Membersihkan Rasa, Menjemput Bahagia
Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba
Hidup bahagia dan murah rezeki.
Bukankah itu dambaan semua manusia? Sebuah impian yang melintasi batas usia,
agama, budaya, dan zaman. Setiap insan ingin hidup dalam kelimpahan—bukan hanya
materi, tetapi juga kasih, makna, dan ketenangan batin. Namun realitasnya, tak
sedikit yang hidupnya dililit kesulitan. Kebahagiaan terasa jauh, rezeki
seperti tersendat. Mengapa?
Sebagian orang berkata, “Itu memang sudah
takdir.”
Sebagian lain menyalahkan nasib buruk, keadaan, atau bahkan karma leluhur.
Namun benarkah demikian? Ataukah sesungguhnya, manusia sendiri belum mengenali
kekuatan agung yang telah Tuhan anugerahkan dalam dirinya?
Manusia dan Pemberian Ilahi
Tuhan tidak menciptakan manusia tanpa
maksud. Ia menganugerahkan tiga kekuatan utama: bayu, sabda, dan idep—tenaga,
suara, dan pikiran. Inilah bekal utama manusia untuk menata hidup, memaknai
keberadaan, dan mengubah nasibnya.
Namun banyak yang tidak menyadari bahwa
anugerah itu ibarat emas yang tertimbun tanah. Terpendam oleh kesibukan dunia,
oleh ego, oleh amarah, rasa takut, dendam, keserakahan, dan rasa bersalah yang
diwariskan turun-temurun. Dalam tradisi Hindu, kita mengenal istilah wastra
karmika—kain karma yang melekat dan membungkus roh kita. Kain ini bukan hanya
berasal dari perbuatan kita sendiri, melainkan juga warisan batin dari para
leluhur yang belum tersucikan. Maka tidak heran bila seseorang merasa hidupnya
terus "berat" walau telah bekerja keras dan berbuat baik.
Namun apakah kita harus menyerah? Tidak.
Karma Bukan Vonis Abadi
Karma bukan kutukan. Ia adalah hukum
sebab-akibat yang adil. Dan setiap hukum memiliki jalan untuk
ditransformasikan. Karma buruk, walau diwariskan, bukanlah beban abadi yang
tidak bisa disucikan. Justru karena kita manusia yang sadar, maka kita memiliki
kesempatan untuk memutus rantai penderitaan itu.
Bagaimana caranya?
Dengan membersihkan rasa—rasa diri, rasa
batin, rasa yang melekat pada jiwa kita. Rasa inilah yang sering keruh oleh
penilaian, dendam, luka batin, dan ikatan karma yang belum terurai. Ketika rasa
tidak jernih, maka dunia pun tampak sempit. Walau rezeki datang, kita tak
merasakannya sebagai berkah. Walau cinta hadir, kita merasa tak pantas
menerimanya. Di sinilah pentingnya pembersihan rasa.
Berbakti: Jalan Menjernihkan Jiwa
Pembersihan rasa hanya bisa dimulai dengan
laku suci: bakti.
Bukan bakti yang penuh pamrih. Bukan pula bakti yang berisik dengan permintaan
dan ritual-ritual kosong. Melainkan bakti yang hening, jujur, dan tulus. Bakti
yang muncul dari kesadaran bahwa kita ini adalah bagian dari-Nya, dan tidak
pernah terpisah dari ciptaan-Nya.
Ketika seseorang berbakti dengan tulus
kepada Sang Pencipta, ia sesungguhnya sedang membuka dirinya untuk disentuh.
Berserah diri bukan berarti pasrah buta. Ia adalah kesiapan jiwa untuk
dibersihkan, dibentuk ulang, dan dituntun oleh kehendak Ilahi. Berserah bukan
untuk melemah, tetapi agar ego kita luluh dan Tuhan bisa bekerja dari dalam.
Karena hanya Tuhan yang bisa menyentuh
titik terdalam dari rasa itu. Hanya Dia yang dapat mengangkat karat batin,
membilas luka jiwa, dan melepaskan simpul karma yang menggumpal dalam roh kita.
Tindakan Nyata: Bakti dalam Kehidupan
Namun bakti bukan hanya soal berdoa. Ia
harus menjelma dalam kehidupan nyata. Membersihkan rasa berarti mengampuni.
Memaafkan. Merenung. Mengurangi amarah. Menjaga ucapan. Menghindari prasangka.
Mengucap syukur atas yang sedikit. Tidak menumpuk dendam pada mereka yang
menyakiti kita. Semua itu adalah bentuk bakti yang sejati.
Setiap hari kita diberi kesempatan untuk
membersihkan diri. Menyapa sesama dengan tulus, menolong dengan diam-diam,
menjaga bumi dengan tindakan kecil: tidak membuang sampah sembarangan, tidak
menebar hoaks, tidak merusak kepercayaan. Semua tindakan itu adalah persembahan
suci, persembahan prana—energi hidup yang kita arahkan kembali kepada Sang
Pemilik Kehidupan.
Akhirnya: Jalan Pulang ke Dalam
Hidup bahagia dan murah rezeki bukan
sekadar nasib baik. Ia adalah hasil dari jiwa yang bersih, rasa yang jernih,
dan hidup yang penuh kesadaran. Tuhan tidak menahan rezeki siapa pun. Tetapi
kita sendiri kadang yang menutup pintu-Nya karena rasa yang keruh.
Maka mulailah dengan satu langkah:
Berbaktilah kepada Tuhan, bukan untuk meminta, melainkan untuk menyatu. Bukan
untuk menuntut, tetapi untuk kembali pulang ke dalam. Biarkan Ia membersihkan
rasa dirimu, dan lihatlah bagaimana hidupmu mulai berubah. Tidak selalu menjadi
lebih mudah, tetapi pasti menjadi lebih terang.
Komentar
Posting Komentar