"Pendidikan Anak: Harmoni Tradisi dan Modernitas"
IBN. Semara Manuaba
Mendidik anak adalah perjalanan yang penuh tantangan, apalagi di zaman sekarang, ketika semua serba cepat dan penuh tekanan. Dulu, pendidikan anak di Bali memiliki pola yang lebih natural, seirama dengan alam dan kearifan lokal yang sarat makna. Tapi kini, pola itu perlahan bergeser, meninggalkan tradisi yang begitu mendalam.
Dulu, seorang anak dianggap "meperagan dewa," berbadan dewa, terutama pada masa awal kehidupannya hingga giginya tanggal. Anak-anak pada fase ini dipandang suci, murni, dan berada dalam perlindungan kekuatan ilahi. Karena itu, anak-anak harus diperlakukan seperti dewata—diperlakukan dengan penuh penghormatan dan kasih sayang. Mereka tidak diberi beban besar. Mereka bermain, berlarian di tanah, bergumul di lumpur, dan menjelajahi alam tanpa batasan. Semua itu dianggap sebagai bagian dari pembelajaran mereka tentang semesta.
Melalui permainan itu, anak-anak mengenal keberanian, ketangguhan, dan nilai-nilai kerja sama. Tanpa disadari, mereka juga belajar tentang harmoni dengan lingkungan dan cara menghadapi tantangan hidup. Pendidikan formal biasanya dimulai setelah gigi pertama mereka tanggal, ketika tubuh dan jiwa mereka dianggap siap menerima ilmu baru.
Namun, zaman terus bergerak. Saat ini, anak-anak sudah dituntut belajar sejak usia dini. Belum genap lima tahun, mereka harus mengenal huruf, angka, bahkan membaca dan berhitung. Banyak orang tua khawatir anaknya tertinggal dalam persaingan global, sehingga mereka memilih untuk "mempercepat" masa belajar.
Sayangnya, pola pendidikan seperti ini sering mengabaikan kebutuhan anak untuk bermain. Masa kecil mereka dipenuhi dengan jadwal les dan aktivitas yang melelahkan. Padahal, bermain adalah cara alami bagi anak-anak untuk memahami dunia. Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan merenung: apa sebenarnya tujuan pendidikan?
Kalau kita melihat ke Finlandia, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Di sana, anak-anak baru memulai pendidikan formal pada usia tujuh tahun. Sebelum itu, mereka diajak bermain, berkreasi, dan belajar dari lingkungan. Filosofi pendidikan mereka sederhana: anak-anak harus tumbuh alami tanpa tekanan.
Di Jepang, khususnya di pedesaan, anak-anak belajar dari alam. Mereka membantu orang tua di ladang, mengenal tanaman, dan memahami siklus kehidupan. Hal serupa juga terlihat di Afrika, di mana anak-anak suku Maasai diajak memahami kehidupan melalui pengalaman langsung, seperti menjaga ternak atau berburu.
Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa pendidikan tidak harus selalu berpusat pada buku dan ruang kelas. Ada cara lain yang lebih alami, yang menempatkan kebebasan dan eksplorasi sebagai inti pembelajaran.
Sebagai masyarakat Bali, kita sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai itu. Tradisi kita mengajarkan bahwa masa kecil adalah masa suci yang harus dihormati. Anak-anak butuh waktu untuk bermain, mengeksplorasi, dan belajar tanpa tekanan. Modernisasi tidak harus menjadi alasan untuk meninggalkan nilai-nilai ini. Justru, modernisasi bisa menjadi alat untuk memperkuatnya.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengalir seperti air, mengikuti ritme alami anak. Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu memaksakan. Biarkan mereka tumbuh dengan caranya sendiri, mengenal dunia dengan penuh rasa ingin tahu, dan menemukan kekuatan mereka tanpa tekanan.
Anak-anak adalah harapan masa depan. Kalau kita membiarkan mereka menikmati masa kecil dengan bebas dan bahagia, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang tangguh, penuh cinta, dan mampu menghadapi kehidupan dengan bijaksana. Itulah inti dari pendidikan: bukan hanya mencetak generasi pintar, tapi juga membentuk manusia yang utuh.
... .. .