Menjaga Kesucian
dari Bayang-Bayang Komersialisasi
Semara Manyaba IBN.
Dalam ajaran Hindu Bali, bakti bukan sekadar kewajiban,
melainkan jalan mulia menuju kesadaran tertinggi. Melalui yadnya, manusia tidak
hanya mempersembahkan sesajen, tetapi juga dirinya sendiri kepada Sang Hyang
Widhi. Namun di tengah arus zaman, ketika upacara menjadi ajang prestise dan
pelayanan spiritual dibayangi nilai komersial, pertanyaan mendalam pun muncul:
apakah bakti kita masih murni, atau sudah terkontaminasi oleh duniawi?
Memisahkan bakti dari komersialisasi dalam praktik
keagamaan Hindu Bali bukan perkara sederhana. Ia menuntut kesadaran
kolektif—dari umat, sulinggih, serati, pengurus pura, hingga para pemimpin
adat. Langkah awalnya adalah menumbuhkan kesadaran spiritual yang sejati. Umat
perlu dididik kembali bahwa makna dari ritual bukan terletak pada besarnya
banten atau mewahnya upacara, tetapi pada ketulusan hati saat menghaturkan.
Segala bentuk persembahan, bila dilandasi keikhlasan dan cinta suci kepada Ida
Sang Hyang Widhi, adalah yadnya yang luhur.
Seringkali, umat merasa terpaksa karena tuntutan upacara
yang serba wah. Padahal, dalam ajaran Tat Twam Asi dan Tri Kaya Parisudha, yang
paling utama adalah niat suci dan perilaku bajik. Jika persembahan dilakukan
hanya karena gengsi atau rasa takut tidak ‘sah’, maka roh dari bakti itu telah
tergantikan oleh formalitas. Di sinilah pentingnya membangkitkan kesadaran
bahwa kesucian jiwa lebih utama daripada kemewahan ragawi.
Selain kesadaran batin, sistem pengelolaan keagamaan juga
harus dijaga dari praktik yang tidak transparan. Di Bali, pura adalah milik
bersama, dan dana pun berasal dari dana punia umat. Maka, sudah semestinya
pengelola pura maupun panitia upacara bersikap terbuka dalam pengelolaan
keuangan. Keterbukaan ini tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga
memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab umat terhadap tempat suci mereka.
Begitu pula, para sulinggih dan rohaniawan hendaknya menjunjung tinggi etika pelayanannya
sebagai dharma, bukan ladang usaha.
Di tengah kompleksitas zaman, kita juga perlu menumbuhkan
kesadaran akan kesederhanaan dalam beragama. Tradisi Hindu Bali sebenarnya
mengajarkan keseimbangan dan harmoni. Upacara sederhana dengan niat yang suci
tetap memiliki daya spiritual yang kuat. Seperti dalam konsep Desa Kala Patra,
segala sesuatu harus disesuaikan dengan tempat, waktu, dan kondisi. Jangan
sampai umat yang lemah secara ekonomi terbebani oleh upacara yang mahal,
apalagi sampai berutang demi menyenangkan 'pemandangan lahiriah', sementara
batinnya tertekan.
Kini, saatnya kita sebagai umat Hindu Bali merenung:
apakah bakti kita benar-benar untuk Ida Sang Hyang Widhi, atau untuk memenuhi
ekspektasi sosial? Apakah kita menghaturkan banten untuk menyatu dengan
semesta, atau sekadar agar terlihat layak di mata manusia?
Memurnikan kembali praktik bakti bukan berarti menghapus
tradisi, tetapi mengembalikannya ke akarnya yang suci. Ketika setiap upacara
menjadi jembatan spiritual, bukan beban duniawi, maka Hindu Bali akan tetap
bersinar sebagai agama leluhur yang menyatu dengan alam, manusia, dan para
dewata.
-----‐-
Komentar
Posting Komentar