Langsung ke konten utama

Samkhya, Fisika Kuantum, dan Filosofi Upacara Ngaben: Dari Penciptaan ke Pengembalian

Samkhya, Fisika Kuantum, dan Filosofi Upacara Ngaben: Dari Penciptaan ke Pengembalian

Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba


Di antara senyap ruang dan denyut cahaya, tersimpan rahasia yang sama-sama dicari oleh para resi dan ilmuwan. Satu dengan tapa di hutan sunyi, satu lagi dengan teleskop dan laboratorium. Namun keduanya menatap arah yang sama — ke sumber segala sesuatu.

Keilmiahan ajaran Samkhya, yang lahir ribuan tahun sebelum istilah “atom” dikenal manusia, ternyata bersuara seirama dengan temuan fisika kuantum masa kini. Di balik nama dan metode yang berbeda, keduanya menyingkap kenyataan yang sama: bahwa alam semesta ini bukanlah mesin mati, melainkan kesadaran yang bergetar dalam rupa energi.

Fisikawan modern menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini tersusun atas satuan-satuan sangat kecil yang disebut kuanta. Dari sinilah lahir ilmu mekanika kuantum, yang menguraikan perilaku partikel di batas antara ada dan tiada.

Pada tingkat paling halus, benda padat sesungguhnya tidak benar-benar ada. Segalanya hanyalah getaran energi di dalam ruang hampa. Lebih mengejutkan lagi, perilaku partikel ternyata dapat berubah hanya karena niat dan kesadaran pengamatnya.

Fritjof Capra dalam The Tao of Physics menulis, “Semakin dalam kita menyelami materi, semakin jelas bahwa kita sedang menatap kesadaran itu sendiri.” Pernyataan ini seperti gema dari ajaran kuno Timur, yang telah sejak awal menegaskan bahwa di balik bentuk, ada getaran kesadaran yang menuntun segalanya.

Hukum-hukum kuantum berbicara tentang ketidakpastian, keterikatan, dan non-lokalitas — bahwa unsur terkecil dari segala sesuatu sesungguhnya ada di sini dan di mana-mana sekaligus. Maka ilmu modern pun perlahan mengarah pada satu titik: bahwa asal segala sesuatu adalah akasa, ruang tak bertepi tempat segala potensi mengembang.

Namun ribuan tahun sebelum teleskop pertama diciptakan, Resi Kapila telah menjelaskan hal itu dalam filsafat Samkhya. Melalui dua puluh lima tattwa, beliau memaparkan tahapan lahirnya alam dari yang halus menuju yang kasar — dari kesadaran murni menuju materi.

Fisika kuantum mampu melacak partikel dari ruang hampa, namun belum menjelaskan dari mana ruang itu sendiri muncul. Samkhya menjawab dengan jernih: ruang atau akasa berasal dari sabda tanmatra — getaran suara kosmik pertama yang menggema dari keheningan purba.

Dalam alur evolusinya, Samkhya menguraikan bahwa:
- Dari sabda tanmatra lahirlah akasa, ruang tempat segala sesuatu berpotensi muncul.

- Dari sparsa tanmatra lahirlah bayu, gerak dan udara yang menghidupkan ruang.

- Dari rupa tanmatra lahirlah teja, cahaya dan panas, tanda kehidupan mulai berpijar.

- Dari rasa tanmatra lahirlah apah, air yang melarutkan dan menyatukan.

- Dari gandha tanmatra lahirlah pertiwi, zat padat, bumi tempat kehidupan berjejak.

Kelima unsur ini tidak bergerak karena kebetulan, melainkan karena adanya buddhi — kecerdasan alam yang sadar akan dirinya sendiri. Seperti halnya atom berputar di dalam inti bukan karena mesin, melainkan karena hukum kesadaran yang tak terlihat.

Dalam pandangan Samkhya, struktur atom sejatinya mencerminkan tiga getaran dasar dari prakriti yang disebut triguna:
- Sattwam — terang, seimbang, dan murni.
- Rajas — aktif, dinamis, dan penuh energi.
- Tamas — lembam, berat, dan gelap.

Elektron yang senantiasa bergerak menyerupai rajas, proton yang stabil menyerupai sattwam, dan keadaan diamnya energi menyerupai tamas. Dari tarian tiga getaran inilah lahir atom, molekul, kehidupan, dan akhirnya kesadaran manusia.

Werner Heisenberg, perintis fisika kuantum, pernah berkata: “Konsep atom dalam sains modern lebih dekat dengan konsep rohani India daripada dengan dunia materialisme Barat.” Ucapan itu mengukuhkan bahwa resonansi antara Samkhya dan fisika kuantum bukan kebetulan, melainkan persinggungan dua bahasa yang menuturkan satu kebenaran.

Jika sains modern berbicara bahwa “semua berasal dari ruang hampa,” maka Samkhya menjelaskan bahwa “ruang itu sendiri lahir dari sabda” — vibrasi kesadaran yang menggetarkan ketiadaan menjadi ada. Dalam Weda, hal ini disebut kelahiran Hiranyagarbha, telur emas alam semesta:

Hiranyagarbhaḥ paramam anādyudham janā viduḥ
skambhas tat agre prasincad dhirayam loke antaraḥ.
(Atharva Veda X.7.28)

Artinya, siapa yang mengenal Hiranyagarbha, Sang Asal dari segala asal, akan mengetahui bahwa semesta hidup bukan karena materi, melainkan karena kesadaran yang menembus segalanya — dari partikel terkecil hingga samudra galaksi.

Filosofi Upacara Pengabenan di Bali

Jika dipandang dari sudut ajaran Prakerti Tattwa, Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta melalui kekuatan CETANA (Purusa) dan kekuatan ACETANA (Prakerti). Dari ACETANA-Nya bermanifestasi Mahat, unsur pikiran alam, yang kemudian melahirkan Buddhi, dan dari Buddhi lahirlah Ahamkara. Dari Ahamkara muncul Manah dan Dasendriya — yaitu Panca Budhidriya dan Panca Karmendriya. Ahamkara juga memanifestasikan Triguna: Sattwam, Rajas, dan Tamas, yang kemudian menjadi Panca Tanmatra, lalu Panca Mahabhuta, dan akhirnya membentuk Stula Sarira atau tubuh kasar manusia.

Seiring pelaksanaan Pitra Yadnya (Ngaben), proses pengembalian Panca Mahabhuta terjadi melalui tahapan yang berlawanan dari penciptaan:

1. Jasad menjadi titik awal, ketika Atma (roh) meninggalkan tubuh, dan Panca Mahabhuta mulai dilepaskan. Panca Mahabhuta dalam Puja Pitra disebut sebagai Pitra.
2. Melalui upacara Attwa-Tiwa (Ngeringkes), jasad dibersihkan dan Panca Mahabhuta mulai kembali ke bentuk Panca Tanmatra, sedangkan Pitra menjadi Pitara.
3. Pelaksanaan upacara Ngaben terus meningkatkan kemurnian Panca Tanmatra, yang kembali menjadi Triguna, dan dari Triguna kembali ke Ahamkara. Pitara berubah menjadi Dewa Pitara.
4. Upacara Pemukuran meningkatkan kesucian Dewa Pitara sehingga Ahamkara kembali ke Buddhi, dan dari Buddhi kembali ke Mahat, sementara sebutan Dewa Pitara berubah menjadi Hyang Pitara.
5. Tahap puncak melalui upacara Nilapati, Mahat kembali ke Prakerti, dan Hyang Pitara menjadi Bethara Hyang, yang menunjukkan kembalinya roh dan panca mahabhuta ke sumbernya, Sang Hyang Prakerti (Kemulan).

Perubahan fisik dari Sekah Tunggal menjadi Daksina Pelinggih, penganyutan ke laut, dan pengembalian ke Kemulan melalui pelinggih, melambangkan perjalanan roh dan unsur-unsur alam yang kembali ke asalnya. Arang, uang, dan sarana ritual yang dimasukkan ke dalam pelinggih Kemulan adalah simbol pengembalian Mahat ke Prakerti (Bumi).

Secara filsafat, Ngaben menegaskan bahwa kesadaran dan materi kembali ke sumbernya — Mahat kembali ke Prakerti, Triguna kembali ke Ahamkara, Panca Mahabhuta kembali ke Panca Tanmatra, dan akhirnya kembali ke Hiranyagarbha, sumber kosmis kesadaran. Dengan kata lain, upacara Ngaben adalah manifestasi ritual dari prinsip kosmik Samkhya, di mana proses penciptaan dibalikkan untuk mengembalikan unsur-unsur semesta ke asalnya.

20-10-2016

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud