Langsung ke konten utama

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi
Ketika yadnya berubah jadi ajang pamer, suci pun kehilangan maknanya.

Ada saat di mana yadnya tidak lagi menjadi persembahan, melainkan pertunjukan. Ketika dupa masih mengepul, tetapi hati justru terikat pada pujian dan gengsi. Padahal yadnya sejati bukanlah tentang seberapa besar banten yang dihaturkan, melainkan seberapa tulus hati yang mempersembahkan. Jika yadnya kehilangan kesucian niatnya, maka apa yang semestinya menjadi jalan menuju kebebasan bisa berubah menjadi jerat keterikatan baru.

Hakikat Yadnya yang Sebenarnya

Dalam kehidupan umat Hindu, yadnya sering dipahami sebagai inti dari dharma, sebab ia adalah wujud bakti dan rasa syukur manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun sejatinya, yadnya tidak hanya soal upacara, persembahan, atau besarnya banten yang dihaturkan. Ia adalah gerak kesadaran spiritual yang lahir dari hati yang suci.

Dalam Bhagavad Gita Adhyaya XVII dijelaskan bahwa yadnya dibedakan menjadi tiga, sesuai dengan sifat alam atau guna: sattwika, rajahsika, dan tamashika.

> “Aphala-kāṅkṣibhir yajño, vidhi-dṛṣṭo ya ijyate, yaṣṭavyam eveti manaḥ, samādhāya sa sāttvikaḥ.”
(Bhagavad Gita XVII.11)

Artinya: “Yadnya yang dilakukan menurut petunjuk kitab suci, tanpa pamrih akan hasil, dengan keyakinan bahwa yadnya itu memang harus dilakukan, itulah yadnya yang bersifat sattwika.”

Yadnya sattwika dilakukan dengan niat suci, berdasarkan sastra, dan tanpa tujuan duniawi. Orang yang melakukannya tidak mencari pujian atau kekayaan, sebab tujuannya adalah bhakti dan mokṣārtham jagadhitāya ca iti dharmaḥ — demi kebahagiaan dunia dan pembebasan rohani.

Dalam Lontar Sanghyang Mahajnana disebutkan:

> “Yadnya tan hana wwang anganggo artha, ya ta yadnya mangkana dadi amerta ring loka.”

Artinya: “Yadnya yang tidak disertai pamrih harta, itulah yadnya yang menjadi amerta bagi dunia.”

Contoh nyata yadnya sattwika dapat kita temui dalam Dewa Yadnya yang dilaksanakan dengan tulus, seperti odalan di pura yang dilakukan tanpa pamer, atau manusa yadnya seperti metatah yang dilakukan untuk penyucian diri, bukan demi gengsi. Dari yadnya seperti inilah lahir kesejahteraan sejati — bukan hanya materi, tetapi ketenangan batin dan cahaya kesadaran.

Sebaliknya, yadnya rajahsika dilakukan dengan penuh perhitungan dan pamrih. Seperti dijelaskan dalam Bhagavad Gita XVII.12:

> “Aphala-kāṅkṣibhir yajño, yaḥ kriyate bhūri-karmaṇā, dambhārthaṁ eva tat viddhi, rājasaṁ cāpi pārtha.”

Artinya: “Yadnya yang dilakukan dengan maksud mendapatkan hasil atau kemegahan, hanya demi pamer dan nama, itu adalah yadnya yang bersifat rajahsika.”

Lontar Sarasamuscaya menegaskan:

> “Sira mwang sang yan mārga bhakti, tan angde sangkeng hṛdaya, ndan sangkeng rājah, tan suci ta sira.”

Artinya: “Barang siapa berbhakti dengan niat pamer dan bukan dari hati yang suci, maka ia belum disebut tulus dalam dharma.”

Contohnya tampak dalam upacara yang berlebihan, di mana kemewahan menjadi ukuran, bukan kesucian. Orang berlomba membuat banten besar agar dipuji, bukan agar mendekat kepada Tuhan. Yadnya seperti ini mungkin mendatangkan hasil duniawi — harta, nama, atau gengsi — tetapi hanya sementara. Setelah itu, batin kembali kosong, seperti menukar ketenangan dengan tepuk tangan sesaat.

Lebih berat lagi adalah yadnya tamashika. Bhagavad Gita XVII.13 menegaskan:

> “Vidhihīnam asṛṣṭānnaṁ, mantra-hīnam adakṣiṇam, śraddhā-virahitaṁ yajñaṁ, tāmasaṁ paricakṣate.”

Artinya: “Yadnya yang tidak mengikuti aturan sastra, tanpa makanan suci, tanpa mantra, tanpa keyakinan, itulah yadnya tamashika.”

Dalam Lontar Wṛhaspati Tattwa disebutkan:

> “Yadnya tan hana sraddha, tan hana sastra, tan hana laku, tan hana sukha.”

Artinya: “Yadnya yang tanpa keyakinan, tanpa dasar sastra, tanpa laku yang benar, tiadalah membawa kebahagiaan.”

Yadnya tamashika sering muncul dalam bentuk ritual yang penuh amarah, mabuk, atau menyakiti makhluk lain. Misalnya, penyembelihan hewan dengan niat balas dendam, atau persembahan yang dilakukan karena rasa takut, bukan cinta. Yadnya seperti ini justru membuka pintu penderitaan. Harta bisa lenyap, keluarga retak, dan batin menjadi gelap. Inilah yadnya yang benar-benar membuat orang miskin — miskin secara materi, dan miskin secara spiritual.

Karena itu, orang yang beryadnya hendaknya mengerti hakikatnya. Yadnya bukan investasi duniawi untuk menukar keberkahan dengan kekayaan. Ia adalah persembahan kesadaran untuk menyadari kembali bahwa hidup ini milik Tuhan, dan segala yang kita lakukan hanyalah untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan para Dewa.

Dalam Lontar Tutur Gong Wesi disebutkan:

> “Sattwika yadnya ngaranya, yan hana sraddha ring Hyang Widhi, yan hana suci ring manah.”

Artinya: “Yang disebut sattwika yadnya adalah yadnya yang disertai keyakinan kepada Hyang Widhi dan kesucian hati.”

Yadnya sejati tidak pernah menggadaikan kesucian dengan pamrih. Ia tumbuh dari kesadaran, bukan pameran. Sebab setiap bunga yang mekar karena cinta tidak perlu disemprot pewangi agar harum. Begitu pula yadnya — bila lahir dari hati yang suci, wangi spiritualnya akan tercium hingga ke kahyangan.

Maka jangan lihat seberapa besar banten atau megahnya upacara, tetapi lihatlah apakah yadnya itu menumbuhkan kasih, menenangkan batin, dan menghubungkan manusia dengan Sang Sumber. Karena yadnya sejati bukan tentang apa yang kita persembahkan, melainkan seberapa tulus kita melakukannya.

Yadnya yang benar akan menuntun kita pada kesejahteraan, yang palsu akan menjerat kita pada keserakahan. Pilihan ada di hati, sebab di sanalah altar sesungguhnya berada.
________


Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud