Ketika Kesucian Menyapa di Ruang Nista
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara M.
![]()
Ada pertanyaan yang sering muncul dalam obrolan halus di antara umat: mengapa terkadang, saat berada di kamar mandi — ruang yang dalam tradisi kita disebut nistaning mandala — tiba‑tiba muncul dorongan untuk memikirkan hal-hal suci? Bukankah ruang itu dianggap rendah, tempat pembersihan fisik, tempat kita tidak boleh membawa simbol suci, apalagi melakukan kegiatan ritual? Pertanyaan ini tampaknya sederhana, namun menyentuh hubungan halus antara tubuh, pikiran, dan tatanan kosmologis Bali yang membagi ruang menurut tingkatan energinya.
Kamar mandi memang termasuk nistaning mandala, tempat energi kasar bekerja. Namun nista tidak identik dengan najis moral; ia hanya ruang rendah dalam urutan mandala. Ruang rendah ini justru sering menjadi tempat tubuh merendahkan ketegangannya — air yang mengalir di kulit membuat bayu menurun, napas menjadi ringan, dan sabda berhenti bekerja. Di saat-saat itulah idep, yang biasanya sibuk berlari mengejar urusan dunia, tiba-tiba mendapat ruang untuk bernapas. Tanpa kita rencanakan, pikiran mendadak berjalan ke arah yang lebih jernih — bahkan terkadang menuju renungan spiritual. Ketika seseorang bertanya, “Mengapa saya justru memikirkan Tuhan, dharma, atau hal-hal luhur saat mandi?”, jawabannya bukan karena ruang itu suci, tetapi karena pikiran sedang bebas dari gangguan dan kembali pada sifat alaminya yang murni.
Ilmu saraf modern menjelaskan pengalaman ini lebih jauh dengan konsep Default Mode Network (DMN) — jaringan otak intrinsik yang aktif ketika pikiran diarahkan ke dalam diri, seperti saat melamun, mengenang masa lalu, atau mencipta gagasan baru. Dalam penelitian stereo‑EEG pada manusia, para peneliti menemukan pola khas dalam aktivitas DMN saat orang melakukan tugas pemikiran kreatif (“alternate uses task”) dan saat melamun: penurunan daya gelombang theta (4–8 Hz) bersamaan dengan peningkatan gelombang gamma (30–70 Hz) di bagian-bagian DMN tertentu. Bahkan ketika para peneliti mengintervensi (stimulasi kortikal) daerah DMN secara langsung, kreativitas peserta — khususnya dari segi keaslian ide — menurun, menunjukkan hubungan kausal antara DMN dan kemampuan berpikir divergen.
Lebih jauh lagi, penelitian dengan EEG dan fMRI menunjukkan bahwa meditasi juga mengubah dinamika DMN. Ketika orang bermeditasi, durasi dan frekuensi “microstate” DMN (tahapan aktivitas pendek yang mencerminkan siklus kerja DMN) berubah: meditator berpengalaman menunjukkan bahwa microstate DMN lebih sering muncul dan berlangsung lebih lama saat meditasi dibandingkan saat istirahat biasa. Studi lain juga mencatat bahwa meditasi menurunkan aktivasi area DMN seperti posterior cingulate cortex dan medial prefrontal cortex, sekaligus meningkatkan konektivitas antara DMN dan jaringan kontrol kognitif (misalnya fronto-parietal network), yang mencerminkan kapasitas lebih besar untuk mengarahkan pikiran. Meta-analisis juga mendukung bahwa meditasi mengubah konektivitas internal DMN serta interaksi DMN dengan jaringan lain.
Dalam perspektif Hindu Bali, penjelasan neurosains ini sangat selaras dengan pemahaman prana dan energi batin: ketika tubuh berada di ruang rendah (nistaning mandala) dan rileks, prana bisa bergerak lebih bebas, sabda mereda, dan idep memiliki ruang untuk merenung. Pikiran suci yang muncul bukanlah akibat ritual yang sengaja dilakukan, melainkan manifestasi alami dari jaringan batin yang aktif — DMN — yang menghubungkan memori, imaji, dan kesadaran diri.
Dalam tradisi kita, nista mandala bukanlah tempat untuk melakukan puja, melafalkan mantra, atau membawa simbol suci secara sembarangan; tetapi tidak ada larangan tekstual yang menyatakan bahwa pikiran suci tidak boleh datang di sana. Pikiran tidak dipenjarakan oleh tembok ruang. Dan ketika pemikiran suci tiba secara spontan di ruang seperti kamar mandi, itu adalah bukvti bahwa kejernihan batin tetap tinggal, bahkan ketika tubuh berada di tempat rendah.
Maka, bagaimana menyikapi momen-momen seperti ini? Biarkan renungan suci itu hadir dengan tenang — tanpa dipaksa, tanpa dilawan. Setelah selesai mandi, anda bisa mencatat pesan batin tersebut atau melanjutkan refleksi di ruang lain yang lebih layak secara ritual. Dengan demikian, anda menghormati tatanan mandala tradisional sekaligus menghargai karunia batin yang muncul dari dalam.
Pada akhirnya, kesucian terbesar bukanlah milik tempat, melainkan milik pikiran yang jernih dan lembut. Ruang mungkin rendah, tetapi idep yang suci tetap memancarkan cahaya. Tuhan atau kesadaran tidak memilih tembok, melainkan cara batin anda menyambut kedatangan-Nya.
![]()
Komentar
Posting Komentar