Daun Beringin dalam Ritus Memukur: Simbol
Kesadaran dan Pelepasan
Oleh
: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.
Pohon
beringin (Ficus benjamina), dalam banyak teks tattva, dimaknai sebagai
lambang keteguhan dan perlindungan. Ia berdiri tegak dengan akar yang
menghunjam ke bumi sekaligus menggantung dari udara, seolah menjembatani langit
dan bumi. Karena itulah, dalam Siwa Tattwa disebutkan:
“Wṛkṣa wringin prabhāwa Sang Hyang Siwa ring jagat, nyuhunaken teduh ring sarwa
prani, mwang nira nika dadi panuntun ring atma tumut ring mokṣa.”
(Pohon beringin adalah perwujudan Siwa di dunia, memberi keteduhan bagi seluruh
makhluk, dan menjadi penuntun roh menuju mokṣa).
Kutipan
ini menunjukkan bahwa daun beringin bukan sekadar dedaunan, tetapi dianggap
sebagai simbol teduhnya kesadaran Siwa yang menaungi perjalanan roh.
Daun
Beringin sebagai Simbol Pelepasan
Dalam
ritus memukur, daun beringin kerap digunakan sebagai alas dan
pengikat sarana yang menyertai perjalanan roh. Filosofinya, roh leluhur
yang dipuja sedang menapaki jalan terang, melepaskan ikatan duniawi. Daun
beringin menjadi lambang payung kosmis, tempat roh beristirahat sebelum
naik menuju lapisan yang lebih tinggi.
Dalam
Prajapati Tattwa dijelaskan:
“Sanghyang
Prājāpati tan len than Siwa, Sanghyang Brahma, mwang Sanghyang Wisnu. Sira ta
ngaran ring wṛkṣa weringin, ngaran ring prabhāwa, ngaran ring teduhing jagat.”
(Sang Hyang Prajapati tiada lain adalah Siwa, Brahma, dan Wisnu. Beliau disebut
sebagai pohon beringin, lambang kekuatan dan keteduhan dunia).
Dengan
demikian, daun beringin dalam upacara memukur bukan hanya perhiasan ritual,
melainkan lambang Prajapati itu sendiri—sumber kehidupan, penopang, dan
pemelihara.
Falsafah
Akar dan Dahan: Jembatan Dunia
Beringin
memiliki akar yang menghunjam dalam dan dahan yang menjulang luas. Akar
melambangkan keterikatan dengan leluhur dan bumi, sementara dahan yang
menjulang ke angkasa melambangkan arah mokṣa. Roh yang dipukur seolah
diajak untuk mengikuti hukum pohon beringin: menghormati asal-usulnya, namun
tidak berhenti di bumi, melainkan terus naik menuju Tuhan.
Hal
ini ditegaskan dalam Bhuwanakosa, salah satu naskah tattva Bali, yang
menyebutkan:
“Bingin
linggih Sang Hyang Tiga, Brahma, Wisnu, Iswara. Dadyaning wṛkṣa nira,
pinakapanyengker bhuwana alit lan agung.”
(Beringin adalah tempat bersemayamnya tiga aspek Tuhan—Brahma, Wisnu, Iswara.
Pohon itu menjadi penjaga keseimbangan alam kecil dan alam besar).
Kesadaran
Filosofis dalam Memukur
Ritus
memukur adalah jalan untuk mengembalikan roh leluhur ke asalnya. Dalam
prosesi ini, daun beringin menjadi penuntun kesadaran, mengingatkan bahwa hidup
di dunia hanyalah persinggahan. Seperti beringin yang menaungi siapa saja tanpa
membeda-bedakan, demikian pula kesadaran roh harus mencapai tahap samadr̥ṣṭi—melihat
segala sesuatu dalam kesatuan.
Bhagavadgītā
XI.55 memberikan peneguhan:
“Mat-karma-kṛn
mat-paramo mad-bhaktah saṅga-varjitah, nirvairaḥ sarva-bhūteṣu yaḥ sa mām eti
pāṇḍava.”
(Ia yang bekerja demi-Ku, menjadikan Aku tujuan tertinggi, berbhakti kepada-Ku
tanpa keterikatan, tanpa kebencian kepada siapa pun—ia akan datang kepada-Ku,
wahai Pandawa).
Penutup:
Daun Beringin sebagai Jalan Pulang
Maka,
pemakaian daun beringin dalam ritus memukur adalah pengingat bahwa roh
leluhur sedang menapaki jalan pulang menuju Ida Sang Hyang Widhi. Ia teduh
dalam perlindungan Siwa, ia kuat dalam genggaman Prajapati, dan ia bebas
seperti akar gantung beringin yang tidak lagi menempel pada tanah.
Dengan
menyelipkan daun beringin dalam ritual, sejatinya umat Hindu Bali tengah
menegaskan keyakinan filosofis: bahwa roh tidak pernah hilang, ia hanya kembali
pada sumbernya. Seperti dalam Siwa Tattwa:
“Sangkan
paraning atma ring Siwa tattwa, aneng ring wṛkṣa beringin, tan hana wisesaning
jagat tanpa teduh nira.”
(Asal dan tujuan roh adalah Siwa tattwa, bersemayam dalam pohon beringin; tiada
dunia yang bisa hidup tanpa naungannya).
Komentar
Posting Komentar