Menemukan Damai dalam Perspektif Hindu
Semara Manuaba Ibn.
Dalam
ajaran Hindu, kehidupan di dunia ini adalah panggung perubahan yang terus
bergerak. Rasa senang dan sedih datang silih berganti, seperti siang dan malam,
panas dan dingin, menang dan kalah. Semua itu adalah bagian dari hukum ṛta—keteraturan
alam semesta yang tidak bisa dihindari oleh siapapun yang hidup dalam prakriti,
dunia fenomena. Namun, di balik semua perubahan itu, Hindu mengajarkan adanya
sesuatu yang tidak berubah, yang kekal, yang menjadi saksi dari segalanya:
Atman.
Batin
manusia sering kali tercampur oleh gelombang suka dan duka. Ketika kabar
gembira datang, batin melonjak bahagia. Ketika kehilangan menimpa, batin
terhimpit oleh kesedihan. Namun Hindu Dharma mengajarkan bahwa ini hanyalah
upādhi, pembungkus semu yang menutupi jati diri sejati manusia. Suka dan duka
adalah anātmika—bukan sifat sejati dari Atman. Mereka muncul karena karma, lalu
hilang ketika karmanya berbuah dan berlalu. Maka, sesungguhnya batin tidaklah
susah dan tidak pula senang. Ia sejatinya hening dan damai.
Śrī Kṛṣṇa
dalam Bhagavad Gītā (2.14) menyatakan:
"Mātrā-sparśās
tu kaunteya, śītoṣṇa-sukha-duḥkha-dāḥ
Āgamāpāyino
'nityās, tāṁs titikṣasva bhārata."
"Wahai
Arjuna, pertemuan indera dengan objeknya melahirkan panas dan dingin, suka dan
duka. Semua itu datang dan pergi, tidak kekal adanya. Maka sabarlah, dan
bertahanlah atas itu."
Sloka ini
menegaskan bahwa suka dan duka hanyalah tamu yang datang karena sebab, lalu
pergi bersama sebabnya. Seperti angin yang meniup permukaan danau dan
menimbulkan gelombang, demikian pula pikiran dan peristiwa luar menggoyahkan
batin. Namun danau tetaplah danau. Begitu angin reda, air akan kembali tenang.
Batin pun demikian—sejatinya ia bukan gelombang itu sendiri, melainkan ruang
hening tempat gelombang itu muncul dan kembali menghilang.
Inilah
sebabnya dalam ajaran yoga dan dhyāna, tujuan utama bukanlah mengejar
kebahagiaan, tetapi menyadari svarūpa, hakikat sejati diri. Di situlah kita
mengenal istilah śānta ātman—Atman yang hening, tidak terpengaruh oleh suka dan
duka, untung dan rugi. Upaniṣad menyebut Atman sebagai:
"Śāntam,
śivam, advaitam, caturtham manyante sa ātmā sa vijñeyaḥ."
(Mandukya
Upaniṣad, 7)
"Damai,
suci, tak terbagi, itulah Atman—ia yang patut direalisasikan."
Namun,
mengapa kita sering gagal merasakan damai ini? Karena kita lebih percaya pada
bayangan daripada cahaya. Kita menganggap perasaan-perasaan sementara itu
sebagai diri kita sendiri. Kita melekat pada yang datang dan takut pada yang
pergi. Padahal semua itu adalah bagian dari maya—tirai ilusi yang menutupi
pandangan kita terhadap Brahman, sumber sejati dari segala kedamaian.
Hindu
tidak menyuruh kita lari dari dunia, tetapi menyadarkan bahwa dunia ini tidak
perlu digenggam terlalu erat. Suka boleh datang, kita syukuri. Duka pun datang,
kita hadapi. Tapi keduanya tidak membuat kita terguncang, karena kita telah
menambatkan diri pada Atman yang nitya (abadi), śuddha (murni), dan mukta
(bebas).
Untuk
kembali pada keheningan batin ini, Hindu mengajarkan jalan-jalan spiritual yang
penuh rahmat: Jnana Yoga (pengetahuan tentang Atman), Bhakti Yoga (pengabdian
tulus kepada Tuhan), Karma Yoga (pelayanan tanpa pamrih), dan Raja Yoga
(pengendalian diri melalui meditasi). Melalui jalan-jalan ini, manusia
dibimbing untuk tidak lagi menjadi budak dari gelombang pikiran dan perasaan,
tetapi menjadi saksi yang diam dan damai dalam samadhi.
Kedamaian
sejati bukan hasil dari pencapaian luar. Ia bukan hadiah dari dunia. Kedamaian
itu adalah dharma alami dari Atman, dan karena itu, ia sudah ada di dalam.
Tugas kita bukan mencarinya ke luar, melainkan menyadarinya kembali, menyibak
tirai pikiran, melepaskan keterikatan, dan menyatu dengan keheningan yang suci.
---
Komentar
Posting Komentar