Langsung ke konten utama

Mengenal Konsep Tuhan dalam Hindu Bali: AntaraNirguna dan Saguna

Mengenal Konsep Tuhan dalam Hindu Bali: Antara
Nirguna dan Saguna
Mengenal Konsep Tuhan dalam Hindu Bali: Antara Nirguna dan Saguna

Dalam tradisi Hindu Bali, pemahaman tentang Tuhan tidak hanya sekadar menyembah dewa-dewi dalam bentuk tertentu. Di balik wujud-wujud yang akrab dalam ritual dan upacara, terdapat pemahaman mendalam tentang Tuhan yang tanpa sifat (nirguna), tanpa bentuk (nirakara), dan melampaui segala definisi. Konsep ini tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi, membentuk sebuah tangga spiritual yang memandu umat dari yang kasat mata menuju yang tak terbayangkan.

1. Sang Hyang Widhi: Tuhan dalam Hindu Bali

Umat Hindu Bali mengenal Sang Hyang Widhi Wasa sebagai representasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini, yang distandardisasi oleh para Dang Acarya pada awal abad ke-20 untuk menjawab kebutuhan zaman, sesungguhnya berakar sangat dalam pada filsafat Veda. Hakikat Sang Hyang Widhi adalah:

· Nirguna: Tanpa sifat atau atribut duniawi. Ia adalah Realitas Absolut yang melampaui segala dualitas, baik buruk, besar kecil.
· Nirakara: Tidak berbentuk (non-fisik), namun termanifestasi dalam beragam wujud (saguna) untuk kemudahan pemujaan dan konsentrasi batin.
· Tak terdefinisikan: Melampaui kapasitas pikiran dan jangkauan bahasa manusia.

Kearifan lokal Bali merumuskan ketakterbatasan ini dalam frasa-frasa suci yang ditemukan dalam lontar-lontar seperti Sarasamuccaya dan Bhuwana Tattwa. Konsep "tan pawatek dewata" (Tuhan yang tak terpikirkan) dan "tan hana upama" (Tuhan yang tak ada bandingannya) adalah upaya untuk menegaskan bahwa Sang Hyang Widhi adalah Brahman, Sang Mutlak yang tak terjangkau indera.

2. Praktik Pemujaan: Jalan Saguna Menuju Nirguna

Bagi umat awam, memikirkan Yang Mutlak secara langsung adalah hal yang mustahil. Di sinilah kejeniusan tradisi Bali hadir, dengan menyediakan jalan (marga) melalui bentuk-bentuk yang dapat dipahami. Dalam praktik sehari-hari, umat memuja manifestasi Tuhan (saguna brahman) seperti:

· Tri Murti: Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pelebur) adalah manifestasi fungsi-fungsi kosmik-Nya.
· Dewa-dewi lokal: Seperti Dewa Baruna (penguasa laut) dan Dewi Sri (dewi kesuburan) yang memanifestasikan kekuatan-Nya dalam elemen dan aspek kehidupan tertentu.
· Simbol-simbol suci: Seperti Padmasana (singgasana kosong untuk Sang Pencipta) dan Sanggar Surya (tempat pemujaan sang surya), yang menjadi titik fokus untuk mengingat kehadiran Ilahi yang tak terlihat.

Pemujaan terhadap dewa-dewi ini bukanlah politeisme, melainkan monoteisme inklusif. Setiap dewa adalah "pintu" yang berbeda menuju Kebenaran yang sama. Seperti diungkapkan dalam Rgveda: "Ekam sat vipra bahudha vadanti" – "Hanya ada satu Kebenaran, para bijak menyebut-Nya dengan berbagai nama."

3. Simbol Ketakterikatan dalam Ritual

Setiap aspek ritual Hindu Bali dirancang untuk mengingatkan pada transendensi, bukan sekadar memenuhi bentuk. Beberapa simbol ketakterikatan yang mendalam antara lain:

· Meditasi dan Yoga: Praktik seperti Surya Sewana atau Siwa Samadhi bertujuan untuk meredakan gejolak pikiran (citta vritti nirodha - Yoga Sutra Patanjali) guna menyelami kesadaran murni dan mengalami penyatuan (union) dengan Brahman.
· Mantra Suci "Ong" (Om): Getaran primordial ini diyakini sebagai suara pertama penciptaan, simbol dari getaran kesadaran ilahi itu sendiri. Melantunkan "Ong" adalah upaya menyelaraskan diri dengan sumber segala ada.
· Padmasana yang Kosong: Singgasana tertinggi di setiap pura ini sengaja dibiarkan kosong. Ini adalah pengingat fisik yang paling gamblang: Tuhan yang dipuja adalah Ia yang tak berwujud, yang hadir justru dalam "kekosongan" dan kesunyian batin.

4. Filsafat Tinggi dan Sinkretisme Bali

Kekuatan Hindu Bali terletak pada kemampuannya menyatukan filsafat Advaita Vedanta (non-dualisme) yang tinggi dengan praktik kebudayaan yang hidup. Masyarakat Bali tidak melihat pertentangan antara konsep Nirguna Brahman yang abstrak dengan pemujaan Saguna Brahman yang penuh warna. Sinkretisme ini adalah sebuah laku:

· Tattwa (Filsafat): Memahami hakikat Tuhan yang Nirguna.
· Susila (Etika): Menjalankan dharma dalam kehidupan bermasyarakat.
· Upacara (Ritual): Memanifestasikan pemahaman tersebut melalui seni, persembahan, dan ritual yang indah.

Ritual-ritual yang megah, dengan segala sarana bebali (upakara)-nya, sesungguhnya adalah "Yadnya"—persembahan korban suci yang tulus. Tujuannya bukan hanya untuk memuja, tetapi juga untuk melatih ketakterikatan (vairagya). Proses menyiapkan persembahan yang rumit, hanya untuk akhirnya dilebur atau dibiarkan layu, adalah pelajaran nyata tentang anicca (ketidakkekalan) dan melepasnya keinginan untuk mengontrol.

5. Kesimpulan: Kesatuan dalam Dwi-Muka

Konsep Tuhan dalam Hindu Bali bagaikan satu mata uang dengan dua sisi: Nirguna dan Saguna. Nirguna adalah hakikat tertinggi, sementara Saguna adalah perwujudan yang penuh kasih, membimbing umat untuk naik dari yang konkret menuju yang abstrak, dari yang personal menuju yang transenden.

Dengan demikian, agama Hindu Bali menawarkan sebuah jalan spiritual yang lengkap: sebuah tangga dimana seni, budaya, dan ritual yang hidup (saguna) menjadi anak tangga yang membawa penganutnya mendaki, pelan namun pasti, menuju kesadaran tertinggi akan Sang Hyang Widhi, Sang Nirguna Brahman—Sumber segala sumber, yang tak bernama, tak berbentuk, namun hadir dalam setiap helai daun, setiap kibaran dupa, dan setiap hening hati yang memuja-Nya.

---

Komentar

Postingan Populer

Pediksan di desa Karangsuwung Tembuku Bangli

U

Tirtayatra PHDI KAB BANGLI. Madura, Kenjeran Bromao

Piodalan di Pura Pesraman Dharmawasita Capung Mas Ubud Gianyar Bali

Paruman Mawosang Karya Ring Pelinggih Ida Betara Siwa Budha Pesaraman Dharmawasita Mas Ubud

Dharama Santhi Dharmopadesa di Pesraman Dharma wasita Mas Ubud