Langsung ke konten utama

Tumpek Landep

Tumpek Landep: Menajamkan Pikiran Menurut Lontar Sundari Bungkah dan Agastya Prana


Hari raya Tumpek Landep kerap dipahami masyarakat sebagai hari penyucian benda-benda tajam, keris, senjata logam, bahkan dalam konteks modern meluas hingga kendaraan bermotor. Namun, jika menengok pada sumber-sumber lontar, makna sejatinya jauh lebih halus dan mendalam. Tumpek Landep adalah momentum untuk menajamkan idep, menyucikan manah, serta memohon anugerah Sang Hyang Pasupati agar manusia diberi kecerdasan membedakan jalan dharma dan adharma.


Dalam Lontar Sundari Bungkah terdapat ajaran yang menyingkap lapisan makna ini:


> “Yan hana tumpek landep, Sang Hyang Siwa Pasupati mapuja. Ika tan hana makawruhan ring keris niskala, keris ring sarira, ikang manah sang pamilih becik lawan awon.”


Artinya, “Pada hari Tumpek Landep, yang sesungguhnya dipuja adalah Sang Hyang Siwa Pasupati. Janganlah hanya dipahami sebatas keris yang tampak oleh mata, melainkan juga keris niskala yang ada dalam diri, yakni pikiran yang memilih antara kebaikan dan keburukan.”


Ajaran ini menegaskan bahwa keris sesungguhnya bukanlah besi yang diasah, melainkan ketajaman batin yang mampu menebas awan ketidaksadaran. Manusia diingatkan bahwa pikiran adalah pusaka yang paling suci, dan harus senantiasa dijaga kesuciannya.


Sementara itu, Lontar Agastya Prana menguraikan kosmologi bhuwana alit, yakni tubuh manusia yang dipenuhi aksara suci dan kekuatan ilahi. Pada salah satu bagiannya disebutkan:


> “Landeping idep, landeping sabda, landeping bayu, pinaka sarira keris, mangkana pinuja ring Saniscara Kliwon Landep.”


Terjemahannya, “Ketajaman pikiran, ketajaman ucapan, dan ketajaman tenaga, itulah keris sejati dalam tubuh manusia; itulah yang seharusnya dipuja pada Saniscara Kliwon Wuku Landep.”


Pesan ini memperluas makna Tumpek Landep: bukan hanya pikiran, tetapi juga sabda dan bayu manusia harus diasah. Dengan demikian, setiap kata yang diucapkan dan setiap tenaga yang dicurahkan hendaknya tetap tajam dalam dharma, bukan tumpul dalam keserakahan dan amarah.


Pergeseran Makna dalam Sejarah


Dalam tradisi awal, Tumpek Landep dipusatkan pada penyucian pusaka seperti keris, tombak, dan senjata yang memang menjadi lambang spiritual sekaligus pelindung keluarga. Pusaka dipandang memiliki dimensi sakral, sehingga penyucian adalah bentuk bhakti kepada manifestasi Tuhan sebagai Bhatara Siwa Pasupati.


Namun, seiring perkembangan zaman, simbol logam itu diperluas. Pada era modern, logam diwujudkan dalam bentuk kendaraan bermotor, mesin, dan peralatan sehari-hari. Akhirnya, banyak umat lebih sibuk menghias motor, mobil, atau barang-barang logam lainnya, hingga terkadang melupakan inti ajaran yang ditegaskan dalam lontar: bahwa yang seharusnya diasah adalah pikiran, bukan sekadar besi dan baja.

Catattan

Ketika perhatian umat lebih condong pada benda fisik, makna Tumpek Landep keluar dari hakekatnya. Sesungguhnya, benda hanyalah sarana simbolis, bukan tujuan. Lontar sudah dengan jelas mengingatkan bahwa keris sejati adalah idep, sabda, dan bayu manusia. Jika pikiran tetap tumpul, maka menghias kendaraan dengan sesajen tidak akan membawa kedamaian sejati.

Karena itu, penting dilakukan koreksi dalam praktik umat: menghaturkan banten pada kendaraan boleh saja sebagai simbol, tetapi jangan berhenti di sana. Yang paling utama adalah mulat sarira—mengasah pikiran agar tajam, sabda agar jernih, dan tenaga agar bermanfaat. Inilah inti Tumpek Landep menurut warisan lontar, yang hendaknya tidak tergeser oleh kebiasaan praktis zaman kini.


09-09-2011

Oleh : IBN. Semara M.

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud