Langsung ke konten utama

Dang Hyang Nirartha dan Transformasi Sosial di Bali: Dari Buddha ke Siwa-Siddhanta

Dang Hyang Nirartha dan Transformasi Sosial di Bali: Dari Buddha ke Siwa-Siddhanta

 

Oleh: IBN. Semara M.

Kisah Dang Hyang Nirartha merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah spiritual dan sosial Bali. Beliau bukan hanya seorang pembaharu ajaran Hindu-Bali, tetapi juga tokoh yang membawa perubahan mendasar dalam struktur sosial masyarakat.

Namun, ada satu aspek yang sering terabaikan dalam berbagai kajian sejarah, yaitu latar belakang keagamaannya sebelum menetapkan ajaran Siwa-Siddhanta di Bali serta bagaimana beliau secara tegas menolak sistem kasta yang berlaku dalam kehidupan sosial.

Perjalanan Spiritual: Dari Buddha ke Siwa-Siddhanta

Sebagai seorang keturunan Brahmana Wangsa, Dang Hyang Nirartha telah memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran spiritual sejak muda. Sebelum menikah, beliau berpaham Buddha, sebagaimana disebutkan dalam Babad Brahmana dan Dwijendra Tattwa.

Hal ini sangat relevan karena agama Buddha lahir sebagai bentuk protes terhadap sistem kasta yang berlaku dalam ajaran Hindu di India. Buddha Gautama sendiri menolak pembagian masyarakat berdasarkan kasta dan mengajarkan kesetaraan semua makhluk. Pandangan ini sangat berpengaruh pada ajaran-ajaran awal Dang Hyang Nirartha, yang menekankan nilai-nilai inklusivitas dan keseimbangan sosial.

Namun, setelah menikahi Ida Istri Mas, putri dari Dang Hyang Panawaran, seorang keturunan Bergu di Grhya Mas Daha, beliau mengalami transformasi spiritual yang signifikan. Keputusan beliau untuk berpindah dari ajaran Buddha ke Siwa-Siddhanta bukan sekadar perubahan keyakinan pribadi, tetapi juga karena tuntutan sosial dan tanggung jawab keluarga.

Mertuanya, Dang Hyang Panawaran, hanya memiliki satu anak perempuan, sehingga agar garis spiritual keluarga tidak terputus, Dang Hyang Nirartha harus meneruskan tradisi Siwa-Siddhanta yang dijalankan keluarga istrinya. Namun, meskipun beliau akhirnya menjadi penganut Siwa-Siddhanta, beliau tetap menolak sistem kasta yang kaku dan eksklusif.

Transformasi Sosial: Menolak Kasta, Menggagas Wangsa

Selain perubahan spiritual, kontribusi terbesar Dang Hyang Nirartha adalah dalam menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan fleksibel. Sebelum kedatangannya, sistem kasta yang kaku masih berlaku, membatasi peran individu dalam masyarakat berdasarkan kelahiran.

Namun, dengan latar belakang pemahamannya yang kuat terhadap ajaran Buddha, beliau menolak sistem kasta dan memperkenalkan konsep Wangsa, yang lebih fleksibel dan berbasis pada garis keturunan serta peran sosial dalam masyarakat.

Berbeda dengan sistem kasta, yang menempatkan seseorang dalam hierarki tetap berdasarkan kelahiran, sistem Wangsa memungkinkan mobilitas sosial berdasarkan kemampuan dan kontribusi individu. Konsep ini lebih selaras dengan ajaran Buddha, yang menolak stratifikasi sosial yang kaku, tetapi tetap dapat diintegrasikan dalam Siwa-Siddhanta, yang saat itu menjadi kepercayaan utama di Bali.

Penerapan konsep Wangsa membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Masyarakat tidak lagi dikotak-kotakkan dalam struktur sosial yang membatasi, tetapi diberi ruang untuk berkembang sesuai dengan perannya dalam kehidupan. Ini menjadi salah satu langkah reformasi sosial yang sangat maju pada masanya.

Dampak Kolonialisme: Kembalinya Sistem Kasta

Sayangnya, perubahan yang dibawa oleh Dang Hyang Nirartha tidak berlangsung selamanya. Ketika kolonialisme Belanda mencengkeram Bali, sistem kasta kembali dikedepankan sebagai alat kontrol sosial. Belanda lebih memilih mempertahankan struktur kasta karena sistem ini memudahkan mereka dalam mengendalikan masyarakat melalui kelompok-kelompok tertentu.

Akibatnya, konsep Wangsa yang lebih inklusif mulai tergeser, dan sistem kasta kembali diperkuat. Fenomena ini menunjukkan bahwa ajaran agama dan sistem sosial tidak pernah berdiri sendiri, melainkan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan kepentingan penguasa. Reformasi yang telah diperjuangkan oleh Dang Hyang Nirartha mengalami kemunduran karena adanya intervensi dari luar.

Warisan Dang Hyang Nirartha: Harmoni Spiritual dan Sosial

Meskipun sistem Wangsa yang beliau gagas tidak sepenuhnya bertahan, pemikirannya tetap meninggalkan jejak mendalam dalam struktur sosial dan keagamaan Bali. Salah satu warisan penting beliau adalah konsep Padmasana sebagai tempat pemujaan Nirguna Brahman, yang memperkuat ajaran bahwa Tuhan tidak terbatas pada bentuk tertentu.

Selain itu, ajaran Tri Hita Karana, yang menekankan keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam, juga merupakan bagian dari pemikiran beliau yang masih dijalankan hingga saat ini. Beliau mengajarkan bahwa keseimbangan antara unsur-unsur ini adalah kunci keharmonisan hidup.

Dang Hyang Nirartha bukan hanya seorang tokoh spiritual, tetapi juga seorang reformis sosial yang berusaha menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Perjalanan beliau menunjukkan bahwa perkembangan agama di Bali bukan hanya soal dogma dan ritual, tetapi juga hasil dari interaksi kompleks antara keyakinan, adat, dan politik.

Jika kita melihat kembali perjalanan beliau, maka bisa dipahami bahwa transformasi sosial dan spiritual di Bali tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pemikiran dan perjuangan panjang. Warisan beliau bukan hanya dalam bentuk bangunan suci atau ritual, tetapi juga dalam pemikiran yang menantang batas-batas sosial dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

-----0-----

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud