Kebahagiaan yang Tak Dapat Dirampas
Oleh: Semara Manuaba IBN
Dalam kehidupan modern, banyak manusia seperti hidup dalam kepungan bayang-bayang kehilangan. Segala sesuatu dijadikan sandaran: rumah, kendaraan, pangkat, pasangan, hingga pengakuan orang lain. Mereka mendefinisikan bahagia lewat jumlah, bukan makna. Maka tak heran, hidup pun dipenuhi rasa takut—takut kehilangan, takut gagal, takut tidak dihargai.
Padahal dalam ajaran Hindu, kita diajarkan untuk mengenali bahwa segala yang bersifat materi (prakriti) adalah bagian dari perubahan (parinama). Dunia ini terus bergerak, berubah, datang dan pergi. Harta benda hanyalah sarana, bukan tujuan. Status sosial hanyalah peran, bukan jati diri. Bahkan tubuh ini pun bukan milik mutlak; ia adalah pinjaman dari alam, yang suatu hari akan kembali ke lima unsur: panca mahabhuta.
Tattwamasi—Engkau adalah Itu. Inilah inti dari ajaran Weda yang mengingatkan kita bahwa hakikat diri bukan terletak pada apa yang dimiliki, tetapi pada kesadaran yang menyatu dengan semesta. Atman di dalam diri adalah percikan dari Brahman. Maka, kehidupan seharusnya bukan tentang menggenggam, melainkan tentang menyadari dan mengabdi. Inilah jalan untuk mencapai moksha, kebebasan sejati, di mana jiwa tak lagi dibelenggu oleh keterikatan.
Ketika seseorang menggantungkan hidupnya pada dunia luar, batinnya menjadi terikat. Namun, saat hidup bersandar pada dharma—nilai-nilai kebenaran, kasih, kesadaran, dan ketulusan—maka ia tidak akan gentar menghadapi kehilangan. Karena yang sejati tidak pernah bisa hilang: cinta yang tulus, niat yang suci, dan kebajikan yang dijalankan dengan ikhlas akan tetap hidup, bahkan setelah tubuh ini tiada.
Banten dalam tradisi Bali pun mengajarkan prinsip ini. Kita mempersembahkan bunga, buah, dan api bukan karena Tuhan membutuhkan, tetapi agar kita ingat: semua yang kita miliki berasal dari Beliau, dan kepada-Nya pula segalanya kembali. Hakikatnya, kita sedang mengajarkan diri sendiri untuk tidak melekat.
Jadi, jangan ukur kebahagiaan dari apa yang ada di tangan. Ukurlah ia dari kedamaian yang mengalir di hati. Jangan jadikan kepemilikan sebagai pondasi hidup, karena ia mudah runtuh. Tanamkan hidup di atas kesadaran, karena itulah yang tak tergoyahkan.
Karena sejatinya, manusia yang paling kaya adalah yang paling sadar, bukan yang paling banyak memiliki. Dan manusia yang paling bahagia adalah yang mampu menjadi, bukan yang sibuk menggenggam.
-------
Komentar
Posting Komentar