Makna Harmoni dalam Kehidupan di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon
Oleh: IBN. Semara M.
Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon, meskipun sering dilihat sebagai hari-hari suci dalam kalender Hindu Bali, menyimpan makna yang jauh lebih dalam.
Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran , mengajarkan bahwa ketiga hari ini bukan hanya sekadar waktu yang ditandai dengan ritual, tetapi juga momen spiritual untuk menyelaraskan energi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Melalui pemahaman yang mendalam, umat Hindu dapat menemukan keseimbangan, pembersihan diri, dan penguatan spiritual yang merupakan fondasi kehidupan yang lebih harmonis.
Pada saat Purnama, ketika bulan mencapai puncak sinarnya, kita diingatkan akan cahaya ilahi yang hadir untuk menerangi segala aspek kehidupan. Ini adalah momen ketika umat Hindu mempersembahkan berbagai bentuk upakara—canang sari, pejati, daksina—sebagai simbol rasa syukur dan permohonan akan kebahagiaan, kejernihan pikiran, serta perlindungan dari Sang Hyang Chandra. Purnama mengajarkan kita untuk bersyukur dan menjaga pikiran serta hati tetap terang benderang dalam kebajikan.
Sebaliknya, Tilem adalah saat ketika bulan menghilang dari pandangan, melambangkan kegelapan yang memanggil umat Hindu untuk merenung dan melepaskan segala kekurangan dan energi negatif yang menumpuk.
Dalam keheningan malam Tilem, kita diberi kesempatan untuk menghapus segala kekotoran dalam diri, menjernihkan pikiran, dan memulai siklus baru. Ritual seperti persembahan banten sesayut dan canang sari di tempat pemujaan mencerminkan niat tulus untuk membersihkan diri, agar dapat lebih dekat dengan kesucian dan kebenaran.
Kajeng Kliwon, yang muncul setiap lima belas hari, dikenal dengan energi magisnya yang mampu menjaga keseimbangan alam semesta. Pada hari ini, bertemunya Sanghyang Ludra dengan Durga melahirkan kekuatan negatif yang dapat mempengaruhi kehidupan. Di hari Kajeng Kliwon, umat Hindu berfokus pada upaya untuk menetralkan pengaruh negatif tersebut dan memohon perlindungan dari kekuatan yang tidak terlihat. Persembahan segehan warna-warni yang diletakkan di persimpangan jalan menjadi simbolisasi dari usaha untuk menjaga agar energi tetap seimbang dan harmoni tetap terjaga. Selain itu, canang sari yang dipersembahkan dengan doa penuh ketulusan di tempat pemujaan menunjukkan kesungguhan umat untuk menjaga keharmonisan dalam hidup mereka.
Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pamaron mengingatkan bahwa ketiga hari ini memiliki kedalaman spiritual yang hanya bisa dipahami jika dilakukan dengan kesungguhan hati. Di balik ritual sederhana, ada pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana manusia dapat menyelaraskan diri dengan energi alam dan ilahi. Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon menjadi jembatan untuk kembali mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah harmoni yang harus dijaga, bukan hanya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama makhluk dan alam semesta.
Ketiga hari ini—Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon—merupakan pengingat bahwa hidup adalah siklus yang terus berputar antara terang dan gelap, kelahiran, kehidupan, dan kematian.
Seperti yang diajarkan oleh Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pamaron, manusia harus mampu menemukan keseimbangan dalam menghadapi setiap siklus itu. Melalui ritual yang dilakukan dengan niat tulus, kita tidak hanya mempersembahkan yadnya kepada Hyang Widhi, tetapi juga menciptakan harmoni sejati antara diri, semesta, dan energi ilahi yang mengatur segala sesuatu. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna dan penuh kedamaian.