Saat Spiritualitas Tergadaikan
Oleh Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba

“Diantaranya banyak yang keliru mengira bahwa agama yang terorganisir adalah wujud spiritualitas itu sendiri. Padahal, hakikat spiritual selalu melampaui sistem; ia tidak bisa dikurung oleh aturan yang kaku, sebab dharma sejati lahir dari kedalaman kesadaran, bukan dari kerangka formal.”
Spiritualitas sejati tidak membutuhkan panggung. Ia tidak haus tepuk tangan, tidak menuntut pengakuan. Ia hadir dalam keheningan, dalam perenungan, dalam cinta tanpa syarat. Namun kini, terlalu sering kita menyaksikan agama diperlakukan layaknya komoditas—menjadi industri yang beroperasi di ranah ekonomi, politik, maupun sosial.
Agama yang Menjadi Industri
Kenyataan pahit yang kita hadapi hari ini adalah:
- Kesucian berubah menjadi destinasi wisata berbiaya tinggi, lebih mirip tiket rekreasi daripada ruang kontemplasi.
- Produk-produk bernuansa religius kerap dikemas rapi dan dijual, bukan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, melainkan untuk menanamkan rasa takut agar orang merasa kurang beriman bila tidak memilikinya.
- Dharma wacana kadang tampil bagaikan pertunjukan indah, ramai ditonton, tetapi kehilangan kedalaman tattwa yang seharusnya menuntun jiwa.
- Figur suci sering diperlakukan sebagai citra dan simbol, padahal hakikat seorang rohaniawan adalah menjaga kesucian dharma, bukan sekadar memikat pandangan.
Agama dalam wujud seperti ini bukan lagi jalan pulang menuju Tuhan, melainkan jalan tol berbayar dengan papan iklan yang menghiasi sepanjang perjalanannya.
Ketika Spiritualitas Dijadikan Produk
Masalahnya bukan pada agama itu sendiri, melainkan pada cara agama diperlakukan. Jalan pulang kepada Yang Maha Hadir kini tergadaikan—dijual sebagai produk, dipromosikan sebagai gaya hidup, dipaketkan agar sesuai selera pasar.
Yang tersisa hanyalah kulit, sementara inti kesadaran perlahan terkikis. Spiritualitas sejati, yang mestinya menjadi ruang batin penuh kebebasan, cinta, dan kejujuran, justru terperangkap dalam mekanisme sistem yang membatasi.
Kembali ke Inti
Sesungguhnya, jalan kesadaran tidak memerlukan lampu sorot atau baliho. Ia tumbuh dalam keseharian yang sederhana:
- Menemukan Tuhan dalam keheningan doa, bukan dalam hiruk-pikuk acara besar.
- Menyapa sesama dengan ketulusan, bukan semata karena kewajiban sosial.
- Membuka diri pada cinta tanpa syarat, bukan pada transaksi imbalan.
Spiritualitas sejati tidak menolak agama. Ia hanya mengingatkan bahwa agama hanyalah jembatan, bukan tujuan akhir. Ketika jembatan itu diperjualbelikan, kita justru kehilangan arah dan tersesat di tengah jalan.
Penutup
Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah pilihan: apakah kita hanya akan menjadi konsumen sistem agama, atau berani melangkah lebih dalam untuk kembali pada inti kesadaran?
Sebab pada akhirnya, jalan spiritual tidak pernah bisa diperjualbelikan. Ia hanya bisa dijalani—dengan kejujuran, dengan kesadaran, dan dengan cinta.
Komentar
Posting Komentar