Langsung ke konten utama

Awig-Awig Adat dan Agama: Nafas Dharma dalam Kehidupan Bali

Awig-Awig Adat dan Agama: Nafas Dharma dalam Kehidupan Bali

Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Mabusba.

Di Bali, kehidupan masyarakat tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu bernaung di bawah payung adat dan agama, yang menyatu bagaikan air dengan sungai. Adat tanpa agama hanyalah aturan kering tanpa ruh, agama tanpa adat hanyalah doa yang menggantung di udara tanpa pijakan. Keduanya bertemu dalam bentuk yang paling nyata: awig-awig adat, aturan yang lahir dari kebersamaan warga, disucikan dengan upacara, dan dijalankan dengan keyakinan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa hadir menyaksikan setiap kesepakatan.


Awig-awig bukan sekadar hukum desa. Ia adalah denyut nadi yang menjaga ritme kehidupan bersama. Di dalamnya termuat aturan tentang bagaimana manusia berhubungan dengan sesama (pawongan), bagaimana manusia menjaga harmoni dengan alam (palemahan), dan bagaimana manusia mengabdi kepada Tuhan (parhyangan). Semua itu sesungguhnya adalah pengejawantahan dari ajaran Tri Hita Karana, tiga penyebab kebahagiaan. Dengan demikian, menjalankan awig-awig sama artinya dengan menjaga Dharma.


Awig-Awig sebagai Bayangan Dharma

Dalam kitab Sarasamuscaya sloka 74 disebutkan:


“Dharma itu penuntun hidup. Barang siapa berpegang pada Dharma, ia akan selamat, baik di dunia maupun di alam niskala.”


Sloka ini menegaskan bahwa Dharma adalah pelindung. Awig-awig adat pun lahir dari kesadaran kolektif untuk melindungi masyarakat dari kekacauan. Ia adalah Dharma yang dituangkan ke dalam bentuk kesepakatan, sehingga setiap warga tahu batas dan kewajibannya. Misalnya, aturan tentang gotong royong (ayahan desa), tentang upacara desa, tentang tata cara membangun rumah, hingga tata cara menjaga hutan dan sumber mata air. Semua itu dimaksudkan agar kehidupan desa berjalan rukun dan seimbang.


Namun, sebagaimana Dharma bisa dijalankan atau dilanggar, awig-awig pun memiliki wajah ganda. Bila dijalankan dengan tulus, ia menjadi pelita yang menuntun. Tetapi bila disalahgunakan, ia bisa berubah menjadi alat kepentingan.


Penyalahgunaan Awig-Awig


Sejarah mencatat, ada saat-saat di mana awig-awig adat dijadikan senjata. Seorang warga yang berbeda pendapat bisa dikenai kasepekang—diputus hubungan sosial, dilarang ikut serta dalam kegiatan desa, bahkan tidak boleh memanfaatkan fasilitas umum. Dalam bentuk aslinya, kasepekang dimaksudkan sebagai sanksi mendidik, agar seseorang menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan Dharma. Tetapi dalam praktiknya, ia bisa dipakai sebagai cara untuk menyingkirkan lawan, bukan mendidik.


Demikian juga dengan denda adat. Sesungguhnya denda itu adalah simbol penyucian, pengganti dari upacara untuk menyeimbangkan pelanggaran. Namun sering kali, denda berubah menjadi sekadar beban ekonomi yang menekan. Bahkan ada kasus di mana besarnya denda ditentukan lebih oleh nafsu kelompok penguasa desa daripada oleh nilai Dharma.


Di titik inilah kita harus jujur berkata: awig-awig bisa kehilangan rohnya bila manusia lupa pada tujuan awalnya. Sebab, awig-awig hanyalah wadah. Isinya bergantung pada hati manusia yang menjalankannya. Bila hati dipenuhi keserakahan, awig-awig menjadi tajam menusuk. Tetapi bila hati dipenuhi ketulusan, awig-awig menjadi sejuk dan menentramkan.


Agama sebagai Sumber Awig-Awig

Awig-awig adat tidak lahir dari ruang kosong. Leluhur Bali merumuskannya berdasarkan ajaran agama Hindu. Ketika sebuah desa menyusun awig-awig baru, upacara dilakukan di pura desa. Peraturan dibacakan di hadapan pratima, disaksikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian, awig-awig menjadi bukan sekadar aturan duniawi, melainkan janji suci kepada Tuhan.


Inilah yang membedakan awig-awig dari sekadar hukum positif. Negara membuat undang-undang berdasarkan kesepakatan politik. Desa adat membuat awig-awig dengan landasan religius, menyadari bahwa setiap kata yang ditulis adalah yadnya. Karena itu, pelanggaran awig-awig dianggap tidak hanya melawan masyarakat, tetapi juga melawan kesucian desa dan restu Tuhan.


Kitab Bhagavad Gita (III.16) menyebutkan:


“Barang siapa hidup di dunia tanpa menjalankan roda yadnya, ia hidup sia-sia, bagaikan orang yang hanya hidup untuk memuaskan indrianya.”


Sloka ini mengingatkan bahwa hidup harus dilandasi yadnya, pengorbanan suci. Awig-awig pun pada hakikatnya adalah yadnya kolektif, karena setiap orang rela mengikat diri demi kebaikan bersama.


Antara Agama, Awig-Awig, dan Masyarakat Modern


Namun, sebuah pertanyaan selalu muncul: bila ada masyarakat maju yang hidup tertib tanpa agama, lalu apa guna agama dan awig-awig? Bukankah aturan negara sudah cukup untuk membuat orang disiplin?


Pertanyaan ini penting, tetapi jawabannya terletak pada kedalaman makna. Aturan negara memang bisa membuat orang tertib, tetapi ia hanya mengatur perilaku luar. Agama dan awig-awig adat menyentuh sesuatu yang lebih dalam: batin manusia. Awig-awig mengikat tidak hanya lewat rasa takut pada sanksi, tetapi juga lewat rasa malu, rasa hormat, dan rasa spiritual. Ia tidak hanya menciptakan keteraturan, tetapi juga kebersamaan dan kesucian.


Masyarakat maju bisa tertib tanpa agama karena mereka hidup dalam kontrak sosial yang kuat, disokong oleh hukum negara yang ditegakkan konsisten. Namun, dalam masyarakat Bali, roh kebersamaan justru terjaga oleh harmoni antara adat dan agama. Tanpa agama, awig-awig kehilangan sakralitasnya. Tanpa awig-awig, agama kehilangan wujud praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.


Kembali ke Roh Awig-Awig


Kini, tantangan terbesar adalah menjaga agar awig-awig tetap berpijak pada Dharma. Modernitas membawa perubahan besar: pariwisata, kepentingan ekonomi, politik lokal. Semua itu bisa menyusup dan menggeser makna awig-awig. Karena itu, generasi sekarang harus berani memurnikan awig-awig, memastikan bahwa setiap aturan masih selaras dengan ajaran agama.


Dalam Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan:


“Manusia lahir ke dunia bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya sebelum ajal tiba.”


Sloka ini menegaskan tujuan hidup manusia. Awig-awig adat hanya akan bermakna bila ia menolong manusia untuk berbuat kebajikan. Bila ia malah melahirkan ketidakadilan, itu tandanya ia sudah menyimpang dari tujuan sejatinya.


Penutup: Awig-Awig sebagai Yadnya


Pada akhirnya, awig-awig adat adalah yadnya yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah upacara tanpa dupa, persembahan tanpa bunga, doa tanpa mantra. Ia adalah persembahan manusia Bali kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk keteraturan sosial.


Bila awig-awig dijalankan dengan tulus, ia menjaga desa tetap harmonis, umat tetap rukun, dan alam tetap lestari. Tetapi bila ia disalahgunakan, ia justru menjadi api yang membakar persaudaraan.


Karena itu, tugas kita bukan hanya menaati awig-awig, melainkan juga menjaga rohnya agar tetap suci. Kita harus selalu ingat bahwa awig-awig bukan sekadar kesepakatan, melainkan Dharma yang hidup. Dan Dharma selalu bersumber pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pengatur keseimbangan semesta.


04 September 2005

Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba


Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud