Makna Tumpek Wariga
Sumber: Lontar Tutur Begawan Agastyaprana & Lontar Sundharigama
(Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran)
Sesungguhnya, menurut petunjuk sastra-sastra agama Hindu, khususnya dalam Lontar Tutur Begawan Agastyaprana dan Lontar Sundharigama, pelaksanaan upacara Tumpek Wariga tidak hanya diperuntukkan bagi pohon-pohon yang berbuah atau menghasilkan bahan pangan saja, melainkan juga bagi seluruh tumbuh-tumbuhan yang hidup di muka bumi — termasuk semak, rerumputan, serta pepohonan kecil yang menjadi bagian dari kehidupan alam.
Demikian pula, pelaksanaan hari Tumpek Wariga dan hari-hari Tumpek lainnya tidak hanya ditujukan bagi Bhuwana Agung (alam semesta besar), tetapi juga bagi Bhuwana Alit (alam semesta kecil dalam diri manusia).
Manusia yang makan sayur-sayuran dan buah-buahan sejatinya telah membawa unsur tumbuh-tumbuhan ke dalam tubuhnya. Unsur inilah yang membantu proses kehidupan hingga manusia memiliki bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu tersebut dipandang sebagai simbol tumbuh-tumbuhan dalam Bhuwana Alit, yang juga patut disucikan pada saat pelaksanaan upacara Tumpek Wariga.
Dengan demikian, makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Tumpek Wariga dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Tumpek Wariga bermakna penyupatan terhadap tumbuh-tumbuhan, baik di Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit.
b. Memberikan kesempatan kepada manusia (umat Hindu) untuk berkarma terhadap makhluk lain, agar dapat mencapai Subhakarma — perbuatan baik yang menumbuhkan kesucian dan keseimbangan hidup.
c. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa dan mampu menerima korban suci manusia melalui kekuatan instingnya. Dengan demikian, tumbuh-tumbuhan pun dapat berkarma dengan cara memberikan kesuburan berupa buah, bunga, daun, akar, dan batangnya. Dari keseimbangan ini, alam akan berjalan serasi, selaras, dan seimbang, sehingga ekosistem menjadi lestari dan bencana alam dapat terhindarkan.
d. Memberikan kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki karmanya dan menjaga keberlangsungan hidupnya sesuai ajaran Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Tatacara Pelaksanaan Upacara Tumpek Wariga
1. Upakara di Kemulan (Rong Tengah)
Pejati lengkap asoroh
Canang geti-geti dan penyeneng alit
Canang pesucian
Bubuh mewadah limas berwarna putih, merah, kuning, dan hijau.
Namun demikian, upakara di kemulan tidak harus seperti di atas.
Pelaksanaannya dapat dilakukan sesuai kemampuan masing-masing, yang terpenting adalah dilandasi ketulusan hati dan kesucian niat, karena inti yadnya bukan pada besarnya banten, melainkan pada keikhlasan bhakti yang mengiringinya.
2. Upakara Ayaban
Banten ayaban (7 bungkul)
Rayunan dengan sarwa meletik (seperti banten prani)
Prayascita, bayekawonan, dan pengulapan alit
Namun sebagaimana upakara di kemulan, banten ayaban pun tidak harus lengkap seperti uraian di atas.
Pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kemampuan umat, selama dilakukan dengan rasa tulus ikhlas, tanpa pamrih, dan dengan kesadaran bhakti kepada Sang Hyang Sangkara yang bersemayam dalam setiap kehidupan tumbuh-tumbuhan.
3. Upakara pada Tumbuh-tumbuhan
- Canang pesucian
- Banten cau berisi bubuh putih, merah, kuning, dan hijau
- Sasat gantung
- Banten sesayut tanem tuwuh
Tata Cara Pelaksanaannya
Tatacara pelaksanaannya hampir sama dengan upacara Tumpek lainnya. Hanya saja, pengastawa atau pemujaannya ditujukan kepada Sang Hyang Sangkara, manifestasi Tuhan sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dan kesuburan.
Langkah-langkah pelaksanaannya sebagai berikut:
1. Nganteb upakara dilakukan di pemerajan, di hadapan pelinggih Hyang Guru, atau pada Bale Piasan.
2. Saat mengaturkan pesucian, percikkan tirtha bayekawonan, pengulapan, dan terakhir tirtha prayascita. Urutannya dimulai dari pelinggih Kemulan, lalu ke upakara ayaban, dan terakhir ke tempat tumbuh-tumbuhan.
3. Lanjutkan dengan persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Sangkara.
4. Setelah itu, lakukan metirtha, memakai bija, dan terakhir Sang Yajamana (pelaksana upacara) ngayab upakara (nyurud ayu).
5. Ambil banten gedapetan untuk diayabkan ke tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, selesailah pelaksanaan upacara Tumpek Wariga.
Makna Tumpek Pengatag atau Tumpek Pengarah
Hari suci Tumpek Wariga juga dikenal dengan sebutan Tumpek Pengatag atau Tumpek Pengarah. Sebutan ini muncul dari kebiasaan manusia yang “mengarah” atau memohon kepada pepohonan agar berbuah lebat dan memberikan hasil yang baik.
Dahulu, permohonan ini sering diungkapkan dengan cara memukul batang pohon atau menoreh kulitnya, sebagai isyarat agar pohon cepat berbuah. Namun, cara seperti itu tidak dibenarkan lagi, karena tergolong Himsa Karma — perbuatan yang menyakiti makhluk hidup — dan termasuk dalam Asubhakarma (perbuatan tidak baik).
Sebagai gantinya, umat dianjurkan melakukan pendekatan penuh welas asih, dengan cara berpantun dan mengelus batang pohon dengan lembut, disertai perasaan kasih.
Pantun tradisional yang biasanya diucapkan adalah:
> “Dadong-Dadong, I Pekak Anak Kija?
I Pekak, ya, Gelem.
I Pekak Gelem Apa, Dadong?
I Pekak, ya, Gelem.
Nged... nged... nged...”
Pantun ini menggambarkan hubungan yang penuh kasih antara manusia dan tumbuh-tumbuhan. Ia menjadi simbol komunikasi spiritual yang lembut, sebagai wujud rasa terima kasih dan penghormatan kepada alam yang telah memberi kehidupan.
Melalui pelaksanaan Tumpek Wariga, manusia diajak untuk menyadari kembali bahwa kehidupan bukan hanya milik manusia semata, melainkan milik seluruh ciptaan Tuhan.
Dengan penuh kasih, manusia berterima kasih kepada tumbuh-tumbuhan yang telah memberikan oksigen, makanan, dan kesejukan bagi kehidupan.
Upacara Tumpek Wariga bukan sekadar ritual, melainkan perwujudan bakti dan kesadaran ekologis-spiritual, bahwa alam adalah bagian dari diri kita sendiri — Bhuwana Agung yang bersemayam di dalam Bhuwana Alit.
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara.
Komentar
Posting Komentar