Langsung ke konten utama

Era Keyakinan vs. Era Pengetahuan: Dari Mitos ke Makna

Era Keyakinan vs. Era Pengetahuan: Dari Mitos ke Makna
Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba


Selama ribuan tahun manusia hidup dalam pelukan keyakinan. Cahaya itu begitu hangat, begitu akrab, sehingga nenek moyang kita merasa aman di balik cerita-cerita yang mereka warisi. Petir dianggap murka para dewa, penyakit dipahami sebagai kutukan roh, dan segala ketakutan ditenangkan oleh mitos yang dirajut dari rasa percaya. Otak manusia yang sejak awal berevolusi untuk mencari kepastian menemukan tempat berteduh di balik hal-hal yang diyakini, meskipun kepercayaannya belum tentu benar. Yang penting bukan kebenarannya, tetapi perasaan aman yang ditimbulkan oleh keyakinan itu.

Lalu zaman berubah. Sains lahir, berkembang, dan perlahan menyalakan terang yang lain—lebih tajam, lebih dingin, namun tidak bisa diabaikan. Kita belajar menghitung dan menulis. Kita meneliti dan menguji. Kita menemukan bahwa petir hanyalah listrik, penyakit disebabkan bakteri, dan bumi yang kita pijak ternyata melayang dalam ruang hampa yang luas dan tanpa perasaan. Cahaya pengetahuan memang terang, tetapi ia juga meruntuhkan banyak tiang keyakinan yang dulu menjadi sandaran. Semesta yang dulu terasa penuh kehadiran kini tampak netral dan tidak peduli.

Di sinilah kerumitan dimulai. Otak manusia yang selama ribuan tahun terbiasa hidup dalam pelukan keyakinan tiba-tiba harus berdamai dengan ketidakpastian. Era yakin memang hangat, sedangkan era tahu sering terasa dingin. Namun di balik rasa dingin itu tersimpan sebuah kekuatan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: kemampuan untuk menyalakan makna sendiri.

Kita mungkin hanya debu kecil di tengah galaksi, tetapi kita adalah debu yang mampu belajar, merenung, dan menciptakan harapan. Kita tidak lagi berlindung di balik kisah dewa-dewa yang melindungi, tetapi kita diberikan kesempatan untuk menjelajahi alam semesta dengan pikiran yang lebih jernih. Dan dalam kegelapan kosmos yang luas itu, kita menemukan sesuatu yang lebih dalam—bahwa cahaya terpenting ternyata tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri.

Namun warisan kerinduan itu masih tersisa. Sesekali kita merindukan masa ketika dunia tampak sederhana dan kepastian terasa begitu dekat. Ketika hati lelah, kita ingin kembali kepada cerita-cerita yang penuh kehangatan. Itu manusiawi. Otak kita membawa nostalgia bawaan, keinginan untuk mengulang pola-pola lama yang mudah dicerna dan menenangkan.

Tetapi kita tidak mungkin kembali. Sekali mata manusia melihat luasnya samudera pengetahuan, ia tidak akan lagi puas dengan kolam kecil mitos. Setiap penemuan, setiap data, setiap “aha moment” mengubah kita secara permanen. Pengetahuan membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi. Dan justru di sanalah letak keindahannya.

Dulu cinta dianggap panah dewa asmara. Kini kita tahu ia adalah tarian neurokimia yang rumit. Namun apakah itu membuat cinta kehilangan keajaibannya? Tidak. Justru memahami kerumitannya membuat kita semakin kagum pada betapa halusnya ciptaan ini bekerja. Kita menjadi manusia yang lebih sadar, bukan lebih hampa.

Kita hidup dalam masa peralihan—membawa gen rindu pada kepastian, tetapi memiliki alat untuk menembus fakta. Kita sering tersesat di dua dunia, tetapi dari keterombangan itu lahir kematangan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Kita belajar berbicara dengan alam semesta bukan lagi dengan bahasa dongeng, tetapi dengan bahasa yang jujur. Mungkin lebih dingin, tetapi lebih membebaskan.

Dan dari kebebasan itu kita belajar melihat martabat manusia yang sejati: kemampuan untuk menatap kehampaan kosmis, namun tetap memilih untuk menciptakan cinta, menciptakan seni, menciptakan kebaikan. Kita menyadari bahwa makna tidak lagi diberikan dari luar, tetapi dibangun dari keberanian kita untuk merawat hidup.

Pengetahuan tidak pernah diciptakan untuk membunuh kehangatan. Fakta tidak lahir untuk mematikan rasa kagum. Justru sebaliknya—pengetahuan memberikan kehangatan yang lebih tahan lama karena dibangun dari kebenaran, bukan dari ketakutan. Ketika kita tahu bahwa atom besi dalam tubuh kita berasal dari bintang yang meledak miliaran tahun lalu, bagaimana mungkin kita tidak terharu? Ketika kita memahami bahwa DNA menyimpan kode kehidupan yang lebih rumit daripada perangkat lunak apa pun, bagaimana mungkin kita tidak merasa takjub?

Kita tidak kehilangan kehangatan. Kita hanya memindahkan sumber apinya.

Dulu kita menyalakan api unggun keyakinan. Sekarang kita membangun tungku terang yang bernama pemahaman. Ia tidak hanya menghangatkan, tetapi juga menerangi jalan yang sebelumnya gelap.

Dan pada akhirnya, kita menemukan keberanian untuk mengatakan: “Saya belum tahu, dan itu tidak apa-apa.” Justru dari ketidaktahuan itulah lahir ruang luas bagi pencarian, dialog, dan kedewasaan. Kita adalah generasi yang belajar bahwa ketidakpastian bukan musuh, melainkan ruang tempat makna tumbuh.

Di antara rindu dan realita, kita berjalan. Tidak lagi hanya percaya, tetapi juga memahami. Tidak lagi hanya melihat dunia dengan mata masa lalu, tetapi dengan kesadaran baru yang lebih jernih. Dan dari perjalanan itulah kita belajar menyalakan makna—pelan, tenang, dan lahir dari kedalaman diri sendiri.


Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud