Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.
Ketika Stephen Hawking menyatakan bahwa “hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan”, dunia modern gempar. Bagi sebagian orang, pernyataan itu terdengar radikal, bahkan menggugurkan gagasan tentang Tuhan pencipta. Namun, dalam keheningan teks kuno Veda, pertanyaan yang sama telah bergema sejak ribuan tahun lalu. Nasadiya Sukta dari Rigveda (10.129) bertanya penuh ragu: “Apakah ada ketiadaan atau keberadaan di awal? Bahkan para dewa tidak tahu, karena mereka lahir setelah penciptaan.”
Di sinilah paradoks kosmik itu berdiri: sains modern dengan keberanian matematisnya, dan Hindu Dharma dengan kedalaman metafisisnya, sama-sama mengakui bahwa misteri asal-usul semesta tidaklah sederhana. Sains menyebut “ketiadaan” sebagai vakum kuantum, ruang hampa yang ternyata penuh dengan energi fluktuatif. Hindu Dharma menyebutnya Nirguna Brahman, realitas tanpa atribut, kesadaran murni yang tak dapat dipikirkan, sebagaimana dijelaskan dalam Mandukya Upanishad sebagai Turiya — keadaan kesadaran melampaui jaga, mimpi, dan tidur.
Yajnavalkya, dalam Brihadaranyaka Upanishad (3.8.9), pernah berkata: “Brahman adalah jaringan di mana seluruh semesta terjalin.” Kata-kata itu, jika dibaca dengan kacamata abad ke-21, seolah berbicara tentang impian terbesar Hawking: menemukan Theory of Everything. Hukum gravitasi yang diyakini mengatur jagat raya tidak berbeda jauh dengan gagasan Veda tentang Rta, hukum kosmik yang menjaga keteraturan. Sementara Medan Higgs, yang memberi massa pada partikel, mengingatkan kita pada Maya Shakti, daya ilusi yang menyalin wujud dari yang tak berbentuk.
Ketika Hawking berkata bahwa semesta mengatur dirinya sendiri, Hindu mengartikannya sebagai Svayambhu — Yang Ada dengan Sendirinya, salah satu dari seribu delapan nama Siwa dalam Lingga Purana.
Lompatan gagasan itu semakin puitis ketika kita melihat lubang hitam. Bagi sains, lubang hitam adalah monster kosmik yang memakan cahaya, tetapi justru perlahan menguap melalui radiasi Hawking. Bagi Hindu, itu adalah wajah modern dari Kala Rudra, aspek peleburan Siwa. Bahkan tarian kosmik Tandava dari Siwa Nataraja menemukan cerminannya dalam proses peleburan lubang hitam, di mana ciptaan kembali ke titik nol. Singularitas, titik tak terhingga di pusat lubang hitam, serupa dengan Bindu dalam Tantra, titik awal sekaligus akhir seluruh ciptaan. Dan gagasan multiverse Hawking seakan hanya mengulang apa yang sudah tersurat dalam Purana tentang Brahmanda, telur-telur kosmik yang tak terhitung jumlahnya.
Namun, titik paling sensitif dari dialog antara sains dan Hindu terletak pada kesadaran. Hawking, seorang ateis, menolak gagasan tentang “jiwa”, tetapi fisika kuantum memperlihatkan bahwa pengamat memengaruhi realitas — sebuah misteri yang sejalan dengan Advaita Vedanta: “Kesadaran adalah satu-satunya realitas.” Bahkan Bhagavad Gita (6.20) menegaskan: “Ketika kesadaran terfokus, ia melihat Atman dalam semua makhluk.” Kini, filsuf-fisikawan seperti Roger Penrose berbicara tentang kesadaran kuantum, yang seolah bersua dengan gagasan Turiyatit dalam Shaivisme Kashmir: kesadaran transendental yang tak lagi terikat ruang dan waktu.
Kosmologi Hindu Bali bahkan menyuguhkan jembatan imajinatif antara warna-warna ketuhanan dengan fisika modern. Lima warna Panca Dewata ternyata beresonansi dengan wajah-wajah kosmos: Iswara berwarna putih laksana cahaya kosmik purba (CMB Radiation), Brahma merah seperti dentuman awal Big Bang, Wisnu hitam menjaga galaksi seperti dark matter, Mahadewa kuning sebagai entropi yang memandu transformasi, dan Siwa campuran semua warna — lubang hitam itu sendiri, gerbang peleburan menuju awal yang baru.
Namun, semua gagasan kosmik ini akan terasa jauh dan dingin jika kita tidak menengok perjalanan manusia yang menulisnya. Hawking bukan hanya seorang ilmuwan, ia adalah sebuah kisah keberanian. Di usia 21 tahun, ia divonis mengidap ALS, penyakit syaraf yang perlahan melumpuhkan tubuhnya. Dokter hanya memberi waktu dua tahun untuk hidup. Tetapi justru dalam keterbatasan itu, semesta memberinya sayap lain: pikiran. Seperti seorang yogi yang tubuhnya terbakar tapa, tetapi jiwanya terbangun, Hawking menulis teori tentang lubang hitam, kosmologi, dan asal-usul semesta hanya dengan gerakan kecil pada pipinya.
Di sini, ia menjelma sebagai Rishi era digital, menempuh jalan Jnana Yoga dengan matematika sebagai mantranya, dan menapaki Karma Yoga melalui pengabdian total pada riset, meski tubuhnya nyaris tak berdaya. Seperti ajaran Mundaka Upanishad: “Na ayam atma balahinena labhyah — Atman tidak bisa diraih oleh yang lemah.” Hawking membuktikan bahwa kekuatan bukanlah pada otot, melainkan pada daya tahan jiwa dalam menghadapi penderitaan.
Tak heran jika Schrödinger, peraih Nobel yang terinspirasi Vedanta, pernah berkata: “Apa yang para bijak sebut sebagai Brahman, para fisikawan sebut sebagai Hukum Alam.” Dan ketika Hawking meninggal tahun 2018, abunya dilarung di Cambridge, seolah menjadi simbol kembalinya Atman ke Brahman. Kini teleskop James Webb menyingkap galaksi purba, sementara Vedanta terus mengingatkan kita: “Yang jauh di luar galaksi itu sama dengan yang dekat dalam napasmu.”
Pada akhirnya, pencarian Hawking dan para rishi India kuno bertemu dalam satu altar yang sama: altar keinginan manusia untuk memahami siapa dirinya dalam jagat raya. Baik lewat teleskop maupun meditasi, lewat rumus maupun mantra, kita hanya sedang menapaki jalan yang sama: sebuah yajna, pengorbanan suci untuk menemukan kesatuan, untuk kembali pada Brahman.
Komentar
Posting Komentar