Langsung ke konten utama

Hati YangbHidup

Hati yang Hidup


Doa sering disalahpahami. Banyak dari kita mengira doa adalah cara untuk menggerakkan Tuhan, seakan air mata dan kata-kata permohonan kita bisa mengubah kehendak-Nya. Kita berharap, semakin keras kita memohon, semakin cepat keinginan itu terpenuhi. Namun, ketika doa tak terkabul, kemarahan dan kecewa pun muncul. Padahal, yang sebenarnya kita hadapi bukan Tuhan yang menolak, melainkan nafsu dan keinginan diri sendiri.


Dalam ajaran Hindu Bali, doa adalah cermin hati. Ia bukan sekadar meminta, melainkan sarana untuk menundukkan ego, menata pikiran, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Doa adalah bentuk Bakti, pengingat bahwa manusia dilahirkan untuk berbakti, bukan untuk menuntut dunia berubah. Setiap kata yang diucapkan, setiap napas yang dihembuskan saat berdoa, adalah langkah kecil menuju kesadaran diri.


Doa yang sejati menenangkan jiwa: kesombongan menjadi kerendahan hati, kegelisahan menjadi ketenangan, kekerasan hati menjadi lembut, dan hati yang sempit menjadi lapang. Tuhan tidak berubah karena doa kita; yang berubah adalah kita sendiri. Saat berdoa, kita belajar jujur pada hati, menundukkan kepala, dan menerima bahwa dunia berjalan dengan ritmenya sendiri. Kita belajar menyadari bahwa Tuhan Maha Ada, Maha Cukup, tidak kekurangan apa pun. Kita-lah yang membutuhkan doa, agar hati tidak hancur oleh harapan, agar langkah tidak lumpuh oleh kekecewaan, dan agar hidup tetap terarah meski dunia tak menuruti kehendak kita.


Segala makhluk hidup terhubung oleh prana, energi kehidupan yang mengalir dari Tuhan. Tumbuhan hanya memiliki bayu, hewan memiliki bayu dan sabda, sedangkan manusia memiliki bayu, sabda, dan idep—energi, suara, dan pikiran. Karena itu, manusia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan alam. Doa yang tulus mengingatkan kita bahwa setiap tindakan berdampak pada ciptaan lain, dan bahwa harmoni alam adalah cerminan harmoni hati.


Doa bukan sekadar permintaan agar dunia berubah. Ia adalah proses menyelaraskan diri agar layak menerima. Saat berdoa, kita membebaskan hati dari resah, membuka jiwa untuk ritme alam semesta, dan menumbuhkan rasa syukur di tengah ketidaksempurnaan. Ia mengajarkan kita untuk tidak semena-mena terhadap alam, untuk menghargai air, udara, api, dan bumi sebagai napas kehidupan, dan untuk menjaga agar ciptaan tetap harmonis.


Berdoalah bukan untuk menuntut dunia berubah, tetapi untuk mengubah diri. Biarlah doa menjadi angin yang menyejukkan hati, air yang mengalir membersihkan jiwa, dan cahaya yang menerangi langkah. Agar ketika dunia hadir dengan segala ketidaksempurnaannya, kita siap menerima dengan lapang, bijaksana, dan selaras dengan Tuhan serta alam. Biarlah doa menjadi jalan menuju hati yang hidup, hati yang sadar, lembut, dan penuh syukur.


22-09-2020.


Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud