Selasa, 11 Maret 2025

Mengendalikan Pikiran, Menaklukkan Avidya


Mengendalikan Pikiran, Menaklukkan Avidya

Pikiran adalah alat yang luar biasa. Ia mampu menciptakan, menganalisis, dan membawa manusia pada berbagai kemungkinan yang tak terbatas. Namun, sebagaimana pisau yang tajam, pikiran dapat menjadi alat yang berguna jika digunakan dengan bijak, tetapi juga bisa menjadi senjata yang berbahaya jika tidak terkendali. Pikiran yang liar dapat menyesatkan, memunculkan ketakutan, dan memperbudak manusia dalam ilusi. Dalam ajaran spiritual, pikiran yang belum terkendali ini disebut avidya—ketidaktahuan, kegelapan, atau ilusi yang mengaburkan kebenaran sejati.

Di sinilah kesadaran berperan sebagai guru bagi pikiran. Kesadaran adalah cahaya yang menerangi kegelapan avidya, yang memberikan arah bagi pikiran agar ia tidak bergerak liar tanpa kendali. Kesadaran bukan sekadar "mengetahui," tetapi juga "menyadari" dengan jernih apa yang terjadi dalam diri dan sekitar kita. Ketika kesadaran memimpin, pikiran menjadi pelayan yang luar biasa, bekerja sesuai dengan kehendak yang lebih tinggi, bukan sekadar terombang-ambing oleh dorongan insting atau emosi sesaat.

Pikiran adalah yang paling dekat dengan diri. Ia selalu ada, menyertai dalam bentuk suara hati, dorongan, atau bisikan yang muncul dari dalam. Tetapi bisikan pikiran ini harus senantiasa dikawal oleh kesadaran, agar tidak berubah menjadi ilusi yang menyesatkan. Pikiran yang tidak dikawal kesadaran cenderung membisikkan keraguan, ketakutan, dan egoisme. Ia bisa menciptakan kebingungan dan membuat seseorang tersesat dalam pusaran pemikiran yang tidak berujung.

Dalam ajaran Hindu Bali, terdapat konsep Trikaya Parisudha, yang mengajarkan keseimbangan dan kesucian dalam tiga aspek utama kehidupan manusia: pikiran yang baik (manacika), perkataan yang baik (wacika), dan perbuatan yang baik (kayika). Ketiga hal ini harus selaras agar seseorang bisa menjalani kehidupan yang harmonis dan terbebas dari avidya.

Manacika, atau pikiran yang baik, adalah dasar dari segala tindakan. Ketika pikiran dikendalikan oleh kesadaran, ia tidak akan mudah tergoda oleh ego, amarah, atau ketakutan. Pikiran yang jernih akan melahirkan kebijaksanaan dan kasih sayang, bukan keserakahan atau kebencian.

Wacika, atau perkataan yang baik, adalah manifestasi dari pikiran yang jernih. Kata-kata memiliki kekuatan besar, mampu menyembuhkan tetapi juga bisa melukai. Perkataan yang berasal dari kesadaran akan membawa kedamaian, kebenaran, dan kejujuran, bukan sekadar omongan kosong atau kebohongan yang memperdaya.

Kayika, atau perbuatan yang baik, adalah wujud nyata dari pikiran dan perkataan yang selaras. Tidak cukup hanya berpikir dan berbicara dengan baik, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Perbuatan yang selaras dengan kebaikan akan menciptakan harmoni dalam kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika seseorang mampu menyelaraskan Trikaya Parisudha, maka kesadarannya akan semakin terang, pikirannya akan terkendali, dan avidya yang mengaburkan kebenaran akan perlahan sirna. Pikiran tidak lagi menjadi majikan yang berbahaya, melainkan pelayan yang setia bagi kesadaran. Dengan demikian, hidup menjadi lebih tenang, jernih, dan penuh makna.

Maka, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah pikiran kita sudah selaras dengan perkataan dan perbuatan? Ataukah kita masih terjebak dalam kontradiksi antara apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana kesadaran telah membimbing hidup kita, menjadikan kita manusia yang benar-benar memahami dan menjalankan dharma dalam kehidupan.

12 Maret 2003

Oleh IBN : Semara M.