Padmasana: Singgasana Tuhan yang Acintya
Oleh: Semara Manuaba IBN.
Dalam jagat suci Hindu Bali, Padmasana adalah pelinggih paling utama, tetapi bukan untuk memuja Dewa tertentu. Padmasana adalah simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam kemahasucian-Nya yang tertinggi — Parama Acintya, Tuhan yang tidak terlukiskan oleh kata, tidak terjangkau oleh pikiran, dan tidak terbatas oleh bentuk. Padmasana adalah tahta sunyi, tempat Tuhan hadir bukan dalam rupa, melainkan dalam kesadaran murni yang hanya dapat dirasakan lewat keheningan jiwa dan bhakti yang tulus.
Padmasana tidak berisi arca, tidak berhiaskan simbol kekuatan duniawi, karena Tuhan yang bersemayam dalam Padmasana bukan Tuhan yang sudah menjelma atau termanifestasi, melainkan Tuhan yang mutlak, niskala, tan hana wong nyakon, tan hana upami, tan hana sangkan paran. Ia adalah sumber dari segala wujud, tetapi belum mewujud. Ia adalah mula dari segalanya, tempat segalanya akan kembali — Sangkaning jagat lan paraning urip.
Oleh karena itu, saat piodalan dilaksanakan, tidak sepatutnya dihaturkan ayaban di Padmasana. Karena ayaban adalah bentuk persembahan kepada kekuatan Tuhan yang sudah termanifestasi sebagai Purusa dan Pradana, lalu distanakan dalam pelinggih-pelinggih sebagai Ista Dewata, yaitu Dewa-Dewi dengan segala Saktinya. Banten ayaban adalah sarana pengharmonisan dalam konteks Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya, bukan untuk Sang Hyang Widhi dalam keesaan-Nya yang belum terpecah ke dalam nama dan rupa.
Perlu dipahami pula bahwa banten ayaban bukan sekadar persembahan fisik, melainkan merupakan bahasa simbolik dari mantra dan ajaran Weda yang diwujudkan dalam bentuk banten. Setiap unsur dalam ayaban adalah representasi makna spiritual yang dalam, sehingga bila ayaban dihaturkan di Padmasana justru dapat menimbulkan ambiguitas tattwa, karena Tuhan yang disembah di Padmasana adalah Tuhan yang belum termanifestasi, berada dalam keheningan absolut, di luar simbol dan bentuk.
Di hadapan Padmasana, tidak perlu banyak suara, tidak perlu gemerlap persembahan. Yang dihaturkan hanya satu: banten Daksina. Sebuah persembahan sederhana yang lahir dari hati yang bersih, dari kesadaran bahwa manusia bukan pusat segalanya, tetapi bagian kecil dari kehendak Tuhan. Daksina bukan sekadar banten, melainkan pernyataan batin: bahwa kami hadir bukan untuk meminta, tetapi untuk menyadari dan menyatu.
Dalam tatanan makna simbolik, Tuhan yang tak terdefinisikan itu dilambangkan dalam bentuk Daksina — persembahan yang utuh, simetris, dan penuh makna. Dalam bentuk tulisan, Tuhan hadir sebagai aksara Ongkara, benih suara semesta yang menjadi sumber semua ciptaan. Di Padmasana, simbol-simbol itu mengajarkan kita bahwa Tuhan tidak harus dilihat untuk diyakini, dan tidak perlu diraba untuk dirasakan.
Padmasana berdiri kokoh di kaja kangin, sebagai Mahameru spiritual dalam setiap pura. Ia bukan tempat memohon kekayaan, bukan tempat memuja kekuatan, tetapi tempat menundukkan ego dan menyatu dalam bhakti sejati. Di sanalah puncak persembahyangan — bukan karena banyaknya banten, tetapi karena heningnya jiwa yang hadir dengan kesadaran.
Padmasana mengajarkan kita untuk menyembah tanpa rupa, untuk memuliakan tanpa pamrih, dan untuk menghaturkan diri dengan tulus, bukan karena takut, bukan karena berharap, tetapi karena sadar bahwa seluruh hidup ini hanyalah pinjaman dari-Nya.
Komentar
Posting Komentar