangat besar.
Rasa berbagi adalah jembatan yang menghubungkan hati manusia. Tanpa itu, kehidupan menjadi dingin dan kosong. Di tengah kesibukan kita hari ini, mungkin sudah waktunya untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: kapan terakhir kali kita berbagi dengan tulus? Bukan karena diminta, bukan karena merasa harus, tetapi karena hati kita memang tergerak.
Jika dulu, dengan segala keterbatasannya, orang-orang bisa berbagi dengan tulus, mengapa sekarang, di tengah kelimpahan, kita merasa sulit melakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin bisa menjadi langkah awal untuk menemukan kembali makna berbagi dalam hidup kita.