Badai dan Sang Pengamat Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Ada manusia yang ketika badai menggulung dari segala penjuru, ia tidak tumbang, tidak pula memberontak. Ia berdiri dengan napas yang tetap utuh, bagai danau yang memantulkan cahaya bulan. Ketenangan yang lahir darinya bukan karena ia kebal rasa sakit, tetapi karena ia telah belajar menari dengan ritme alam. Dalam diam halus itu, sains berbisik, filsafat memberi arah, dan spiritualitas Bali menyempurnakan maknanya. Ketenangan sejati bermula ketika seseorang memahami bahwa tidak semua ombak harus ia lawan. Yang ia kelola bukan angin, melainkan perahunya sendiri. Di dalam tubuh manusia, prefrontal cortex — pusat idep, pusat arah — adalah nakhoda yang menuntun. Ia memilih fokus pada locus of control yang berada dalam genggaman: tindakanku, caraku menarik napas, caraku berpikir. Ini bukan sekadar psikologi, melainkan bentuk bakti kepada tubuh yang diberi bayu, sabda, dan idep oleh Sang Hyang Widhi. Mengutuk badai hany...
Getaran Puja, Frekuensi Bajra, dan Hormon Kebahagiaan dalam Yadnya Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Setiap puja yang dilantunkan oleh seorang Sulinggih selalu dimulai dari hening batin. Dalam keheningan itu, suara muncul bukan sekadar bunyi , tetapi gelombang yang membawa niat suci, doa, dan kesadaran. Mantra yang mengalir lembut adalah rangkaian getaran yang memasuki telinga umat , lalu menyentuh seluruh sistem saraf , mempengaruhi kimia tubuh, serta membangkitkan rasa damai yang tak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata. Itulah sebabnya umat sering berkata bahwa suara puja seorang Sulinggih bisa “ menyentuh sampai ke hati ”. Di balik pengalaman batin tersebut, ada sesuatu yang bekerja secara halus di tubuh manusia. Ketika mantra dilantunkan dalam ritme yang teratur , frekuensi suaranya memicu peningkatan hormon oksitosin — hormon kedamaian , keteduhan, dan rasa keterhubungan. Oksitosin inilah yang membuat umat merasa dekat dengan Tuhan , merasa diterima o...