Langsung ke konten utama

Kebahagian Sejati

Kebahagiaan Sejati

Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba

Ada masa ketika hidup membawa kita pada ruang hening, ruang di mana tak ada lagi suara ramai dunia yang membius telinga. Di situlah kita mulai mengenal kesendirian. Ia bukan musuh, bukan pula kutukan, melainkan sebuah undangan untuk menengok ke dalam. Dalam kesendirian, kita belajar bahwa dunia luar hanyalah cermin. Segala gemuruh, pujian, dan celaan hanyalah gema yang tak pernah abadi. Yang abadi justru adalah suara lirih di dalam hati, yang sering kita abaikan karena terlalu sibuk mengejar hiruk-pikuk dunia.

Namun ada kalanya kesendirian itu berubah wajah menjadi kesepian. Inilah saat ketika hening terasa menusuk, ketika malam panjang seolah hanya menyisakan sunyi yang dingin. Kesepian adalah saat jiwa merindukan kehadiran, namun tak tahu pada siapa harus bersandar. Banyak orang berlari mengusir kesepian dengan keramaian semu, padahal sesungguhnya ia adalah guru yang mengajarkan bahwa keutuhan tidak datang dari luar, melainkan dari penerimaan diri sendiri.

Ada pula babak kehidupan di mana kita merasa terasing. Dunia sekitar seolah tak lagi seirama dengan langkah kita. Orang-orang berbicara dalam bahasa yang tak lagi kita mengerti. Terasing adalah tanda bahwa kita sedang melangkah pada jalan yang berbeda, jalan yang kadang harus ditempuh seorang diri. Tetapi justru dalam terasing, kita diberi kesempatan untuk meneguhkan diri: apakah kita tetap setia pada suara hati, ataukah kembali hanyut mengikuti arus kebanyakan.

Dan yang paling sunyi adalah keterasingan. Ini bukan sekadar rasa jauh dari orang lain, melainkan perasaan terlempar, tidak diterima, bahkan oleh lingkungan terdekat. Keterasingan bisa melukai, membuat kita meragukan siapa diri kita sebenarnya. Tetapi pada saat yang sama, keterasingan juga dapat menjadi pintu pencerahan, sebab ketika semua pintu dunia tertutup, satu-satunya jalan adalah mengetuk pintu langit, pintu diri sejati yang bersatu dengan Sang Pencipta.

Suatu hari saya pernah berjumpa seorang lelaki tua di sebuah pura kecil di lereng gunung. Rambutnya memutih, tubuhnya kurus, dan tatapannya teduh. Ia berkata, “Nak, dulu aku mencari kebahagiaan dengan mengejar banyak hal—uang, nama, pujian. Aku pernah dikelilingi orang banyak, tetapi tetap merasa kosong. Baru ketika aku belajar berdamai dengan kesendirian, merangkul kesepian, menerima terasing, dan ikhlas dalam keterasingan, aku menemukan bahwa kebahagiaan sejati itu sederhana: bersatu dengan diri, bersyukur pada hidup, dan menyadari bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri, karena Tuhan senantiasa ada.”

Kebahagiaan sejati bukanlah hilangnya sunyi, melainkan kemampuan menari bersama sunyi. Bukan ketiadaan luka, melainkan keberanian merawat luka. Bukan selalu ditemani banyak orang, melainkan menemukan bahwa- bahkan dalam kesendirian, ada keutuhan yang tak tergoyahkan. Dan ketika kita mampu melihat semua itu, maka kesepian menjadi doa, terasing menjadi jalan, keterasingan menjadi cahaya, dan hidup pun menjelma anugerah yang utuh

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud