Samsara dan Neurosains: Jalan Panjang Kesadaran, Otak, dan Kelahiran Kembali di Dalam Diri
Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba
Ada satu pertanyaan yang sejak dahulu menggelitik hati manusia: Apakah hidup
ini benar-benar bergerak lurus, ataukah ia berputar, berulang, dan melahirkan
dirinya kembali? Dalam tradisi Hindu, Buddha, dan spiritualitas Nusantara,
jawabannya telah lama dirangkum dalam satu kata: samsara—siklus kelahiran,
kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang tidak pernah berhenti.
Namun, di abad modern ini, neurosains menemukan sesuatu yang tidak berbeda
jauh: otak ternyata hidup dalam siklus. Ia lahir, tumbuh, berubah, membentuk
pola, menghancurkan pola, lalu membangun pola yang baru. Di dalam jaringan
neuron manusia, samsara berlangsung setiap hari. Di dalam ingatan, trauma,
kebiasaan, dan cara kita bereaksi, terdapat siklus berulang yang sangat serupa
dengan konsep yang diajarkan para resi ribuan tahun silam.
Artikel ini mencoba menyatukan keduanya — bukan untuk mencampuradukkan, tetapi
untuk memperlihatkan bahwa sains dan spiritualitas sebenarnya sedang memandang
cermin yang sama dari sisi yang berbeda.
Samsara sebagai Gerak Abadi Pikiran dan Otak
Samsara sering disalahpahami sebagai peristiwa metafisik semata. Tetapi dalam
inti ajarannya, yang berputar bukan tubuh, melainkan kesadaran yang masih
terikat. Pikiran yang belum jernih, batin yang belum sempurna, serta kebiasaan
yang belum terselesaikan membuat manusia terus memasuki siklus yang sama.
Neurosains menemukan hal yang paralel: otak manusia tidak pernah diam. Ia terus
membangun koneksi baru, memotong koneksi lama, dan menata ulang dirinya
berdasarkan pengalaman hidup. Proses ini dikenal sebagai neuroplastisitas.
Setiap pengalaman, baik kecil maupun besar, selalu meninggalkan jejak.[1]
Jika seseorang terus hidup dengan pola yang sama—takut yang sama, kemarahan
yang sama, kecanduan yang sama—maka otaknya akan memperkuat pola itu. Inilah
samsara kecil yang dialami setiap hari: kita terlahir kembali dalam pola yang
sama, dalam cara berpikir yang sama, bahkan dalam diri yang sama.
Samsara bukan hanya siklus kosmik; ia adalah siklus psikologis dan biologis yang
bekerja di dalam otak manusia.
Karma: Jejak yang Tercetak dalam Jaringan Saraf
Karma bukanlah hukuman atau ganjaran dari luar. Karma adalah jejak yang kita
ciptakan sendiri, dan jejak itu hidup di dalam tubuh kita—terutama di otak.
Setiap reaksi emosional, pilihan, atau kebiasaan yang dilakukan berulang kali,
memperkuat jalur tertentu dalam sistem saraf.
Ketika seseorang mudah marah, itu bukan sekadar sifat, tetapi hasil dari
penguatan sinaptik yang terjadi karena kemarahan dilakukan berulang-ulang.[2]
Ketika seseorang cenderung memaafkan, itu juga terbentuk dari pola neural yang
sudah mapan. Ketika seseorang mudah jatuh pada hubungan yang sama, kesalahan
yang sama, atau ketakutan yang sama, neurosains menyebutnya sebagai: The
Looping Circuit—jalur otak yang mengulang dirinya sendiri.
Dalam spiritualitas Hindu, ini disebut vasana dan samskara — jejak batin yang
membentuk hukum karma.
Dengan demikian, karma bukanlah takdir tetap; ia adalah pola yang bisa
dibentuk, dipelajari, disadari, dan diubah. Otak pun mengikuti prinsip yang
sama. Selama kehidupan berlangsung, ia selalu bersifat plastis, lentur, dan
terbuka untuk berubah.
Reinkarnasi: Kelahiran Kembali Versi Baru dari Diri Kita Sendiri
Dalam tradisi Hindu, reinkarnasi berarti kelahiran kembali jiwa setelah
kematian. Tetapi konsep ini juga dapat dibaca secara lebih dalam: manusia
mengalami “kelahiran kembali” bahkan dalam satu kehidupan yang sama. Setiap
pengalaman mendalam, pencerahan batin, kehilangan besar, atau transformasi
kesadaran akan mengubah struktur otak secara fisik.
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa meditasi dapat menebalkan korteks
prefrontal, merangsang neurogenesis hippocampal, dan menata ulang koneksi
neural.[3][4] Ini bukan metafora. Ini literal. Otak berubah bentuk. Otak lahir
kembali. Otak membangun dirinya menjadi versi baru.
Reinkarnasi spiritual dan reinkarnasi neural bertemu dalam satu titik
pemahaman: manusia dapat menjadi seseorang yang benar-benar baru tanpa harus
menunggu tubuh ini mati.
Moksha: Kebebasan dari Siklus Otak yang Mengikat
Jika samsara adalah pola berulang, maka moksha adalah kebebasan dari pola
tersebut. Moksha bukan melarikan diri dari dunia, tetapi melampaui cara lama
dalam melihat dunia. Ia terjadi ketika seseorang tidak lagi diperbudak oleh
trauma lama, pola pikir lama, reaksi otomatis, kebiasaan bawah sadar,
interpretasi yang salah, dan cerita batin yang terus berulang.
Dalam neurosains, moksha digambarkan sebagai pengaktifan jaringan prefrontal
yang jernih, penonaktifan default mode network (DMN), penurunan aktivitas
amygdala, serta peningkatan metacognitive awareness dan regulasi emosi.[5][6]
Studi acak menunjukkan meditasi dapat mengubah konektivitas amygdala dan
jaringan prefrontal, memungkinkan pengendalian diri dan pengurangan stres.
Kesadaran Murni (Ä€tman): Misteri yang Tak Tersentuh Instrumen Sains
Ä€tman tetap menjadi wilayah yang belum bisa dijangkau instrumen laboratorium.
Dalam filsafat Hindu, ia abadi, tidak lahir, tidak mati, tidak bergantung pada
tubuh atau pikiran. Neurosains modern masih mempertanyakan: apakah kesadaran
adalah produk otak atau otak hanya menerima kesadaran yang sudah ada?
Beberapa penelitian tentang near-death experience (NDE), meditasi mendalam, dan
pengalaman non-dual menunjukkan bahwa fenomena kesadaran bisa melampaui
mekanisme neural konvensional.[7]
Kesimpulan
Neurosains dan spiritualitas bukan musuh; keduanya adalah dua suluh yang
menerangi sisi yang berbeda dari ruang yang sama. Sains menjelaskan mekanisme,
spiritualitas menjelaskan makna. Ketika keduanya bertemu, kita melihat gambaran
yang lebih utuh:
- Samsara = pola pikiran yang berulang (neuroplastisitas)
- Karma = jejak pengalaman dalam otak (penguatan sinaptik)
- Reinkarnasi = kemampuan otak/jiwa melahirkan versi baru dari diri
(neurogenesis & reorganisasi neural)
- Moksha = kebebasan dari pola lama (DMN & prefrontal cortex, regulasi
emosional)
- Ātman = kesadaran murni yang menyaksikan tanpa terikat
Manusia tidak ditakdirkan untuk terus berputar. Sains menunjukkan otak dapat
berubah. Spiritualitas menunjukkan jiwa dapat bebas. Nusantara menyatakan
manusia bisa memecah diri lama untuk menemukan cahaya di dalam dirinya. Samsara
bukan tragedi; ia adalah undangan lembut untuk memahami diri lebih dalam.
Catatan Kaki
[1] Calderone, L., Latella, D., & Impellizzeri, F. (2024). Neurobiological
Changes Induced by Mindfulness and Meditation: A Systematic Review. PMC, 15(3).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC11591838/
[2] Tang, Y.-Y., Holzel, B. K., & Posner, M. I. (2015). The neuroscience of
mindfulness meditation. Nature Reviews Neuroscience, 16(4), 213–225.
https://doi.org/10.1038/nrn3916
[3] Luders, E., Kurth, F., Toga, A. W., Narr, K. L., & Gaser, C. (2015).
Meditation effects within the hippocampal complex revealed by voxel-based
morphometry and cytoarchitectonic probabilistic mapping. Frontiers in
Psychology, 6, 211. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00211
[4] Tang, R. et al. (2022). Meditation-induced effects on whole-brain
structural and effective connectivity. Brain Structure and Function, 227,
1403–1421. https://link.springer.com/article/10.1007/s00429-022-02496-9
[5] Taren, A. A., Gianaros, P. J., & Greco, C. M. (2015). Mindfulness
meditation training alters stress-related amygdala resting state functional
connectivity: a randomized controlled trial. Social Cognitive and Affective
Neuroscience, 10(12), 1758–1768. https://doi.org/10.1093/scan/nsv066
[6] Fox, K. C. R., Nijeboer, S., Dixon, M. L., Floman, J. L., Ellamil, M.,
Rumak, S. P., et al. (2014). Is meditation associated with altered brain
structure? A systematic review and meta-analysis of morphometric neuroimaging
in meditation practitioners. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 43,
48–73. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2014.03.016
[7] Britton, W. B., Haynes, P. L., Fridel, K., & Bootzin, R. R. (2014).
Meditation and the neuroscience of consciousness: an introduction. American
Journal of Psychology, 127(1), 41–54.
https://doi.org/10.5406/amerjpsyc.127.1.0041
Komentar
Posting Komentar