Banten Pisang Jati pada Upacara Pengabenan
(Makna Simbolik, Filosofis, dan Rujukan Sastra)
Upacara Pitra Yadnya, khususnya Ngaben,
merupakan jalan suci untuk mengantar atma (roh) kembali ke asalnya.
Setiap perlengkapan yang dipakai dalam rangkaian ini memiliki makna simbolis
yang dalam, bukan sekadar hiasan ritual. Salah satu sarana penting adalah Pisang
Jati, atau yang dalam lontar disebut Adegan.
Pisang Jati bukan hanya pohon pisang yang diletakkan di hulu sawa, tetapi perwujudan tattwa tentang tubuh, swadharma, dan pelepasan roh. Dalam Yama Purwwa Tattwa dijelaskan bahwa Adegan adalah tempat berstana sementara Panca Mahabhuta dari orang yang telah meninggal, sehingga ia menjadi simbol kehidupan manusia itu sendiri.
Pisang Jati selalu dipersembahkan bersama banten tetukon.
Dalam lontar Tuturan Gong Besi disebutkan:
“Sang atma mwang sarira, asalipun ring panca mahabhuta,
ikang sarira mapulang ring asalnya, atma lumaris ring swargaloka.”
(Atma dan tubuh berasal dari Panca Mahabhuta; tubuh akan kembali ke asalnya,
atma melanjutkan perjalanan menuju swarga loka).
Dengan demikian, Pisang Jati hadir sebagai upakarana saksi bahwa tubuh jasmani hanyalah titipan unsur alam yang akan kembali melebur setelah kematian.
Seluruh bagian pohon pisang melambangkan unsur-unsur
manusia:
- Batang = prana (daya hidup).
- Daun = napas dan perlindungan.
- Buah = hasil karma phala.
- Akar = asal-usul, leluhur.
Makna ini sejalan dengan ajaran dalam Bhuwana Tattwa
yang menyatakan:
“Panca prana ngaran ika, hana ring sarira, hana ring
jagat.”
(Panca prana itu ada pada tubuh, ada pula pada jagat).
Dengan kata lain, manusia adalah miniatur jagat, dan pisang jati menjadi cermin tubuh manusia yang lahir dari unsur semesta.
Dalam Yama Purwwa Tattwa dijelaskan:
“Adegan ngaranya sang marana, stana ring panca
mahabhuta, pinaka upakarana ring pitra yadnya.”
(Adegan adalah perwujudan orang yang meninggal, tempat berstana Panca
Mahabhuta, menjadi sarana utama dalam Pitra Yadnya).
Adegan disusun dari ortenan daun rontal yang dihiasi,
lengkap dengan rambut. Pada ortenan ditancapkan lukisan orang-orangan
dari kayu cendana atau majegau, dan di hadapannya diletakkan anak pisang.
Karena itu, perlengkapan ini disebut Pisang Jati.
Letaknya di hulu sawa, menegaskan bahwa Pisang Jati adalah simbol manusia utama yang sedang dilepaskan dari keterikatan jasmani.
Pisang jati dimaknai sebagai simbol swadharma manusia
utama. Filosofi ini ditegaskan dalam Sarasamuscaya sloka 2:
“Wwang tan hana pisan katon, ya ta pisan maurip, yan hana
pisan katon, ya pisan matis.”
(Manusia tidak akan ada selamanya; sekali lahir pasti akan mati).
Namun, sebelum ajal tiba, manusia wajib menunaikan
dharmanya. Seperti pohon pisang yang tidak akan mati sebelum berbuah, manusia
pun semestinya tidak menutup hidup sebelum mempersembahkan buah karya,
kebajikan, dan pengabdian (nangun yasa kerti).
“Atma kapralina ring sarira, sarira mapulang ring panca
mahabhuta, mwang atma lumaris ring swargaloka.”
(Atma dilepaskan dari tubuh; tubuh kembali ke Panca Mahabhuta; dan atma
berjalan menuju swargaloka).
Pisang Jati dalam Ngaben menegaskan proses ini. Ia adalah sarana pelepasan, agar roh tidak kembali melekat pada badan kasar, tetapi dapat melanjutkan perjalanan menuju kesucian.
Dengan demikian, Pisang Jati (Adegan) memiliki makna
mendalam dalam Ngaben:
- Sebagai saksi kosmis, tubuh berasal dari
Panca Mahabhuta dan kembali ke asalnya.
- Sebagai cermin tubuh manusia, batang, daun,
buah, dan akar melambangkan unsur kehidupan.
- Sebagai Adegan, ia adalah perwujudan orang
yang meninggal, tempat berstana Panca Mahabhuta.
- Sebagai simbol swadharma, manusia harus
meninggalkan buah kebajikan sebelum mati.
- Sebagai sarana pelepasan, Pisang Jati
mengantar roh melanjutkan perjalanan menuju kesucian.
Setiap kali Pisang Jati hadir dalam Ngaben, umat diajak
merenungkan hakikat hidup: bahwa tubuh hanyalah titipan, hidup adalah
kesempatan menunaikan swadharma, dan kematian adalah jalan kembali kepada Sang
Hyang Widhi
Komentar
Posting Komentar