Langsung ke konten utama

Dwi Jati : Kelahiran Kembali dalam hati.

Dwi Jati: Kelahiran Kembali dalam Hati
Oleh: Semara Manuaba IBN.
Dalam samudra spiritualitas Hindu Bali, terdapat sebuah konsep agung yang menandai kelahiran kembali—bukan kelahiran raga, melainkan kebangkitan jiwa. Inilah yang disebut Dwi Jati: kelahiran kembali dalam hati, sebuah pencerahan batiniah yang membebaskan manusia dari belenggu ego dan keterikatan duniawi. Seperti bunga teratai yang mekar dari lumpur, Dwi Jati adalah lambang kesadaran murni yang muncul dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.

Sebelum mengalami Dwi Jati, manusia kerap terjebak dalam pencarian semu—kekayaan, jabatan, dan simbol-simbol status lahiriah menjadi tolok ukur harga diri. Namun seiring perjalanan menuju kesadaran, semua itu terlihat fana dan tak lagi bermakna. Seorang yang dahulu membanggakan mobil mewahnya, setelah mengalami Dwi Jati, tak lagi memerlukan pengakuan. Ia kini dihormati bukan karena hartanya, tetapi karena kebijaksanaan yang terpancar dari kerendahan hati dan ketulusan laku hidupnya. Bahkan tak jarang, seorang pengusaha sukses memilih meninggalkan segala gemerlap dunia untuk mengabdikan dirinya pada kemanusiaan—membangun sekolah, rumah sakit, atau memberi makan mereka yang lapar, karena jiwanya telah bersatu dengan kasih semesta.

Begitu pula halnya dengan orang suci. Kesucian sejati bukanlah soal gelar atau tampilan luar, tetapi tentang cahaya batin yang bersinar lewat tindakan. Mungkin ia hanyalah seorang petani tua yang setia pada tanahnya, atau pedagang kecil yang jujur dalam timbangannya, tetapi di dalam dirinya bersemayam welas asih dan kedalaman jiwa yang luar biasa. Bahkan seorang mantan pejabat yang dahulu terjerat korupsi, jika mengalami Dwi Jati, bisa bangkit—menyerahkan diri kepada hukum, memohon ampun, dan mendedikasikan sisa hidupnya untuk memperbaiki kesalahan dengan melayani mereka yang dahulu terdampak oleh perbuatannya.

Mereka yang telah lahir kembali melalui Dwi Jati tidak lari dari dunia, justru menyatu lebih dalam dengannya. Mereka tidak mengasingkan diri ke puncak gunung, tetapi hadir di tengah masyarakat sebagai teladan. Kehidupan sosial dijalani bukan dengan ambisi, melainkan dengan kesadaran dan cinta. Seorang artis yang tersentuh oleh pencerahan, misalnya, akan menggunakan panggungnya untuk menyuarakan pelestarian alam, menyentuh hati jutaan orang agar hidup lebih arif terhadap bumi dan sesama.

Dalam pandangan Hindu Bali, kesucian bukan tentang pencapaian pribadi, tetapi tentang kebermanfaatan bagi kehidupan. Mereka yang mengalami Dwi Jati tak lagi mengejar pahala, apalagi takut pada hukuman. Kebaikan dilakukan bukan karena imbalan, tetapi karena kebaikan itu sendiri telah menjadi bagian dari jati dirinya. Mereka adalah penuntun yang tak pernah menggurui, penerang yang tak menyilaukan. Kehadirannya menyejukkan, bukan untuk mengumpulkan pengikut, melainkan untuk menebar damai.

Kesucian yang lahir dari Dwi Jati adalah kesadaran akan tanggung jawab spiritual untuk terus menebar manfaat. Semakin tinggi kesadaran, semakin dalam pula kerendahan hati mereka. Mereka tak peduli akan sorot mata dunia, karena yang lebih penting adalah seberapa banyak kehidupan yang tersentuh dan tercerahkan oleh kehadiran mereka.

Dalam dunia yang penuh kegaduhan ini, mereka yang mengalami Dwi Jati adalah embun di pagi hari: diam, jernih, tetapi menghidupkan.

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud