Ketika Gelar Menjadi Banyak, Tapi Adab Menjadi LangkaOleh: Ida Bagus Ngurah Semara ManuabaSuatu hari, di tengah keramaian seminar, diskusi, dan rapat yang penuh orang-orang berpendidikan tinggi, saya merenung dalam diam: mengapa dunia yang semakin cerdas ini justru terasa semakin bising, semakin jauh dari keheningan batin? Orang bergelar doktor, profesor, dan guru besar kini mudah dijumpai. Pemuka agama dan guru spiritual juga bertebaran di mana-mana. Organisasi masyarakat pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun di tengah semua itu, muncul satu pertanyaan yang menggigit nurani: mengapa adab, etika, dan moral justru semakin sukar ditemukan?Fenomena ini memperlihatkan bahwa pendidikan, keagamaan, dan organisasi sosial telah kehilangan ruh sejatinya. Kita sibuk mengejar bentuk, tapi lupa pada isi. Bangga pada gelar, tapi lupa pada laku. Ilmu diajarkan, tetapi kebijaksanaan ditinggalkan. Gelar akademik memang bisa diraih dengan belajar keras, namun adab hanya tumbuh dari keheningan, kesadaran, dan laku hidup yang jujur terhadap nurani.Zaman kini adalah zaman di mana kepala manusia semakin penuh, namun hatinya semakin kosong. Kita pandai berbicara tentang kebenaran, tapi gagap meneladankannya. Banyak yang hafal ayat dan teori moral, namun tak sanggup menyentuh hati sesamanya. Kepintaran menjadi topeng yang menutupi ketidaktulusan, bukan cermin yang memantulkan kebeningan jiwa.Begitu pula dalam hal agama. Banyak yang tahu bagaimana memuja Tuhan, tapi sedikit yang tahu bagaimana menghadirkan Tuhan dalam sikap. Agama menjadi seragam, bukan jalan kesadaran. Ia ramai di bibir, tapi sepi di hati. Banyak yang berlomba menjadi “terlihat suci”, tapi lupa menjadi “benar-benar bersih”. Padahal kesucian sejati bukanlah soal ritual atau atribut, melainkan rasa hormat terhadap seluruh kehidupan.Organisasi masyarakat yang dahulu lahir dari semangat pengabdian kini pun sering terjebak pada pencitraan. Program dibuat, rapat diadakan, tetapi makna pengabdian perlahan hilang. Kegiatan sosial menjadi ajang pengakuan diri, bukan persembahan tulus. Gotong royong berubah menjadi kompetisi, dan rasa empati terkikis oleh ambisi.Maka, wajar bila adab dan moral menjadi barang langka di tengah kelimpahan gelar dan status sosial. Sebab akar moral bukan pada kepala, melainkan pada hati. Ia tumbuh dari kesadaran akan makna hidup, bukan dari teori yang dihafalkan. Tanpa hati yang jernih, pendidikan hanya melahirkan orang pintar yang sombong; agama hanya melahirkan pemuja yang fanatik; dan organisasi hanya menjadi tempat orang pandai bicara tapi miskin keteladanan.Barangkali kini saatnya kita kembali belajar — bukan tentang apa itu ilmu, tapi untuk apa ilmu itu dipelajari. Bukan tentang bagaimana menyembah Tuhan, tapi bagaimana menghadirkan-Nya dalam tindakan. Dan bukan sekadar bagaimana memimpin orang lain, tetapi bagaimana menundukkan diri sendiri.Sebab sejatinya, yang membuat manusia mulia bukan seberapa tinggi ia berdiri, tetapi seberapa dalam ia mampu menundukkan diri.Dalam pandangan Hindu Bali, manusia sejati adalah ia yang mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan idep. Bayu adalah tenaga penggerak hidup, sabda adalah kekuatan ucapan, dan idep adalah kesucian pikiran. Bila ketiganya selaras, lahirlah manusia yang memiliki rasa, adab, dan kebijaksanaan. Namun bila ketiganya tercerai oleh keserakahan dan kesombongan, ilmu justru menjadi racun halus yang menipu pikiran dan menumpulkan nurani.Dan bila manusia benar-benar menyadari bahwa setiap diri adalah pantulan Tuhan, maka ia akan melihat sesama dengan pandangan Tat Twam Asi — “aku adalah engkau.” Dari kesadaran itulah lahir moral sejati: tidak ingin menyakiti, tidak ingin menipu, tidak ingin menang sendiri. Ia tidak perlu banyak teori, cukup rasa welas asih yang hidup dalam hati.Ketika ilmu menyatu dengan rasa, ketika pengetahuan berjalan seiring dengan kesadaran, di sanalah pendidikan kembali menemukan sukmanya, agama kembali menemukan cahaya-Nya, dan manusia kembali menjadi manusia.
Ketika Gelar Menjadi Banyak, Tapi Adab Menjadi Langka
Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba
Suatu hari, di tengah keramaian seminar, diskusi, dan rapat yang penuh orang-orang berpendidikan tinggi, saya merenung dalam diam: mengapa dunia yang semakin cerdas ini justru terasa semakin bising, semakin jauh dari keheningan batin? Orang bergelar doktor, profesor, dan guru besar kini mudah dijumpai. Pemuka agama dan guru spiritual juga bertebaran di mana-mana. Organisasi masyarakat pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun di tengah semua itu, muncul satu pertanyaan yang menggigit nurani: mengapa adab, etika, dan moral justru semakin sukar ditemukan?
Fenomena ini memperlihatkan bahwa pendidikan, keagamaan, dan organisasi sosial telah kehilangan ruh sejatinya. Kita sibuk mengejar bentuk, tapi lupa pada isi. Bangga pada gelar, tapi lupa pada laku. Ilmu diajarkan, tetapi kebijaksanaan ditinggalkan. Gelar akademik memang bisa diraih dengan belajar keras, namun adab hanya tumbuh dari keheningan, kesadaran, dan laku hidup yang jujur terhadap nurani.
Zaman kini adalah zaman di mana kepala manusia semakin penuh, namun hatinya semakin kosong. Kita pandai berbicara tentang kebenaran, tapi gagap meneladankannya. Banyak yang hafal ayat dan teori moral, namun tak sanggup menyentuh hati sesamanya. Kepintaran menjadi topeng yang menutupi ketidaktulusan, bukan cermin yang memantulkan kebeningan jiwa.
Begitu pula dalam hal agama. Banyak yang tahu bagaimana memuja Tuhan, tapi sedikit yang tahu bagaimana menghadirkan Tuhan dalam sikap. Agama menjadi seragam, bukan jalan kesadaran. Ia ramai di bibir, tapi sepi di hati. Banyak yang berlomba menjadi “terlihat suci”, tapi lupa menjadi “benar-benar bersih”. Padahal kesucian sejati bukanlah soal ritual atau atribut, melainkan rasa hormat terhadap seluruh kehidupan.
Organisasi masyarakat yang dahulu lahir dari semangat pengabdian kini pun sering terjebak pada pencitraan. Program dibuat, rapat diadakan, tetapi makna pengabdian perlahan hilang. Kegiatan sosial menjadi ajang pengakuan diri, bukan persembahan tulus. Gotong royong berubah menjadi kompetisi, dan rasa empati terkikis oleh ambisi.
Maka, wajar bila adab dan moral menjadi barang langka di tengah kelimpahan gelar dan status sosial. Sebab akar moral bukan pada kepala, melainkan pada hati. Ia tumbuh dari kesadaran akan makna hidup, bukan dari teori yang dihafalkan. Tanpa hati yang jernih, pendidikan hanya melahirkan orang pintar yang sombong; agama hanya melahirkan pemuja yang fanatik; dan organisasi hanya menjadi tempat orang pandai bicara tapi miskin keteladanan.
Barangkali kini saatnya kita kembali belajar — bukan tentang apa itu ilmu, tapi untuk apa ilmu itu dipelajari. Bukan tentang bagaimana menyembah Tuhan, tapi bagaimana menghadirkan-Nya dalam tindakan. Dan bukan sekadar bagaimana memimpin orang lain, tetapi bagaimana menundukkan diri sendiri.
Sebab sejatinya, yang membuat manusia mulia bukan seberapa tinggi ia berdiri, tetapi seberapa dalam ia mampu menundukkan diri.
Dalam pandangan Hindu Bali, manusia sejati adalah ia yang mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan idep. Bayu adalah tenaga penggerak hidup, sabda adalah kekuatan ucapan, dan idep adalah kesucian pikiran. Bila ketiganya selaras, lahirlah manusia yang memiliki rasa, adab, dan kebijaksanaan. Namun bila ketiganya tercerai oleh keserakahan dan kesombongan, ilmu justru menjadi racun halus yang menipu pikiran dan menumpulkan nurani.
Dan bila manusia benar-benar menyadari bahwa setiap diri adalah pantulan Tuhan, maka ia akan melihat sesama dengan pandangan Tat Twam Asi — “aku adalah engkau.” Dari kesadaran itulah lahir moral sejati: tidak ingin menyakiti, tidak ingin menipu, tidak ingin menang sendiri. Ia tidak perlu banyak teori, cukup rasa welas asih yang hidup dalam hati.
Ketika ilmu menyatu dengan rasa, ketika pengetahuan berjalan seiring dengan kesadaran, di sanalah pendidikan kembali menemukan sukmanya, agama kembali menemukan cahaya-Nya, dan manusia kembali menjadi manusia.
------
Komentar
Posting Komentar