Langsung ke konten utama

Cahaya Satu, Wajah Beragam

Cahaya Satu, Wajah Beragam

Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.
Ketika kita berbicara tentang Hindu, kita sesungguhnya sedang menyusuri jalan panjang sebuah ajaran yang lahir dari kedalaman batin manusia, ajaran yang telah menyeberangi ribuan tahun peradaban. Hindu sering disebut sebagai Sanātana Dharma, dharma abadi yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebab ia bukan hasil ciptaan seseorang, melainkan pancaran kesadaran yang muncul dari semesta itu sendiri. Ajaran yang universal ini adalah akar yang menancap dalam di tanah kehidupan manusia, memberi arah, memberi makna, sekaligus memberi tujuan. Dari akar itulah tumbuh cabang dan ranting yang menjulur ke segala penjuru, salah satunya mekar di pulau kecil bernama Bali. Maka lahirlah Hindu Bali, sebuah wajah lokal dari ajaran universal yang kaya dengan simbol, ritual, dan kearifan budaya.

Hindu universal menampakkan dirinya dalam bentuk filsafat yang dalam dan terbuka. Ia tidak terikat oleh ruang, tidak dibatasi oleh waktu, dan tidak dikungkung oleh budaya tertentu. Di India, tanah asal berkembangnya Hindu, ajaran ini tumbuh dalam banyak wajah: ada yang memuja Wisnu sebagai pusat kesadaran, ada yang menekankan Siwa sebagai sumber kekuatan, ada pula yang menekankan pada Dēvi sebagai perwujudan energi ilahi. Namun semuanya tetap kembali pada satu pengertian: Tuhan adalah satu, meski dipuja dengan nama yang berbeda-beda. Dalam kitab Upanisad tersurat dengan indah, Ekam sat viprah bahudha vadanti — Kebenaran itu satu, para bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama.

Konsep inilah yang membuat Hindu universal begitu lentur. Ia bisa hidup di India, di Nepal, di Indonesia, bahkan di Barat, tanpa kehilangan intinya. Ajaran utamanya tidak pernah berubah: jalan menuju moksha, pembebasan dari lingkaran samsara, adalah tujuan akhir manusia. Moksha bukan sekadar akhir perjalanan, melainkan persatuan dengan Sang Brahman, kesadaran tertinggi yang meliputi segalanya. Untuk menuju ke sana, Hindu universal mengenal empat jalan utama, yakni karma marga (jalan tindakan benar), bhakti marga (jalan pengabdian), jñāna marga (jalan pengetahuan), dan rāja yoga (jalan disiplin diri dan meditasi). Masing-masing jalan ibarat aliran sungai yang mengalir menuju samudra yang sama.

Namun ketika Hindu itu menyeberang lautan dan berakar di tanah Nusantara, khususnya di Bali, ia menemukan tubuh baru. Ia tidak kehilangan jiwanya, tetapi jiwanya berinkarnasi dalam bentuk yang menyatu dengan kebudayaan lokal. Di Bali, Tuhan dikenal dengan panggilan agung Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini bukan sekadar sebutan, tetapi menjadi simpul pemersatu bahwa Sang Maha Esa adalah sumber segala yang ada. Meski dipuja dalam manifestasi yang tak terhitung, entah dalam wujud Dewa Brahma, Wisnu, Siwa, entah sebagai Dewata Nawa Sanga yang menjaga sembilan arah, semuanya hanyalah pantulan sinar dari satu cahaya tunggal.

Bali, dengan tanahnya yang subur, gunung-gunungnya yang menjulang, dan lautnya yang memeluk, menjadi panggung alami tempat Hindu tumbuh. Maka ajaran universal itu berpadu dengan adat, kesenian, dan tatanan sosial. Dari sinilah lahir Hindu Bali, wajah lokal dari Sanātana Dharma. Hindu Bali bukanlah agama baru, melainkan manifestasi lokal dari kebenaran universal. Ia ibarat ranting yang tumbuh dari akar yang sama, namun berbunga dengan warna yang khas karena kesuburan tanah tempat ia berakar.

Salah satu ciri yang menonjol dalam Hindu Bali adalah kekayaan ritualnya. Jika Hindu universal menekankan tapa, brata, dan yoga, maka di Bali ajaran itu diwujudkan dalam bentuk yadnya, persembahan suci yang dibagi dalam lima jenis: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Masing-masing yadnya adalah jembatan penghubung: kepada Tuhan, kepada guru, kepada leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada kekuatan alam. Melalui yadnya inilah keseimbangan hidup terjaga.

Banten, atau persembahan yang disusun dari bunga, janur, buah, dan berbagai sarana, menjadi bahasa simbol yang khas Bali. Di mata awam, banten mungkin tampak seperti sekadar sesaji. Namun sesungguhnya, ia adalah puisi visual yang mengandung filosofi mendalam. Daun hijau yang masih segar adalah lambang kehidupan, bunga yang beraneka warna adalah manifestasi unsur alam, api lilin adalah cahaya kesadaran, dan air suci adalah penyuci jiwa. Banten bukan makanan bagi Tuhan, melainkan titian doa manusia untuk mengingat bahwa Tuhan hadir dalam segala yang hidup. Dengan mempersembahkan banten, manusia sesungguhnya sedang mempersembahkan semesta kembali kepada Sang Pencipta.

Di sisi lain, Hindu Bali juga memiliki kitab suci yang sama dengan Hindu universal, yaitu Weda. Namun karena akses langsung ke Weda yang berbahasa Sanskerta tidak selalu mudah, masyarakat Bali lebih banyak mendalami ajaran melalui lontar-lontar yang diwariskan leluhur. Lontar-lontar itu berisi penjabaran tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Lontar Wrhaspati Tattwa, misalnya, menjelaskan tentang hakikat Siwa sebagai kesadaran tertinggi. Sundarigama mengatur tata cara upacara, sementara lontar-lontar wariga membimbing manusia menentukan hari baik untuk upacara. Semua itu menjadi panduan praktis bagi masyarakat agar ajaran tidak berhenti di awang-awang filsafat, melainkan menyatu dalam keseharian.

Di sinilah letak keunikan Hindu Bali. Ia tidak hanya berbicara tentang moksha yang abstrak, tetapi juga tentang keseimbangan hidup sehari-hari. Konsep Tri Hita Karana adalah contoh nyata. Ajaran ini menekankan bahwa kebahagiaan lahir ketika manusia menjaga harmoni dengan tiga hal: dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan). Maka orang Bali tidak bisa dipisahkan dari pura sebagai tempat pemujaan, dari banjar sebagai wadah sosial, dan dari sawah sebagai sumber hidup. Semua terhubung dalam satu kesatuan.

Bila kita menengok lebih dalam, Hindu Bali dan Hindu universal sejatinya tidak bertentangan. Yang satu memberikan dasar, yang satu memberikan wujud. Hindu universal adalah jiwa, Hindu Bali adalah tubuh. Jiwa tanpa tubuh tidak bisa hidup di dunia, tubuh tanpa jiwa tidak berarti apa-apa. Maka keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Bagi orang Bali, hidup adalah yadnya. Dari lahir hingga meninggal, manusia senantiasa diiringi upacara. Bayi yang baru lahir disambut dengan upacara tutug kambuhan dan ngetet kaon, anak kecil diantar dengan otonan setiap enam bulan, remaja menjalani metatah sebagai penyucian diri, orang menikah dengan upacara pawiwahan, hingga akhirnya menutup usia dengan ngaben dan atma wedana. Semua ini bukan sekadar tradisi, tetapi jalan spiritual agar setiap fase kehidupan selaras dengan dharma.

Sementara itu, Hindu universal lebih banyak menekankan pada dimensi filsafat. Ia mengajak manusia untuk bertanya: siapa aku, dari mana aku datang, dan ke mana aku akan kembali. Ia mengajarkan bahwa tubuh hanyalah pakaian, sedangkan jiwa adalah inti yang kekal. Ia menuntun manusia untuk memahami bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan, dan tujuan akhir adalah kembali menyatu dengan Brahman.

Namun di Bali, ajaran ini diterjemahkan dengan penuh simbol. Pakaian putih dalam upacara melambangkan kesucian, api dalam ngaben melambangkan pembebasan roh, abu yang ditebar ke laut melambangkan kembalinya manusia ke asalnya. Dengan cara itu, orang Bali tidak hanya mendengar filsafat, tetapi menghidupinya melalui tindakan nyata yang dapat disentuh, dilihat, dan dirasakan.

Inilah kekuatan Hindu Bali: ia membuat ajaran universal menjadi hidup dalam keseharian. Anak-anak belajar tentang dharma sejak kecil, bukan hanya lewat kitab, tetapi lewat keterlibatan langsung dalam upacara. Mereka belajar menghargai alam karena sejak kecil diajak ke sawah untuk mantenin padi. Mereka belajar menghormati leluhur karena diajak meajar-ajar ke pura keluarga. Mereka belajar kesadaran kolektif karena terbiasa ngayah bersama banjar. Dengan cara ini, Hindu Bali menanamkan spiritualitas dalam ruang budaya.

Bila dilihat dari kacamata yang lebih luas, Hindu Bali bisa dipandang sebagai contoh bagaimana agama universal bisa beradaptasi tanpa kehilangan jiwa. Ia tidak memaksakan diri menjadi seragam, melainkan menyerap kearifan lokal dan memberinya makna spiritual. Inilah sebabnya mengapa Hindu tetap hidup di Bali hingga kini, meski di banyak tempat lain di Nusantara ia telah pudar. Hindu Bali bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga soal budaya, kesenian, tata ruang, bahkan politik sosial. Agama dan budaya berjalan beriringan, sehingga keduanya saling menopang.

Namun tentu saja, tantangan zaman modern tidak bisa dihindari. Hindu universal di banyak tempat kini lebih menekankan pada yoga, meditasi, dan filsafat yang bisa diterima oleh masyarakat global. Sementara Hindu Bali kerap dinilai terlalu banyak ritual, terlalu rumit, dan terlalu berat biaya. Tetapi bila kita kembali ke akar, sesungguhnya inti dari keduanya tetap sama: yadnya sebagai jalan bhakti, dharma sebagai penuntun hidup, dan moksha sebagai tujuan akhir.

Maka, Hindu universal dan Hindu Bali bukanlah dua agama yang berbeda, melainkan dua wajah dari satu kebenaran. Yang universal adalah cahaya, yang Bali adalah pelangi. Cahaya itu satu, pelangi itu banyak. Tetapi bukankah pelangi justru membuat cahaya itu lebih indah untuk dipandang?

Pada akhirnya, kita bisa belajar bahwa Hindu bukan sekadar ajaran yang dipelajari di kitab, tetapi jalan yang dijalani dalam hidup. Hindu universal memberi dasar bahwa Tuhan adalah segalanya. Hindu Bali mengajarkan bahwa segala hal, bahkan selembar janur dan setetes air, bisa menjadi persembahan kepada-Nya. Dari yang kecil sampai yang besar, dari yang terlihat sampai yang gaib, semuanya menyatu dalam satu tarikan napas: Om Tat Sat, Om Śanti Śanti Śanti Om.

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud