Hari Raya Nyepi: Refleksi dan Penyucian di Tilem Kesanga
Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M.
Hari Raya Nyepi, sebagai hari raya umat Hindu di Bali, memiliki makna yang sangat dalam, tidak hanya sebagai momen untuk berhenti sejenak dari aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai waktu untuk refleksi dan penyucian diri. Dalam konteks ini, Tilem Kesanga dianggap sebagai momen yang ideal untuk melaksanakan Hari Raya Nyepi. Tilem Kesanga, yang merupakan hari bulan mati (tilem) pada sasih kesanga (bulan kesembilan dalam kalender Bali), adalah waktu yang tepat untuk menjalankan Catur Brata Penyepian, yaitu amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Secara filosofis, Tilem Kesanga adalah hari yang paling gelap sebelum menuju terang. Ini melambangkan proses penyucian diri dan alam semesta sebelum memasuki tahun baru Saka. Dalam sistem Wariga (astronomi tradisional Bali), Sasih Kesanga memang diperuntukkan bagi upacara pecaruan atau Bhuta Yadnya, yang bertujuan untuk meruwat dan menyucikan bhuta kala (kekuatan negatif) agar keseimbangan alam tetap terjaga. Sementara itu, Sasih Kedasa (bulan kesepuluh) diperuntukkan bagi Dewa Yadnya, sebagai wujud penghormatan dan penyambutan turunnya Ista Dewata (dewa-dewi) ke bumi.
Dalam Hukum Wariga, terdapat prinsip dasar yang mengatur hierarki dalam penentuan hari baik:
Wewaran alah dening uku, uku alah dening penanggal-panglong, penanggal-panglong alah dening sasih.
Artinya, dalam sistem perhitungan hari, wewaran (siklus mingguan Bali) dapat dikalahkan oleh uku (siklus mingguan yang lebih panjang), uku dikalahkan oleh penanggal-panglong (fase bulan), dan penanggal-panglong dikalahkan oleh sasih (bulan dalam kalender Bali).
Berdasarkan hukum ini, pelaksanaan Hari Raya Nyepi lebih tepat dilakukan pada Panglong ke14 Sasih Kesanga, yang merupakan Tilem Kesanga, karena sesuai dengan prinsip Wariga yang mengutamakan sasih sebagai faktor utama dalam menentukan waktu pelaksanaan upacara besar. Walaupun ada beberapa teks yang menyatakan bahwa Hari Raya Nyepi dilaksanakan pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa, pendekatan berdasarkan Wariga menunjukkan bahwa Tilem Kesanga adalah waktu yang lebih sesuai untuk menyelenggarakan Catur Brata Penyepian sebagai puncak penyucian diri sebelum memasuki tahun baru Saka.
Pentingnya Menjaga Tradisi dan Filosofi
Memindahkan Hari Raya Nyepi ke Penanggal Apisan Sasih Kedasa, seperti yang terjadi saat ini, dapat mengaburkan makna filosofis dari Tilem Kesanga. Tilem Kesanga adalah momen yang tepat untuk membersihkan diri dari segala kekotoran dan kekacauan, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki tahun baru. Dengan melaksanakan Nyepi pada Tilem Kesanga, umat Hindu Bali dapat memastikan bahwa mereka memulai tahun baru dengan keadaan yang bersih dan suci, siap untuk menyambut turunnya Ista Dewata pada Sasih Kedasa.
Selain itu, menjaga tradisi dan filosofi yang telah diwariskan oleh leluhur adalah hal yang sangat penting. Sistem Wariga dan penanggalan Bali telah dirancang sedemikian rupa untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dengan mengikuti sistem ini, kita tidak hanya menghormati leluhur tetapi juga memastikan bahwa kita hidup selaras dengan alam dan kekuatan spiritual yang ada di sekitar kita.
Kesimpulan
Tilem Kesanga adalah momen yang ideal untuk melaksanakan Hari Raya Nyepi, karena mencerminkan proses penyucian diri dan alam semesta sebelum memasuki tahun baru. Dengan menjalankan Catur Brata Penyepian pada Tilem Kesanga, umat Hindu Bali dapat memastikan bahwa mereka memulai tahun baru dengan keadaan yang bersih dan suci, siap untuk menyambut turunnya Ista Dewata pada Sasih Kedasa.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga tradisi dan filosofi yang telah diwariskan oleh leluhur, agar kita dapat terus hidup selaras dengan alam dan kekuatan spiritual yang ada di sekitar kita. Dengan memahami Hukum Wariga, kita dapat melihat bahwa pelaksanaan Nyepi pada Panglong ke14 Sasih Kesanga adalah yang paling sesuai dengan tata cara perhitungan waktu yang diwariskan dalam ajaran leluhur Hindu Bali.