Sabtu, 11 Mei 2024

Ritual Surya Sewana dari Sudut Pandang Kesehatan


Saat matahari naik di langit, Wiku yang tinggal di Bali, mempersiapkan diri untuk menjalani puja surya sewana. 
Dengan penuh kesederhanaan, bliau melepaskan pakaian/baju yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan sinar matahari menyentuh kulit bliau langsung saat bliau berada duduk di tengah piyasan  
Puja surya sewana dilakukan saat fajar menyingsing di ufuk timur, di mana keindahan alam menyatu dengan ritual spiritual, membiarkan sinar matahari meresap ke dalam tubuh bliau tanpa penghalang. 
Dari sudut pandang medis, keputusannya untuk tidak memakai baju saat melakukan ritual ini memiliki manfaat yang signifikan. Tanpa penghalang pakaian/baju, sinar matahari langsung dapat menembus kulitnya, merangsang produksi vitamin D dalam tubuh bliau. Vitamin D adalah nutrisi penting yang memainkan peran vital dalam menjaga kesehatan tulang, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan mendukung fungsi tubuh lainnya.

Dengan memperoleh paparan sinar matahari yang cukup selama puja surya sewana, bliau secara alami mengoptimalkan kesehatan tulangnya dan memperkuat pertahanan tubuhnya terhadap penyakit. Selain itu, keputusannya untuk berada di bawah sinar matahari langsung juga dapat membantu dalam mengatur siklus tidur-bangun bliau. 
Paparan sinar matahari di pagi hari membantu mengaktifkan hormon-hormon dalam tubuh yang berperan dalam mengatur ritme sirkadian, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas tidur pada umumnya.

Meskipun bagi sebagian orang praktik seperti ini mungkin terdengar tidak konvensional, dari sudut pandang medis, keputusan bliau untuk tidak memakai busana baju saat melakukan puja surya sewana adalah tindakan yang sangat bijaksana untuk menjaga kesehatan tubuh bliau, dan mungkin juga salah satu penyebab yang membuat bliau berumur panjang.
Dengan penuh rasa hormat terhadap kearifan lokal dan spiritualitasnya, bliau menemukan harmoni antara tradisi dan kesehatan tubuh bliau.

Ida Bagus Ngurah Semara M.

Pura Dang Kahyangan Geria Sakti Manuaba, Apuan Susut Bangli.

Cikal Bakal Berdirinya Pura Dang Kahyangan Geria Sakti Manuaba,, di Desa Apuan Bangli.

Pada  abad ke 18, di sisi utara desa Manuaba Tegallalang, sebuah pesraman tegak megah berdiri di atas bukit, menjadi tempat kediaman bagi seorang tokoh spiritual yang sangat dihormati, yaitu Ida Pedanda Sakti Manuaba. Keberadaan pesraman ini tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi sang Pedanda, tetapi juga menjadi pusat kegiatan spiritual dan pembelajaran bagi masyarakat setempat.

Semuanya berawal dari sebuah keberhasilan besar yang diraih oleh Pedanda Sakti Manuaba. Beliau berhasil membangun sebuah bendungan yang mengubah wajah tanah tegalan menjadi lahan persawahan yang subur. Dari situlah, masyarakat Desa Manuaba, yang terdiri dari tujuh banjar, mulai merasakan kemajuan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Lahan persawahan yang subur memberikan hasil yang melimpah, meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan.

Pada suatu hari, di tengah kesibukannya membimbing masyarakat, Pedanda Sakti Manuaba merasa terpanggil untuk mengunjungi sepupunya yang tinggal di Puncak Manik, sebuah daerah indah di perbukitan Gianyar. Dengan langkah tegap, beliau memutuskan untuk berjalan kaki melewati desa Petak. Saat melintasi sungai yang memisahkan desa-desa tersebut, beliau terpesona oleh keindahan alam yang memukau di seberang sungai.

Ternyata, tempat yang dilihatnya adalah Desa Apuan, sebuah perbukitan kecil yang dikelilingi oleh aliran sungai dan hutan-hutan hijau. Suasana damai dan penuh keindahan membuat hati Pedanda Sakti Manuaba merasa nyaman. Kicauan burung-burung di sana seolah-olah menyambutnya dengan hangat, dan masyarakat Desa Apuan dengan penuh hormat mengadap beliau untuk meminta petunjuk spiritual dan bimbingan dalam mengatasi tantangan kehidupan mereka.

Melihat pola perumahan tradisional "Nabuan" atau Pondokan yang masih dominan di Desa Apuan, Pedanda Sakti Manuaba memberikan saran kepada penduduk setempat untuk membangun perumahan dengan pola "Jejer Wayang", serta mengembangkan lahan datar dan subur menjadi sawah menggunakan sistem Subak yang sudah terbukti efektif dan lahan yang kurang subur dijadikan tempat tinggal. Saran tersebut disambut dengan antusias oleh masyarakat dan pemimpin mereka, Gusti Ngurah Jelantik, seorang keturunan Raja Blahbatuh, bersama istrinya yang bernama Nini Pecuit. Dengan tekad dan kerja keras, mereka berhasil mencetak sawah-sawah baru yang subur.

Dengan bimbingan dan ajaran Pedanda Sakti Manuaba, Desa Apuan semakin berkembang dan maju. Untuk menghormati jasanya, masyarakat Desa Apuan membangun sebuah pura yang diberi nama "Pura Dangkahyangan Geria Sakti Manuaba", di tempat di mana sang pedanda pertama kali menapaki tanah Desa Apuan. Pura tersebut menjadi tempat suci yang menjadi sumber kebijaksanaan dan ketenangan bagi masyarakat sekitar, dan juga tempat pemujaan bagi Pedanda Sakti Manuaba yang dianggap sebagai guru loka susuhunan jagat, pemberi cahaya, dan petunjuk bagi mereka yang membutuhkan.

Ida Bagus Ngurah Semara M.