Dalam dunia spiritual dan metafisika, manusia sering kali terjebak dalam dikotomi antara 'ilmu hitam' dan 'ilmu putih'. Istilah ini muncul dari konstruksi moral yang dibangun berdasarkan persepsi sosial dan keagamaan, di mana 'putih' disimbolkan sebagai kebaikan dan 'hitam' sebagai kejahatan. Namun, apakah alam semesta sendiri membedakan energi yang mengalir sebagai baik atau buruk? Ataukah manusia lah yang membubuhkan label itu berdasarkan kepentingan dan keterbatasan pengetahuan mereka?
Ilmu adalah energi yang netral, seperti listrik yang bisa menyalakan rumah atau
membakar bangunan. Apa yang membedakan adalah niat dan kesadaran si pengguna.
Ketika seseorang mempelajari ilmu pengetahuan metafisik, spiritual, atau bahkan
ilmu gaib, batas antara hitam dan putih menjadi kabur jika hanya dipandang dari
sudut pandang moralistis semata. Sebab dalam realitasnya, banyak penyembuhan
dilakukan dengan metode yang dulunya dianggap tabu, banyak kebaikan lahir dari
jalur yang tak sesuai norma konvensional.
Meniadakan batasan antara ilmu hitam dan putih bukan berarti merelatifkan
etika, tetapi justru menempatkan tanggung jawab moral sepenuhnya pada kesadaran
individu. Dalam pandangan ini, yang dibutuhkan bukanlah pelabelan, melainkan
pemurnian niat dan peningkatan kesadaran. Ilmu, ajian, mantra, atau praktik
apapun yang dilakukan dengan vibrasi kasih, penyembuhan, dan kebijaksanaan,
akan menghasilkan frekuensi yang menyatu dengan harmoni alam.
Melebur semua dogma bukan berarti kehilangan arah atau prinsip. Justru di sinilah
letak spiritualitas yang sejati—melampaui sekat-sekat doktrinal, dan menyelami
esensi dari semua ajaran. Di titik ini, seseorang tidak lagi terkungkung oleh
simbol-simbol, melainkan memahami bahwa semua agama, semua kepercayaan,
hanyalah jalan yang berbeda menuju pusat kesadaran yang sama.
Dalam kearifan Hindu Bali, kita mengenal konsep Rwa Bhineda—dualisme sebagai
realitas yang seimbang, bukan untuk dipertentangkan. Ilmu tidak untuk ditakuti
atau disembah secara buta, tetapi untuk dihayati, disucikan, dan dimaknai
dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Hanya dengan cara ini, kita bisa
benar-benar melampaui batas-batas buatan, dan memasuki ruang spiritualitas
murni yang tak lagi diwarnai prasangka.
Saat batas-batas itu lenyap, manusia menjadi jernih seperti air: tidak hitam,
tidak putih—tetapi mampu menyerap cahaya seluruh pelangi kesadaran.
-----
© 2007-2025 IBN.Semara M.
Komentar
Posting Komentar