Kenali Dirimu, Pulanglah Sebelum Terlambat
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara M.
Tubuh kita
hadnyalah tempat singgah sementara bagi jiwa. Saat ajal tiba, tidak semua jiwa
siap kembali ke asalnya. Banyak yang tersesat, bukan karena diganggu oleh
makhluk halus, melainkan karena ketidaktahuan akan jati diri mereka sendiri.
Sejak lahir, mereka tidak pernah belajar mengenali asal-usul, tujuan hidup,
atau peran suci yang dibawa dalam kehidupan. Ketika kematian mendekat,
kebingungan itu memuncak—termanifestasi menjadi apa yang kerap kita sebut
sebagai penampakan.
Namun
sejatinya, penampakan bukanlah untuk menakut-nakuti. Ia adalah bentuk
komunikasi terakhir dari jiwa yang tak lagi memiliki suara. Jiwa hanya memiliki
energi, dan ketika energi itu tidak dikenali atau tidak dipahami, ia sering
terasa sebagai ketidaknyamanan. Padahal, mereka hanya ingin diingat, didoakan,
atau disadari keberadaannya.
Pernah
seseorang berkata,
"Kenali
Dirimu, Pulanglah Sebelum Terlambat
Meski
sebagian dari kita memilih untuk menutup kemampuan itu, kenyataannya—secara
karma—jiwa-jiwa itu tetap datang. Karena sesungguhnya, tidak ada yang kebetulan
dalam pertemuan energi. Setiap yang hadir kepada kita pasti memiliki kaitan:
mungkin leluhur, mungkin roh yang tersangkut karena kesalahan kita, atau
mungkin pesan yang belum tersampaikan.
Namun kita
sering kali terlalu sibuk. Sibuk mengejar dunia, sibuk menumpuk pencapaian,
tanpa sempat bertanya:
>
Untuk apa semua ini? Apa dampaknya? Dan untuk siapa sebenarnya saya hidup?
Chāndogya
Upaniṣad pernah
mengingatkan:
>
"Tat Tvam Asi" — Engkau adalah Itu.
Artinya,
diri sejati kita adalah bagian dari Tuhan. Maka, jika tidak mengenali diri
sendiri, bagaimana mungkin kita bisa mengenali Tuhan?
Ketidaktahuan
akan jati diri adalah kegelapan yang paling dalam. Bhagavad Gītā (6.5)
menegaskan:
>
“Seseorang harus mengangkat dirinya sendiri melalui dirinya sendiri. Jangan
merendahkan dirinya. Karena sang diri adalah sahabat bagi diri sendiri, dan
juga bisa menjadi musuh bagi dirinya sendiri.”
Mengenali
diri bukanlah bentuk keegoisan. Justru itulah pintu awal menuju kesadaran
sejati. Saat kita menyadari kelebihan, kita belajar bersyukur. Saat kita
menyadari kekurangan, kita belajar memperbaiki. Kita berhenti menyalahkan orang
lain atas luka yang kita rasakan, dan mulai menerima luka sebagai bagian dari
perjalanan jiwa yang mendewasakan.
Ada
seorang anak yang kehilangan arah hidup, merasa dirinya tidak layak, dan terus
menyalahkan diri sendiri. Ternyata, sepanjang hidupnya, ia hanya mendengar
kalimat negatif dari orang tuanya. Ia tumbuh bukan sebagai dirinya sendiri,
melainkan sebagai versi ideal yang diharapkan oleh orang lain.
Padahal,
Sarasamuccaya (Sloka 74) telah
mengajarkan:
>
"Wwang tan wenang nyidayang manusa ring parahnya"
“Tak
seorang pun dapat membentuk manusia menurut kehendaknya.”
Setiap
anak terlahir dengan swadharma-nya sendiri—tugas suci yang telah ditetapkan
oleh alam semesta.
Sesungguhnya,
kita semua sedang dalam perjalanan pulang. Dan kehidupan ini adalah waktu
pinjaman untuk mengenali arah pulang tersebut. Jangan sampai, saat tubuh
ditinggalkan, jiwa malah tersesat. Bukan karena Tuhan tidak memanggil,
tetapi karena kita tidak pernah mempersiapkan peta menuju cahaya.
Maka,
marilah mulai belajar mengenal diri.
Dari
sanalah akan lahir:
rasa
syukur yang tulus,
pemahaman
yang jernih,
kemampuan
untuk beradaptasi,
kebijaksanaan
dalam mengambil keputusan,
serta
cinta yang utuh kepada diri sendiri dan semesta.
Bhagavad
Gītā (4.38) mengingatkan
kembali:
> "Tidak
ada yang lebih suci daripada pengetahuan sejati. Dan siapa yang telah mencapai
yoga, ia akan menyadari pengetahuan itu dalam dirinya, pada waktunya."
Jangan
takut untuk melihat ke dalam.
Jangan
tunda untuk mengenali siapa diri anda.
Hidup
ini singkat. Dan
hanya mereka yang telah mengenali dirinya—yang tahu bagaimana pulang dengan
damai.
Komentar
Posting Komentar