Mengapa Harus ke Pura Jika Tuhan Ada di Mana-Mana?
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara M.
Manusia sejak dahulu selalu bertanya: bila Ida Sang Hyang Widhi Wasa ada di mana-mana, mengapa kita masih harus mendirikan pura, dan mengapa umat Hindu berbondong-bondong ke pura untuk memuja-Nya? Bukankah cukup dengan mengingat Tuhan dalam hati, sebab Beliau meresap ke seluruh jagat raya?
Pertanyaan ini ibarat suara batin yang menggema dalam diri setiap pencari kebenaran. Jawabannya bukanlah menafikan keberadaan Tuhan yang maha hadir, melainkan menyadari bahwa manusia sebagai makhluk terbatas membutuhkan simbol, ruang, dan tata cara agar bhakti dapat terarah.
Kitab Bhagavad Gita IX.4 menyatakan:
mayā tatam idaṁ sarvaṁ jagad avyakta-mūrtinā, mat-sthāni sarva-bhūtāni na cāhaṁ teṣv avasthitaḥ
Artinya: “Dengan bentuk-Ku yang tak terjangkau oleh indria, Aku memenuhi seluruh jagat ini. Segala yang ada bersthana pada-Ku, namun Aku tidak terikat di dalamnya.”
Sloka ini menegaskan bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu. Namun, manusia yang lahir dengan tubuh, pikiran, dan rasa membutuhkan media yang terarah untuk merasakan kehadiran-Nya. Maka, pura lahir sebagai jawaban spiritual bagi manusia untuk menyatu dengan sumber kehidupannya.
Pura Sebagai Miniatur Jagat Raya
Pura tidak didirikan sembarangan. Ia adalah miniatur alam semesta, menghadirkan kosmologi ke dalam tata ruang. Dalam Lontar Asta Kosala-Kosali dijelaskan:
“Nista mandala ring jaba pisan, madya mandala ring jaba tengah, utama mandala ring jero. Ring utama mandala ngaran parhyangan, sthana sang hyang acintya.”
Artinya: “Nista mandala berada di luar, madya mandala di tengah, utama mandala di dalam. Utama mandala disebut parhyangan, tempat bersthana Sang Hyang Acintya.”
Sloka ini menunjukkan bahwa pura dibangun berlapis, dari yang profan menuju sakral. Nista mandala mewakili dunia luar, madya mandala sebagai ruang persiapan, dan utama mandala sebagai inti kesucian. Pura adalah jalan simbolis bagi manusia menapaki jenjang kesadaran, dari duniawi menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi.
Kesucian Tanah dan Ruang
Tidak semua tempat layak dijadikan pura. Pemilihan lokasi pura diatur dengan seksama melalui ilmu wariga dan lontar kesucian tanah. Lontar Asta Bhumi menuliskan:
“Kaja kangin utama, kaja kauh madhya, kelod utama nista, ring bhumi kasukla sthana dewa.”
Artinya: “Arah kaja-kangin (utara-timur) adalah utama, kaja-kauh (utara-barat) adalah madya, kelod (selatan) adalah nista; di tanah yang suci itulah sthana dewa didirikan.”
Sloka ini memberi arahan bahwa pura harus dibangun di tanah yang suci, dengan memperhatikan arah kosmis. Kaja-kangin yang menghadap matahari terbit dianggap paling utama, karena melambangkan sumber kehidupan. Pura bukan sekadar bangunan kosong, melainkan ruang kosmos yang ditata sesuai hukum alam semesta.
Stana dan Kehadiran Dewa
Pura disebut parhyangan karena menjadi sthana, tempat hadirnya Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai manifestasi. Lontar Dewa Tattwa menyatakan:
“Yan hana sthana dewa, tan hana dewa nira. Yan hana dewa nira, hana sthana dewa. Dewa ring manusa, ring bhuwana, ring lingga.”
Artinya: “Jika ada sthana dewa, maka di sanalah dewa hadir. Jika dewa hadir, pasti ada sthana. Dewa ada di dalam manusia, di alam, dan di lingga.”
Sloka ini menjelaskan bahwa sthana dan kehadiran dewa saling berkaitan. Manusia memerlukan wahana agar bhakti tidak samar. Dengan sthana, rasa bhakti menemukan arah; dengan pura, doa menjadi terfokus. Inilah sebabnya manusia perlu pura: bukan karena Tuhan terbatas, melainkan karena manusia yang membutuhkan simbol agar bisa menyatu dengan Beliau.
Waktu, Upacara, dan Kesucian
Selain ruang, waktu juga menjadi unsur penting. Upacara di pura tidak dilakukan sembarangan, tetapi melalui pemilihan dewasa. Lontar Sundarigama menegaskan:
“Yan hana pujawali, wenang milih dewasa, saking wariga, mangda siddha bhukti.”
Artinya: “Jika hendak melaksanakan pujawali, hendaknya memilih dewasa (hari baik) menurut wariga, agar yadnya itu berhasil.”
Pura dengan demikian bukan hanya ruang suci, tetapi juga titik temu waktu suci. Ia menyatukan desa-kala-patra: tempat yang disucikan, waktu yang tepat, dan sikap hati yang penuh bhakti.
Pura Sebagai Jalan Bhakti
Bagi umat Hindu, pura adalah jalan bhakti. Di sana umat belajar menundukkan ego, menyatukan doa, dan mengalirkan bakti bersama. Di pura, manusia tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari komunitas yang sama-sama menuju Tuhan.
Bhakti dalam Hindu bukan sekadar ucapan, melainkan harus diwujudkan dalam simbol, gerak, dan yadnya. Ketika umat menghaturkan banten, menghaturkan canang, menyalakan dupa, itu semua adalah bahasa bhakti yang menghadirkan prana kehidupan kembali kepada sumbernya.
Pura menjadi ruang latihan kesadaran: disiplin ruang (mandala), disiplin waktu (dewasa), dan disiplin hati (bhakti). Dari sana umat diingatkan bahwa Tuhan memang ada di mana-mana, namun manusia memerlukan pura untuk benar-benar menyadari kehadiran-Nya.
Penutup
Maka, jelaslah bahwa pura bukanlah sarana “mencari Tuhan” seolah Beliau tersembunyi, melainkan tempat menyadari kehadiran-Nya secara lebih nyata dan terfokus. Pura adalah jembatan antara manusia dengan Tuhan, antara profan dengan sakral, antara dunia dengan kosmos.
Tuhan sesungguhnya ada di udara yang kita hirup, di air yang mengalir, di sinar matahari yang menyinari. Namun, pura menghadirkan ruang suci di mana manusia dapat berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, menundukkan kepala, dan merasakan-Nya dengan khusyuk.
Dengan pura, bhakti menjadi terang. Dengan pura, yadnya menemukan arah. Dengan pura, manusia belajar bahwa sesungguhnya Tuhan memang ada di mana-mana—tetapi di pura, manusia dapat menemuinya dengan hati yang lebih tenang, penuh hormat, dan penuh rasa syukur.
Geria Pejeng Apuan2008
Komentar
Posting Komentar