Langsung ke konten utama

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya”

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya”

Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M.
Pawiwahan dalam tradisi Bali adalah salah satu puncak kehidupan spiritual dan sosial. Ia bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan ikatan batin yang disertai restu leluhur dan doa bersama masyarakat. Dalam pawiwahan, manusia mempersembahkan yadnya kepada Sang Hyang Widhi, leluhur, dan masyarakat sekitarnya. Karena itu, pawiwahan disebut suci, penuh makna, dan sarat simbol. Ia bukan perayaan pribadi, melainkan momentum kolektif yang mengikat rasa kebersamaan.

Sejak dahulu, undangan dalam pawiwahan bukanlah formalitas kosong. Ketika seseorang datang membawa undangan, ia membawa niat tulus, senyum ramah, dan sapaan hangat. Undangan adalah pengikat sosial yang memelihara tali persaudaraan. Ia hadir sebagai ajakan untuk berbagi doa, bukan sekadar mengisi daftar hadir. Dalam budaya Bali, undangan lebih dari sekadar kertas—ia adalah wujud keterhubungan hati.

Namun kini, angin perubahan membawa sesuatu yang berbeda. Di era digital, undangan telah bergeser ke layar ponsel. Memang ada nilai praktis: lebih cepat, lebih hemat, lebih mudah dibagikan. Tetapi di balik kemudahan itu terselip sesuatu yang patut direnungkan. Beberapa undangan digital pawiwahan kini mulai mencantumkan nomor rekening bank sebagai alternatif pemberian “partisipasi”. Di sinilah terlihat tanda-tanda gejala baru: pawiwahan yang dahulu suci perlahan digiring ke ranah transaksional.

Apakah fenomena ini sekadar tren biasa, atau sebuah virus budaya yang diam-diam merasuk, menggerus makna adiluhung, dan mengubah orientasi pawiwahan?

Virus budaya tidak datang dengan wajah menakutkan. Ia sering hadir dengan wajah manis, seolah memberi solusi praktis. Mencantumkan nomor rekening dianggap efisien, apalagi di zaman serba digital. Tidak perlu repot membawa amplop, tidak perlu takut tercecer, semua bisa dilakukan dengan sekali sentuh layar. Tetapi perlahan, virus itu bekerja: undangan yang semula penuh rasa menjadi dingin, persaudaraan berubah menjadi transaksi, dan pawiwahan kehilangan kesakralannya.

Mari kita ingat kembali, pawiwahan adalah yadnya. Yadnya berarti pengorbanan tulus, bukan sarana mencari keuntungan. Ia adalah persembahan yang murni, bukan perhitungan untung-rugi. Tetapi saat undangan memuat nomor rekening, apa yang tersirat? Seolah-olah kehadiran tamu tidak lagi cukup dengan doa dan restu, melainkan harus disertai nominal. Kehadiran manusia berubah nilainya: tidak lagi sebagai sahabat, tetangga, atau kerabat yang datang mendoakan, melainkan sebagai “penyumbang” yang ditagih partisipasinya.

Virus budaya ini sesungguhnya berbahaya. Ia merusak dari dalam, membuat orang terbiasa melihat pawiwahan sebagai beban sosial, bukan sukacita bersama. Tamu datang dengan pikiran “berapa saya harus transfer” bukan “bagaimana saya ikut mendoakan”. Tuan rumah pun bisa tergoda untuk menghitung hasil “sumbangan”, bukan lagi merenungkan makna yadnya.

Jika virus ini dibiarkan, pawiwahan yang sejatinya adalah ruang spiritual bisa berubah menjadi arena transaksional. Ia akan kehilangan rohnya, dan yang tersisa hanyalah kulit luar berupa pesta, konsumsi, dan angka-angka. Dalam situasi itu, budaya Bali yang adiluhung—yang selalu menekankan bhakti, gotong royong, dan kebersamaan—akan kehilangan daya hidupnya.

Padahal, dalam ajaran Hindu Bali, segala yadnya adalah jalan bakti. Bakti tidak mengenal transaksi. Bakti adalah ketulusan, bukan hitungan. Yadnya berarti memberi tanpa berharap kembali. Justru di situlah letak kemuliaannya. Pawiwahan menjadi luhur karena ia tidak menuntut, tidak menghitung, dan tidak menjadikan kehadiran manusia sebagai alat tukar.

Perlu kita sadari, virus budaya tidak selalu datang dari luar. Kadang, ia lahir dari dalam diri kita sendiri: dari keinginan hidup praktis, dari rasa gengsi, atau dari mentalitas instan. Saat kita membiarkan undangan berubah fungsi dari ajakan tulus menjadi alat transfer, kita sendiri membuka pintu bagi virus itu untuk masuk.

Lantas, apakah semua bentuk modernitas harus ditolak? Tidak. Kita tidak anti teknologi. Undangan digital sah-sah saja, asalkan tidak kehilangan roh budaya. Kita boleh memanfaatkan gawai untuk menyampaikan kabar bahagia, tetapi jangan menukar kebahagiaan itu dengan transaksi. Undangan digital yang tetap menekankan doa, hormat, dan kebersamaan masih sejalan dengan jiwa budaya Bali. Yang berbahaya adalah ketika undangan berubah menjadi catatan rekening.

Pawiwahan seharusnya tetap menjadi momentum metetulung dan gotong royong, bukan ajang beban. Bila ada keluarga yang kurang mampu, masyarakat adat semestinya hadir membantu, bukan justru seolah-olah membebankan lewat daftar rekening. Bantuan mestinya lahir dari hati, bukan karena diarahkan undangan. Solidaritas sejati tumbuh dari kesadaran, bukan permintaan formal.

Virus budaya ini harus kita waspadai bersama. Jika dibiarkan, generasi muda akan tumbuh dengan persepsi keliru bahwa pawiwahan adalah urusan biaya dan transaksi. Mereka akan kehilangan pemahaman bahwa pawiwahan adalah yadnya, ruang suci, dan ikatan sosial. Bila itu terjadi, kebudayaan Bali akan terus terkikis, dari dalam, secara perlahan tapi pasti.

Maka kini, saatnya kita bertanya: apa yang hendak kita wariskan? Apakah kita ingin meninggalkan budaya yang agung, atau budaya yang terjangkit virus transaksional? Apakah kita ingin anak cucu mengenang pawiwahan sebagai doa bersama, atau sekadar pesta dengan rekening bank?

Mari kita jaga. Undangan harus tetap menjadi simbol cinta kasih, bukan tagihan terselubung. Pawiwahan harus tetap suci, bukan transaksi. Budaya Bali harus tetap adiluhung, bukan sekadar kemasan digital tanpa roh. Modernitas boleh kita terima, tetapi jangan biarkan virus budaya menggerus makna. Karena bila roh hilang, yang tersisa hanyalah kulit kosong.
____

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud