Makna Tattwa Banten Penyineban di Pura Dang Kahyangan Griya Sakti Manuaba, Apuan
Penyineban merupakan bagian penutup dari seluruh rangkaian piodalan di sebuah pura. Namun sesungguhnya, penyineban bukan sekadar menutup upacara, melainkan puncak dari siklus suci kembalinya seluruh kekuatan dewata ke asalnya — ke dalam kesunyian Brahman.
Dalam pemahaman tattwa, seluruh rangkaian piodalan mencerminkan perjalanan spiritual yang bermula dari suwung, muncul menjadi wujud, dan akhirnya kembali menyatu ke suwung, yang disebut Nirwigenam Brahman — Tuhan tanpa bentuk, tanpa atribut, namun menjadi sumber segala keberadaan.
Penyineban di Pura Dang Kahyangan Griya Sakti Manuaba, Apuan, memiliki makna yang sangat dalam karena pura ini didirikan untuk memuliakan Ida Pedanda Sakti Manuaba sebagai Guru Loka, guru spiritual yang menuntun umat menuju kesadaran sejati. Dalam piodalan di pura ini terdapat beberapa pelinggih utama, yaitu Padmasana, Sanggar Surya (dibangun temporer saat piodalan), Gedong Sentana Ida Pedanda Sakti Manuaba, dan pelinggih pengaruman sebagai tempat bersthananya Ista Dewata saat piodalan.
Untuk menjaga kesucian makna tattwa dalam pelaksanaan yadnya, banten penyineban di masing-masing pelinggih memiliki struktur dan fungsi yang berbeda, sesuai dengan kedudukan dan sifat ketuhanan yang distanakan di sana.
1. Banten di Padmasana
Pada pelinggih Padmasana, Tuhan yang distanakan adalah Nirwigenam Brahman, Tuhan dalam keadaan tanpa rupa dan tanpa wujud (Nirguna Brahman). Karena sifatnya yang tanpa bentuk, maka di Padmasana kurang tepat dipersembahkan banten lain selain Banten Daksina.
Banten Daksina terdiri dari 13 komponen utama, yang disebut Sanghyang Triodasa Saksi, melambangkan kesempurnaan ciptaan. Di dalam daksina sudah terkandung unsur canang sari, sehingga tidak diperlukan canang terpisah.
Sebagaimana dinyatakan dalam Widhi Tattwa:
> “Widhi tan wenang winarna, tan katingalan, tan kena kinawin, tan hana upama, nanging winastan Sang Hyang Acintya.”
(Tuhan tidak dapat dijelaskan, tidak dapat dilihat, tidak dapat dibayangkan, tiada bandingan-Nya, namun disembah sebagai Sang Hyang Acintya.)
Oleh karena itu, banten di Padmasana berfungsi sebagai simbol bhakti tanpa pamrih, mempersembahkan kesadaran kembali ke sumber suci tanpa bentuk.
2. Banten di Sanggar Surya
Pelinggih Sanggar Surya bersifat sementara, dibangun hanya pada saat piodalan. Di sini Tuhan dipuja dalam wujud Purusa–Pradana, sebagai manifestasi dari kekuatan Brahman yang telah bertransformasi menjadi alam semesta.
Banten yang dipersembahkan di Sanggar Surya adalah banten Pejati, yang di dalamnya telah memuat seluruh simbol penyatuan kekuatan ciptaan.
Banten Pejati terdiri dari empat unsur utama:
1. Banten Daksina – melambangkan kesempurnaan tattwa, terdiri dari 13 komponen, disebut Sanghyang Triodasa Saksi.
2. Banten Peras Ajuman – melambangkan Purusa dan Pradana. Banten peras sebagai simbol Purusa, dan banten ajuman sebagai simbol Pradana. Ketika keduanya dipersembahkan bersamaan, bermakna Tuhan dalam wujud Saguna Brahman — Tuhan dengan segala sifat dan kekuatan-Nya.
3. Banten Penyeneng – melambangkan penyatuan kembali antara Purusa dan Pradana ke dalam satu kesadaran Ilahi.
4. Banten Kelanan Sari – melambangkan proses penciptaan setelah terjadinya penyatuan, yakni munculnya kehidupan.
Makna ini selaras dengan ajaran Siwa Tattwa, di mana penciptaan alam semesta terjadi karena pertemuan Siwa (Purusa) dan Sakti (Pradana). Dalam penyineban, banten di Sanggar Surya menjadi simbol kembalinya keduanya pada kesatuan suci yang disebut Paramasiwa.
3. Banten di Pelinggih Gedong Sentana
Pelinggih Gedong Sentana di pura ini diperuntukkan bagi Ida Pedanda Sakti Manuaba sebagai Guru Loka — sosok suci yang semasa hidupnya telah mencapai kesadaran tertinggi.
Banten penyineban di pelinggih ini mengandung makna pemuliaan dan pemulangan kesadaran sang Guru ke asalnya, sebagai penghormatan terhadap jiwa suci yang telah bersatu dengan Brahman.
Banten yang dipersembahkan terdiri atas:
Pejati lengkap sebagai wujud bhakti kepada beliau sebagai manifestasi pengetahuan suci (jnana).
Daksina utama sebagai lambang keutuhan tattwa.
Pajegan dan tebasan kecil sebagai simbol anugrah pengetahuan yang telah diwariskan kepada umat.
Dalam Sanghyang Mahajnana disebutkan:
> “Guru tattwa sira, prabhu tattwa sira, sang catur loka ngemban widhi saking guru.”
(Guru adalah penjelmaan tattwa, pengemban widhi, yang memelihara keseimbangan empat alam.)
Oleh sebab itu, banten di pelinggih Gedong Sentana tidak semata-mata bentuk penghormatan, melainkan peneguhan rasa terima kasih atas warisan dharma beliau kepada umat.
4. Banten di Pelinggih Pengaruman dan Ista Dewata Lainnya
Pelinggih Pengaruman merupakan tempat bersthananya Ista Dewata, yaitu manifestasi para dewa dan sakti yang turut hadir selama piodalan berlangsung. Setelah upacara selesai, seluruh manifestasi itu dikembalikan ke asalnya.
Banten yang dipersembahkan adalah banten Pejati, Peras Ajuman, Canang Pesucian dan Canang Genten, disertai Tirta untuk memohon penyucian dan pengembalian energi suci para dewata.
Makna penyineban di pelinggih ini adalah pemulangan prana ilahi (śakti dewata) ke tempat asalnya, sebagai wujud kesadaran bahwa segala kekuatan bersumber dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makna Tattwa dan Penutup
Secara keseluruhan, struktur banten penyineban menggambarkan proses spiritual manusia dan semesta yang tunduk pada hukum Tri Kona:
1. Utpatti – Penciptaan (dilambangkan dengan banten Kelanan Sari),
2. Sthiti – Pemeliharaan (dilambangkan dengan banten Penyeneng),
3. Pralina – Peleburan kembali (terjadi dalam penyineban).
Seperti disebut dalam Widhi Tattwa:
> “Sang Hyang Parama Kawi ngawinang utpatti, sthiti, pralina, pinaka swabhawa ring widhi tattwa.”
(Sang Hyang Parama Kawi menciptakan, memelihara, dan melebur — itulah hakikat Tuhan dalam Widhi Tattwa.)
Dengan demikian, banten penyineban bukan sekadar pelengkap upacara, tetapi merupakan puncak kesadaran spiritual, bahwa semua ciptaan berasal dari Tuhan, hidup karena Tuhan, dan akhirnya kembali kepada-Nya.
Penyineban mengingatkan umat agar setiap yadnya tidak hanya berakhir secara ritual, tetapi juga menumbuhkan kesadaran tattwa:
bahwa Tuhan bukan hanya yang disembah, tetapi juga yang hidup di dalam diri dan seluruh alam semesta.
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba
Komentar
Posting Komentar