Mengendalikan Pikiran, Menaklukkan Avidya
Pikiran adalah alat yang luar biasa. Ia mampu menciptakan, menganalisis, dan
membawa manusia pada berbagai kemungkinan yang tak terbatas. Namun, sebagaimana
pisau yang tajam, pikiran dapat menjadi alat yang berguna jika digunakan dengan
bijak, tetapi juga bisa menjadi senjata yang berbahaya jika tidak terkendali.
Pikiran yang liar dapat menyesatkan, memunculkan ketakutan, dan memperbudak
manusia dalam ilusi. Dalam ajaran spiritual, pikiran yang belum terkendali ini
disebut avidya—ketidaktahuan, kegelapan, atau ilusi yang
mengaburkan kebenaran sejati.
Di sinilah kesadaran berperan sebagai guru bagi pikiran. Kesadaran adalah
cahaya yang menerangi kegelapan avidya, yang memberikan arah bagi pikiran agar
ia tidak bergerak liar tanpa kendali. Kesadaran bukan sekadar
"mengetahui," tetapi juga "menyadari" dengan jernih apa
yang terjadi dalam diri dan sekitar kita. Ketika kesadaran memimpin, pikiran
menjadi pelayan yang luar biasa, bekerja sesuai dengan kehendak yang lebih
tinggi, bukan sekadar terombang-ambing oleh dorongan insting atau emosi sesaat.
Pikiran adalah yang paling dekat dengan diri. Ia selalu
ada, menyertai dalam bentuk suara hati, dorongan, atau bisikan yang muncul dari
dalam. Tetapi bisikan pikiran ini harus senantiasa dikawal oleh kesadaran, agar
tidak berubah menjadi ilusi yang menyesatkan. Pikiran yang tidak dikawal
kesadaran cenderung membisikkan keraguan, ketakutan, dan egoisme. Ia bisa
menciptakan kebingungan dan membuat seseorang tersesat dalam pusaran pemikiran
yang tidak berujung.
Dalam ajaran Hindu Bali, terdapat konsep Trikaya Parisudha,
yang mengajarkan keseimbangan dan kesucian dalam tiga aspek utama kehidupan
manusia: pikiran yang baik (manacika), perkataan yang baik (wacika),
dan perbuatan yang baik (kayika). Ketiga hal ini harus selaras agar
seseorang bisa menjalani kehidupan yang harmonis dan terbebas dari avidya.
Manacika, atau pikiran yang baik, adalah dasar dari segala
tindakan. Ketika pikiran dikendalikan oleh kesadaran, ia tidak akan mudah
tergoda oleh ego, amarah, atau ketakutan. Pikiran yang jernih akan melahirkan
kebijaksanaan dan kasih sayang, bukan keserakahan atau kebencian.
Wacika, atau perkataan yang baik, adalah manifestasi dari
pikiran yang jernih. Kata-kata memiliki kekuatan besar, mampu menyembuhkan
tetapi juga bisa melukai. Perkataan yang berasal dari kesadaran akan membawa
kedamaian, kebenaran, dan kejujuran, bukan sekadar omongan kosong atau
kebohongan yang memperdaya.
Kayika, atau perbuatan yang baik, adalah wujud nyata dari
pikiran dan perkataan yang selaras. Tidak cukup hanya berpikir dan berbicara
dengan baik, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Perbuatan yang
selaras dengan kebaikan akan menciptakan harmoni dalam kehidupan, baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain.
Ketika seseorang mampu menyelaraskan Trikaya Parisudha,
maka kesadarannya akan semakin terang, pikirannya akan terkendali, dan avidya
yang mengaburkan kebenaran akan perlahan sirna. Pikiran tidak lagi menjadi
majikan yang berbahaya, melainkan pelayan yang setia bagi kesadaran. Dengan
demikian, hidup menjadi lebih tenang, jernih, dan penuh makna.
Maka, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah pikiran kita sudah
selaras dengan perkataan dan perbuatan? Ataukah kita masih terjebak dalam
kontradiksi antara apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan? Jawaban atas
pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana kesadaran telah membimbing hidup
kita, menjadikan kita manusia yang benar-benar memahami dan menjalankan dharma
dalam kehidupan.
12 Maret 2003
Oleh IBN : Semara M.