Rekontekstualisasi Ajaran dan Tradisi: Belajar dari Kisah Mesatya dalam Hindu
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba
Kitab suci, dalam pandangan agama apa pun, adalah sumber nilai yang bersifat tetap—tidak dapat dihapus atau diubah. Ayat-ayatnya tetap tertulis, tetapi konteks penerapannya bergerak mengikuti arus zaman. Dunia terus berubah, baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun hukum. Perubahan ini tidak bisa kita hentikan, tidak peduli apakah kita menyukainya atau tidak. Yang dapat kita lakukan adalah menafsirkan ulang makna ayat atau tradisi tersebut agar tetap selaras dengan kemanusiaan, pendidikan, kecerdasan, dan kesejahteraan zaman ini.
Dalam konteks agama Hindu, salah satu contoh yang mencolok adalah praktik mesatya—ritual di mana seorang istri ikut mengakhiri hidupnya dengan terjun ke api unggun setelah suaminya (biasanya raja atau bangsawan) meninggal dunia. Pada masa lalu, mesatya dipandang sebagai bentuk kesetiaan yang luhur. Namun, sejarah dan nalar kemanusiaan mengajarkan bahwa tidak semua tradisi layak dipertahankan tanpa kritik.
Terdapat sebuah kisah yang bijak tentang hal ini. Alkisah, seorang ratu hendak melaksanakan mesatya demi suaminya. Api besar telah disiapkan. Namun, di tengah prosesi, ia mendengar percakapan sepasang kambing—jantan dan betina. Mereka berdebat tentang tindakan sang ratu. Kambing betina berkata, "Sungguh konyol. Ia meninggalkan anak-anak dan keluarganya hanya demi mengikuti suaminya ke kematian. Bukankah itu lari dari tanggung jawab?" Kambing jantan pun mengangguk setuju.
Kisah ini menjadi simbol bahwa kesetiaan tidak boleh dimaknai secara sempit hingga mengorbankan kehidupan yang masih bernilai. Kehidupan itu sendiri adalah anugerah, dan tanggung jawab kepada anak-anak, keluarga, serta masyarakat adalah bentuk kesetiaan yang justru lebih luhur.
Di sinilah pentingnya rekontekstualisasi—memahami makna inti dari suatu ajaran atau tradisi, lalu menerapkannya dengan cara yang relevan di masa kini. Kesetiaan dalam zaman modern tidak berarti mengorbankan nyawa secara literal, tetapi menjaga komitmen, mendampingi keluarga, membesarkan anak-anak, dan meneruskan nilai-nilai luhur pasangan yang telah tiada.
Sebagai masyarakat yang beragama dan berbudaya, kita tidak kehilangan esensi spiritual jika menyesuaikan penerapan ajaran dengan zaman. Sebaliknya, kita justru memperkaya makna ajaran itu, membuatnya hidup dan bermanfaat. Inilah bentuk progres yang diperlukan—progres yang berpihak pada kemanusiaan, mengutamakan pendidikan, meningkatkan kualitas hidup, dan memastikan kesejahteraan bersama.
Komentar
Posting Komentar