Langsung ke konten utama

Pradwija dalam Hindu Bali


 

Pradwijati dalam Hindu Bali

Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba

Menjadi wiku (medwijati) adalah sebuah perjalanan batin yang mendalam, bukan sekadar perubahan status sosial, bukan pula perubahan penampilan lahiriah. Jalan ini adalah brata agung—pengorbanan suci di mana seluruh kehidupan dipersembahkan sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap detik napas, setiap gerak, setiap kata menjadi yajña—persembahan tulus tanpa pamrih.

Seorang calon wiku tidak sekadar menanggalkan pakaian duniawi, tetapi juga menanggalkan seluruh identitas ego, kemelekatan pada harta, jabatan, bahkan pengakuan dari manusia. Ia memulai perjalanan menuju keheningan batin, di mana satu-satunya tujuan adalah menyatu dengan kesadaran tertinggi.

Namun, di zaman ini, sering kali kebangkitan spiritual disalahartikan. Banyak orang merasa bahwa kembali rajin sembahyang setelah mengalami penderitaan berarti sudah mencapai puncak rohani. Padahal, itu hanyalah gerbang awal—langkah pertama sebelum melangkah jauh ke dalam samudra tak terbatas yang disebut mokṣārtham jagadhita ya ca iti dharma.

Kebangkitan sejati bukan sekadar perubahan perilaku dari buruk menjadi baik, melainkan perubahan kesadaran dari terikat menjadi bebas, dari mencari Tuhan di luar menjadi menyadari bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Inilah yang dalam lontar Wrespati Tattwa disebut sebagai tattvajñāna, pengetahuan hakiki yang lahir dari pembersihan batin, bukan sekadar hafalan ajaran.

Naskah ini memadukan pandangan tattwa, petikan lontar, dan pengalaman rohani yang diwariskan para ṛṣi terdahulu. Semua ini disusun sebagai pegangan bagi mereka yang hendak menapaki jalan suci medwijati.
Ia bukan panduan untuk mencari kehormatan atau kenyamanan, melainkan cermin yang memantulkan kembali pertanyaan paling dalam:

“Apakah aku siap melepaskan segalanya demi kembali pada-Nya?”

Sebab, seperti yang diajarkan dalam Lontar Ganapati Tattwa:

“Tan hana dharma mangrasa ring awak, tan hana śānti tan hana mokṣa.”
“Tiada dharma tanpa rasa di dalam diri, tiada kedamaian, tiada kebebasan.”

Menjadi wiku adalah perjalanan pulang—jalan tanpa peta, tanpa janji duniawi, tetapi penuh cahaya bagi yang siap melangkah.

 I – Kebangkitan Spiritual: Pintu Gerbang, Bukan Tujuan Akhir

Di setiap kehidupan manusia, ada saat di mana badai datang tanpa ampun. Penderitaan, kehilangan, pengkhianatan, atau kebangkrutan batin—semua itu dapat menghancurkan apa yang selama ini kita banggakan. Dan sering kali, dari reruntuhan itulah seseorang mulai kembali menengadah, mencari cahaya dalam gelap, menyalakan dupa, melantunkan japa, atau berlari ke pura untuk memohon keselamatan.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam Lontar Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan:

"Manusa sakeng sangsara juga apawitra, mwang sangsara juga sang dadi murni."
“Manusia sering justru menjadi suci karena penderitaan yang dialaminya.”

Namun, di sinilah letak ujian halusnya: banyak yang mengira bahwa kembali rajin bersembahyang setelah jatuh berarti sudah selesai perjalanan rohani. Padahal, itu baru pintu gerbang. Kebangkitan spiritual sejati bukan hanya memindahkan kaki dari jalan gelap ke jalan terang, tetapi mengubah cara pandang kita terhadap seluruh kehidupan.

Orang yang benar-benar bangkit akan menyadari bahwa:

  • Kejatuhan adalah bagian dari rancangan karma yang presisi, bukan hukuman.
  • Karma adalah guru, bukan algojo. Apa yang kita tanam, kita tuai; bukan untuk membuat kita menderita, melainkan agar kita belajar.
  • Tuhan tidak pernah meninggalkan kita; Dia ada dalam napas kita, bahkan ketika kita merasa sendirian.

Kebangkitan ini ibarat kematian dan kelahiran kembali. Seperti ulat yang masuk ke kepompong, ia kehilangan bentuk lamanya untuk menjadi makhluk baru yang mampu terbang. Dalam Lontar Tattwa Jñāna diingatkan:

“Tan hana upāya saking pati, yadyapin wwang mangrasa urip.”
“Tak ada jalan menuju kehidupan sejati tanpa terlebih dahulu mati (secara ego).”

Bagi calon medwijati, memahami tahap ini penting agar tidak berhenti di gerbang awal. Sebab menjadi wiku bukan sekadar ‘sudah rajin sembahyang’, melainkan membiarkan seluruh lapisan ego terbuka, hingga yang tersisa hanyalah kesadaran murni.

II – Hakikat Wiku dalam Pandangan Tattwa Hindu Bali

Menjadi wiku bukanlah sekadar perubahan penampilan atau gelar rohani. Ia adalah transformasi total dari manusia biasa menjadi insan yang hidup sepenuhnya dalam kesadaran, bebas dari belenggu duniawi.

Dalam Lontar Wiku Sasana dijelaskan bahwa seorang wiku adalah:

“Wiku ngaranya wwang sane wus mapradnyan, mapramana ring tattwa, tan gumantung ring prapanca, tan gumantung ring puputan, nanging gumantung ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”
“Wiku adalah mereka yang telah bijaksana, memahami hakikat kebenaran, tidak bersandar pada dunia dan hasilnya, melainkan bersandar hanya pada Tuhan.”

Hakikat menjadi wiku adalah melepaskan, bukan mengumpulkan. Melepaskan harta, jabatan, keluarga, bahkan identitas diri. Semua ikatan duniawi ditanggalkan, bukan karena membenci dunia, tetapi karena memahami bahwa dunia hanyalah jembatan, bukan tujuan akhir.

Bagi seorang calon medwijati, ada beberapa prinsip pokok yang harus dihayati:

  1. Pratyāhāra – Menarik pancaindera dari keterikatan pada objek-objek duniawi.
  2. Titik Kesadaran – Memahami bahwa semua makhluk adalah bagian dari Ida Sang Hyang Widhi.
  3. Śānti – Menjaga kedamaian batin, bahkan di tengah badai kehidupan.
  4. Tapa Brata – Disiplin dalam pengendalian diri dan pengabdian suci.

Seorang wiku tidak menilai dirinya suci karena ia mengenakan pakaian putih atau memelihara rambut panjang. Kesucian tidak lahir dari simbol luar, melainkan dari hati yang telah bebas dari rāga (nafsu), krodha (amarah), dan lobha (keserakahan).

Dalam Bhagavadgītā VI.8, Kṛṣṇa bersabda:

“Jñāna-vijñāna-tṛpta-ātmā kūṭa-stho vijitendriyaḥ, yukta ity ucyate yogī sama-loṣṭrāśma-kāñcanaḥ.”
“Dia yang puas dalam pengetahuan dan kebijaksanaan, yang teguh dan menguasai indra, sama memandang segumpal tanah, batu, dan emas—itulah yogi yang sejati.”

Hakikat wiku adalah menyamakan pandangan terhadap semua fenomena, tidak lagi terikat pada suka dan duka.

III – Proses Pelepasan dan Pembukaan Lapisan Ego

Perjalanan menjadi wiku ibarat mengupas bawang—lapisan demi lapisan dilepaskan, hingga yang tersisa hanyalah inti murni. Proses ini tidak nyaman, karena setiap lapisan ego yang dibuka akan memunculkan air mata. Namun, justru di sanalah penyucian terjadi.

Dalam Lontar Tutur Bhuwana diuraikan bahwa manusia dibungkus oleh tiga lapisan utama:

  1. Śarīra – badan fisik.
  2. Antaḥkaraṇa – pikiran dan perasaan.
  3. Ātman – roh murni yang adalah percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Lapisan pertama dan kedua sering kali menjadi benteng tebal yang menutupi cahaya Ātman. Maka, seorang calon medwijati harus melalui proses nirmala—penyucian lahir dan batin—yang meliputi:

  • Pelepasan materi – meninggalkan harta dan kenyamanan dunia.
  • Pelepasan identitas – tidak lagi melekat pada nama, status, atau kebanggaan diri.
  • Pelepasan keterikatan emosional – melepaskan kemelekatan terhadap pujian, cinta duniawi, dan rasa aman semu.

Proses ini disebut dalam Lontar Sang Hyang Kamahayanikan sebagai “pati raga”, yaitu mati terhadap tubuh dan egonya, agar jiwa dapat lahir kembali dalam kesadaran murni.

Seperti kepompong yang hancur dari dalam demi melahirkan kupu-kupu, begitu pula seorang calon wiku harus merelakan kehancuran bentuk lama. Dan sama seperti kupu-kupu yang tidak lagi kembali menjadi ulat, seorang wiku sejati tidak lagi kembali pada cara hidup duniawi.

Pada tahap ini, banyak yang diuji dengan rasa sepi dan keterasingan. Namun, sepi ini bukan kesia-siaan, melainkan keheningan suci yang memurnikan hati. Sebab dalam hening itulah Ida Sang Hyang Widhi berbicara tanpa kata, mengajar tanpa suara.

Seperti tertulis dalam Bhagavadgītā VI.6:

“Bandhur ātmātmanas tasya yenātmaivātmanā jitaḥ, anātmanas tu śatrutve vartetātmaiva śatru-vat.”
“Bagi yang telah menaklukkan diri, diri adalah sahabat terbaik. Namun, bagi yang gagal menaklukkan diri, diri menjadi musuh yang paling berat.”

Pelepasan ego bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari kesatuan dengan sumber sejati.

IV – Makna Karma sebagai Guru, Bukan Hukuman

Banyak orang melihat karma sebagai vonis atau kutukan. Padahal dalam pandangan tattwa Hindu Bali, karma adalah mekanisme pembelajaran semesta—jalan yang penuh kasih untuk mengembalikan kita pada keseimbangan.

Dalam Lontar Karmaphala, disebutkan:

“Karma phala ngaranya sasolahan ida Sang Hyang Widhi, nyidayang manah ring sarwa bhuta, mangda wenten ring suksma margi.”
“Karma phala adalah permainan Tuhan yang mengarahkan pikiran semua makhluk menuju jalan halus (kesadaran).”

Karma tidak diciptakan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan. Segala perbuatan, baik atau buruk, adalah benih. Benih itu akan tumbuh sesuai sifatnya—dan saat ia berbuah, ia mengajarkan kita tentang apa yang pernah kita tanam.

Bagi seorang calon medwijati, memahami karma berarti:

  1. Menerima segala peristiwa tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk diri sendiri.
  2. Menyadari bahwa semua pengalaman adalah pelajaran yang presisi, dirancang untuk membentuk kebijaksanaan.
  3. Melepaskan dendam karena paham bahwa setiap kejadian adalah cermin dari perbuatan yang pernah dilakukan, entah di masa kini atau masa lampau.

Karma ibarat guru yang sabar—tidak pernah bosan mengajar, bahkan jika muridnya lambat belajar. Ia akan datang berulang kali dalam bentuk peristiwa berbeda, sampai pelajaran benar-benar dipahami.

Seperti tertulis dalam Bhagavadgītā IV.17:

“Gahanā karmaṇo gatiḥ”
“Sulit dipahami jalan kerja karma.”

Memahami karma dengan hati terbuka akan membuat perjalanan spiritual menjadi ringan. Karena kita tidak lagi memandang hidup sebagai serangkaian cobaan yang menghukum, melainkan rangkaian anugerah yang membimbing.

Dengan kesadaran ini, seorang wiku sejati melangkah tanpa rasa takut pada masa depan dan tanpa beban dari masa lalu—sebab ia tahu bahwa setiap langkahnya berada di bawah hukum kasih semesta.

V – Keheningan sebagai Jalan Terdekat Menuju Ida Sang Hyang Widhi

Bagi seorang medwijati, doa terindah bukan selalu terucap lewat kata-kata, melainkan melalui keheningan batin.
Keheningan ini bukan berarti tidak bergerak atau diam secara fisik, tetapi sebuah keadaan di mana pikiran tidak lagi berisik oleh keinginan, kekhawatiran, atau penilaian.

Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa, disebutkan:

“Yan tan hana swara, tan hana wacana, inggih punika swara sang paramartha.”
“Ketika tidak ada suara dan tidak ada kata, di situlah suara sejati terdengar.”

Keheningan sejati adalah pintu menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Saat hati tenang, kesadaran kita menyatu dengan nafas, dan di sanalah kita menemukan bahwa Beliau tidak pernah jauh—Beliau adalah inti dari diri ini.

Bagi calon wiku, latihan keheningan (mauna) adalah:

  1. Menyepi dari hiruk pikuk dunia, bukan untuk lari, tetapi untuk menyaksikan diri apa adanya.
  2. Menjaga pikiran agar tidak menghakimi, tidak melekat, dan tidak menolak.
  3. Mendengarkan suara sunyi di dalam, yang bukan berasal dari telinga, melainkan dari hati terdalam.

Keheningan membuat kita mengerti bahwa hubungan dengan Tuhan tidak selalu memerlukan ritual lahiriah. Upacara memang penting sebagai sarana saksi, tetapi inti hubungan itu ada di dalam kesadaran, yang menyala bahkan tanpa dupa atau mantra.

Seperti diajarkan dalam Bhagavadgītā VI.15:

“Yuñjann evaṁ sadātmānaṁ yogī niyata-mānasaḥ, śāntiṁ nirvāṇa-paramāṁ mat-saṁsthām adhigacchati.”
“Dengan memusatkan diri senantiasa, yogi yang pikiran dan hatinya terkendali akan mencapai kedamaian tertinggi, yang bersemayam dalam-Ku.”

Dalam tahap ini, seorang calon medwijati mulai memahami bahwa yang ia cari selama ini tidak pernah pergi—Tuhan adalah nafasnya sendiri.

VI – Melepaskan Ilusi dan Kembali ke Jalan Dharma

Perjalanan seorang medwijati adalah perjalanan melepaskan maya—tirai ilusi yang membuat manusia terikat pada suka dan duka. Ilusi ini membuat kita merasa terpisah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, padahal Beliau senantiasa hadir dalam setiap detik kehidupan.

Dalam Lontar Sarasamuscaya sloka 6, disebutkan:

“Yan hana ta lawan apadruhyana, mwaṅ apawitraning manah, tan papaluyakena ring sang hyang dharma.”
“Bila ada pikiran yang menyimpang dan hati yang ternoda, jangan jauhkan diri dari dharma.”

Ilusi terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kebahagiaan sejati dapat dibeli, dicari, atau dimiliki di luar diri. Padahal, kebahagiaan sejati adalah sifat asli Atman, yang hanya dapat kita rasakan bila pikiran kembali jernih dan bebas dari nafsu.

Bagi seorang calon wiku, melepaskan ilusi berarti:

  1. Menyadari bahwa setiap pengalaman duniawi adalah sementara.
  2. Menanggalkan identitas palsu—status, jabatan, penampilan—yang selama ini menjadi kebanggaan atau topeng.
  3. Kembali kepada dharma sebagai arah hidup, tanpa berharap imbalan.

Menjadi wiku bukan profesi, melainkan pengabdian total. Jika ada harapan untuk mendapat balasan duniawi, maka jalan ini kehilangan kesucian. Seorang wiku sejati berjalan bukan karena ingin dikenal, melainkan karena terpanggil untuk mengabdi tanpa pamrih.

Seperti diingatkan dalam Bhagavadgītā II.47:

“Karmanye vadhikaraste ma phalesu kadacana.”
“Engkau berhak atas perbuatanmu, tetapi tidak atas hasilnya.”

Saat semua ilusi dilepaskan, seseorang akan menemukan kebebasan batin yang sejati. Bebas bukan berarti memiliki segalanya, melainkan tidak lagi diperbudak oleh apapun.

Pada titik inilah, jalan pulang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa terbuka lebar—dan seorang medwijati akan berjalan dengan ringan, sebab yang ia bawa hanya satu: hati yang tulus.

 VII – Tanda Seseorang Benar-benar Bangkit Spiritual

Kebangkitan spiritual sejati tidak selalu terlihat dari penampilan luar. Dalam pandangan umum, orang yang bangkit rohani sering dianggap semakin religius secara lahiriah—rajin sembahyang, mengenakan busana suci, atau aktif dalam ritual. Namun, bagi calon medwijati, tanda-tanda kebangkitan justru sering tak kasat mata.

Dalam Lontar Tattwa Jñana, disebutkan:

“Sang tattwa winarah ring swara hening, tan kasaksian ring jagat, nanging tan sirna ring atma.”
“Pemahaman sejati diajarkan dalam suara hening, tidak disaksikan dunia, namun tetap hidup di dalam jiwa.”

Tanda seseorang telah bangkit secara spiritual antara lain:

  1. Pikiran menjadi teduh. Tidak mudah terseret amarah atau kesedihan.
  2. Ego mulai luntur. Tidak lagi mencari pembenaran diri atau merasa lebih suci dari orang lain.
  3. Melihat segalanya sebagai guru. Baik atau buruk, semua kejadian dianggap sebagai pelajaran dari Ida Sang Hyang Widhi.
  4. Hati penuh welas asih. Tidak tega menyakiti, bahkan pada yang pernah menyakiti.
  5. Tidak lagi melekat pada hasil. Segala tindakan dilakukan sebagai persembahan (yajña), tanpa pamrih duniawi.

Ironisnya, orang yang berada di tahap ini terkadang terlihat “tidak beragama” di mata masyarakat, karena ia tidak selalu menonjolkan ritual. Namun, justru di balik kesederhanaannya, ia hidup dalam kesadaran penuh akan hadirat Tuhan.

Seperti ajaran Bhagavadgītā VI.8:

“Jñāna-vijñāna-tṛptātmā kūṭastho vijitendriyaḥ, yukta ity ucyate yogī sama-loṣṭāśma-kāñcanaḥ.”
“Yogi yang puas dalam pengetahuan dan kebijaksanaan, mantap, menaklukkan indra, memandang sama tanah, batu, dan emas—itulah yang disebut bersatu dengan-Ku.”

Bagi calon medwijati, memahami tanda-tanda ini penting agar tidak terjebak pada penilaian lahiriah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kebangkitan sejati adalah peralihan dari mencari Tuhan di luar menjadi menyadari bahwa Beliau adalah inti dari segala kehidupan.

VIII – Penutup: Jalan Pulang Sang Wiku

Perjalanan menjadi wiku adalah perjalanan pulang—bukan pulang ke sebuah tempat fisik, melainkan pulang ke kesadaran sejati. Pulang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang sesungguhnya tidak pernah meninggalkan kita.

Seorang calon medwijati harus memahami bahwa jalan ini penuh ujian. Ujian bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengikis ego lapis demi lapis, hingga tersisa hati yang murni. Lontar Dharma Sunya mengajarkan:

“Tan hana wong mukti tan anglampahi sangsara, sangsara wruha sakti marga ring amerta.”
“Tiada orang mencapai pembebasan tanpa melalui penderitaan; penderitaan adalah jalan menuju keabadian.”

Menjadi wiku berarti siap kehilangan banyak hal duniawi—kenyamanan, kedudukan, bahkan identitas lama—demi mendapatkan sesuatu yang tak ternilai: kebebasan dari ikatan samsara.

Pada akhirnya, yang dibawa seorang wiku bukanlah gelar, bukan penampilan, bukan kekayaan. Yang ia bawa hanyalah satu: kesadaran penuh bahwa dirinya dan Sang Pencipta adalah satu, bagaikan ombak yang tak pernah terpisah dari lautan.

Seperti pesan dalam Bhagavadgītā IV.39:

“Śraddhāvān labhate jñānaṁ, tat-paraḥ saṁyatendriyaḥ; jñānaṁ labdhvā parāṁ śāntim acireṇādhigacchati.”
“Orang yang beriman, yang menundukkan inderanya, dan mengabdikan diri, memperoleh pengetahuan; dengan pengetahuan itu ia segera mencapai kedamaian tertinggi.”

Jalan pulang sang wiku adalah jalan kesunyian yang ramai oleh doa, jalan kehilangan yang penuh oleh keberlimpahan rohani, dan jalan pengabdian yang sepi dari pamrih. Siapa pun yang melangkah dengan hati tulus akan menemukan bahwa sesungguhnya ia tidak pernah benar-benar tersesat—ia hanya sedang dipanggil pulang.

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud