Langsung ke konten utama

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra

 

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra

Di dunia yang bergerak semakin cepat, manusia makin sering memilih hidup mengikuti dorongan—keinginan, hasrat, insting. Segala sesuatu diukur dengan “apa yang aku mau”, bukan “apa yang seharusnya benar”. Dalam keramaian pikiran yang makin bising, ajaran suci sering kali ditinggalkan, diganti dengan nafsu yang menyamar menjadi kebutuhan modern.

Padahal, ribuan tahun silam, Śrī Kṛṣṇa sudah mengingatkan lewat Bhagavad Gītā bab 16 śloka 23:

yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ
na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim

"Barang siapa meninggalkan petunjuk śāstra dan bertindak hanya menurut hawa nafsunya, ia tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak meraih kebahagiaan, dan tidak sampai pada tujuan tertinggi."

Petunjuk yang Sering Terabaikan
Śāstra bukan sekadar teks kuno. Ia adalah kompas moral yang menuntun manusia agar tidak tersesat dalam pusaran keinginan. Tetapi, saat manusia merasa “cukup pintar”, ia meninggalkan petunjuk ini. Hukum spiritual diganti ego pribadi, kebijaksanaan ditukar ambisi.

Di sinilah muncul kāma-kārataḥ: bertindak menurut keinginan semata. Terlihat bebas, padahal justru terikat. Nafsu tak pernah benar-benar terpenuhi. Begitu satu tercapai, yang lain menunggu. Hidup menjadi lingkaran tak berujung.

Tiga Kehilangan Besar
Śrī Kṛṣṇa menjelaskan, siapa yang hidup mengabaikan śāstra akan kehilangan tiga hal berharga:

1. Kesempurnaan (Na Siddhim)
Tanpa nilai luhur, hidup sulit seimbang. Pencapaian hanya terlihat megah di luar, tapi hati tetap gelisah. Keberhasilan pun rapuh bila tidak berdasar dharma.

2. Kebahagiaan Sejati (Na Sukham)
Hawa nafsu hanya memberi rasa puas sesaat, lalu menuntut lagi. Seperti minum air laut—semakin diminum, semakin haus. Tanpa bimbingan rohani, kebahagiaan sejati sulit ditemukan.

3. Tujuan Tertinggi (Na Parāṁ Gatim)
Manusia yang terputus dari jalan suci akan terus berputar dalam samsara. Ia gagal mencapai moksha, kebebasan abadi dari siklus penderitaan.

Kembali Mendengar Suara Kebenaran
Petunjuk s


uci tidak membelenggu. Justru menjadi cahaya penuntun. Ia menjaga agar manusia tak tenggelam dalam gelapnya keinginan yang membutakan. Śāstra mengajarkan bagaimana menggunakan akal dan hati selaras dengan dharma.

Manusia boleh maju secanggih apa pun, tetapi nilai-nilai dasar tidak boleh hilang. Tanpa dharma, kemajuan hanyalah percepatan menuju kehancuran.

Penutup
Sloka ini bukan ancaman, tetapi panggilan penuh kasih agar manusia tidak bermain api. Jika ingin hidup damai, berbahagia, dan pulang ke tujuan tertinggi, jalannya jelas: kembali ke śāstra, kembali ke dharma, kembali ke kejujuran hati.

Di tengah hiruk-pikuk zaman, bisikan itu masih ada—menunggu didengar:
"Jangan ikuti hawa nafsumu. Dengarkan kembali suara kebenaran yang selalu menuntunmu pulang."

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud