Langsung ke konten utama

AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF HINDU BALI:

AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF HINDU BALI:
--------------------------------------------
Menjaga Kesadaran di Antara Keyakinan dan Pertanyaan
Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba

Dalam kehidupan manusia, terdapat dua jalur penting yang menuntun perjalanan spiritual dan intelektual, yakni agama dan filsafat. Keduanya berakar pada pencarian makna dan kebenaran, namun menempuh jalan yang berbeda. Agama menawarkan jawaban dalam bentuk keyakinan dan pengalaman transenden, sementara filsafat menawarkan keraguan yang membangun kesadaran melalui pertanyaan dan perenungan logis. Dalam konteks Hindu Bali, kedua pendekatan ini tidaklah saling meniadakan, tetapi justru saling menguatkan.
Agama dalam Hindu Bali tidak semata-mata berupa ritual dan dogma. Ia adalah jalan bhakti marga—pengabdian yang dilandasi pemahaman mendalam terhadap semesta dan diri. Dalam ajaran Hindu, Tuhan disebut sebagai Nirguna Brahman, yaitu Tuhan yang tanpa sifat, tanpa bentuk, dan tak terikat oleh angka maupun kata. Maka pernyataan bahwa Tuhan itu “satu”, atau bahkan “satu setengah”, hanyalah pendekatan simbolik dari pikiran manusia yang terbatas. Keyakinan semacam ini ditanamkan sejak dini melalui keluarga dan tradisi. Namun tanpa landasan filosofis, ajaran ini dapat berubah menjadi dogma yang membelenggu kesadaran, bahkan berpotensi menjadi bentuk penanaman ketakutan yang tidak membebaskan.
Di sinilah filsafat hadir sebagai jalan jnana marga, yaitu pencarian pengetahuan sejati. Dalam ajaran tattwa dan warisan lontar Bali, kita diajak bertanya dan merenung: Siapakah Aku? Apa makna kehidupan? Bagaimana memahami Tuhan di balik simbol? Filsafat Hindu tidak dimaksudkan untuk menolak agama, melainkan untuk menyalakan kembali nyala kesadaran agar praktik keagamaan tidak menjadi sekadar rutinitas kosong.
Filsafat dan agama dalam Hindu Bali ibarat dua mata pisau yang saling mengasah. Ilmu tanpa pengabdian adalah kering; pengabdian tanpa ilmu adalah buta. Keduanya berjalan seiring dalam harmoni. Agama yang didasari kesadaran filosofis akan menjadikan umat lebih bijak, terbuka, dan tidak mudah terperangkap dalam simbol yang membeku. Pendidikan agama pun semestinya membangun ruang berpikir, bukan sekadar membentuk kepatuhan. Anak-anak perlu diajak mencintai semesta sebagai wujud Tuhan, bukan hanya takut pada neraka atau dosa. Keyakinan perlu dirawat dengan kesadaran, bukan paksaan.
Jika dibandingkan dengan tradisi Buddha, kita melihat kesamaan yang mendalam. Dalam ajaran Buddha, filsafat tidak pernah dipisahkan dari praktik spiritual. Bahkan, ajaran seperti Anatta (tiadanya diri), Dukkha (penderitaan), dan Paticca Samuppada (sebab-akibat yang saling bergantungan) adalah hasil perenungan filsafat yang tajam, sekaligus menjadi dasar kehidupan spiritual. Buddha sendiri tidak menganjurkan kepercayaan buta, melainkan menyarankan untuk menguji ajaran-Nya dengan akal sehat dan pengalaman langsung. Agama dan filsafat dalam Buddha menjadi satu kesatuan jalan menuju pencerahan (bodhi), di mana pertanyaan-pertanyaan eksistensial menjadi bahan bakar pembebasan diri.
Sementara dalam pemikiran modern Barat, terutama sejak era Pencerahan, agama dan filsafat justru mulai dipisahkan. Filsafat berkembang menjadi kritik terhadap dogma dan institusi keagamaan. Tokoh-tokoh seperti Descartes, Kant, hingga Nietzsche dan Sartre menempatkan akal, kesadaran, dan kebebasan manusia sebagai pusat pengetahuan dan makna. Dalam konteks ini, agama sering dipandang sebagai kepercayaan yang tidak kritis, bahkan sebagai bentuk ketundukan. Akibatnya, agama ditinggalkan atau dipertanyakan, sementara filsafat menjadi sarana membangun dunia rasional yang sekuler.
Namun, dalam kritik-kritik modern itulah kita melihat perbedaan mencolok. Jika filsafat Barat modern kerap berdiri di luar agama, bahkan menentangnya, maka dalam Hindu Bali dan Buddha, filsafat justru menjadi jalan masuk menuju pemurnian spiritual. Pertanyaan tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.
Maka menjadi tugas kita untuk terus menjaga keseimbangan ini. Antara keyakinan dan pertanyaan, antara pengabdian dan pengetahuan, antara ritual dan kesadaran. Sebab hidup, pada akhirnya, adalah ruang suci untuk memahami, melayani, dan menyatu dengan kehendak semesta.
Rahayu.

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud