Langsung ke konten utama

Postingan

Menyembuhkan Tubuh, Pikiran, dan Batin secara Kuantum dan Supranatural

Penyembuhan Energi – Menyembuhkan Tubuh, Pikiran, dan Batin secara Kuantum dan Supranatural Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Setiap penyakit sejatinya berakar dari energi. Tubuh kita bukan hanya susunan daging, darah, dan tulang, melainkan juga jaringan halus dari getaran kehidupan yang disebut prana atau chi. Ketika pikiran dipenuhi kecemasan, ketika batin diselimuti kemarahan atau dendam, getaran itu mengendap menjadi blok energi yang mengganggu keseimbangan tubuh. Sains modern menyebutnya gangguan bio-elektromagnetik, sedangkan kearifan leluhur menamainya prana yang tersumbat. Keduanya menunjuk pada hal yang sama: bahwa akar penyakit seringkali lahir jauh sebelum gejala fisik muncul. Pikiran ibarat pemrogram yang mengarahkan aliran energi. Tubuh hanyalah penerima yang taat pada pola vibrasi yang dipancarkan pikiran itu. Saat kita menanamkan rasa syukur dan kasih, medan energi tubuh memancarkan getaran terang yang menyembuhkan. Tetapi ketika kita larut dalam...
Postingan terbaru

Banten Peras.

Banten Peras: Simbol Purusa dan Aliran Panca Sakti dalam Kehidupan Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Di atas taladan, persembahan itu tertata rapi, seperti alam semesta mini yang berbisik lembut. Taladan, segi empat panjang yang disebut catur loka , bukan sekadar alas, tetapi cermin kosmos. Empat penjuru hadir di setiap sudutnya, mengingatkan bahwa Sang Hyang Widhi ada dalam setiap napas, detak hati, dan langkah manusia. Banten Peras bukan sekadar janur dan jajan. Ia adalah mikrokosmos yang tertata, mengajarkan manusia tentang hubungan antara Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Lebih dari itu, Banten Peras adalah simbol Purusa , roh yang menghidupkan tubuh, pikiran, dan hati manusia. Setiap elemen menjadi suara Purusa, menuntun manusia memahami diri, semesta, dan Tuhan. Fondasi dari persembahan ini adalah Tri Jñāna Sakti —tiga kerangka utama agama Hindu: Tattwa, Etika, dan Upacara. Tattwa adalah prinsip kosmik, kebenaran universal yang mengikat seluruh ciptaan. Etika adalah j...

Daun Beringin dalam Ritus Memukur: Simbol Kesadaran dan Pelepasan

  Daun Beringin dalam Ritus Memukur: Simbol Kesadaran dan Pelepasan Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba. Dalam jagat Hindu Bali, setiap upacara tidak pernah lepas dari simbol-simbol alam yang sarat makna. Salah satunya adalah pemakaian daun beringin dalam ritus memukur , sebuah prosesi yang menandai pelepasan roh leluhur menuju alam yang lebih tinggi, dari bhuwana alit menuju bhuwana agung, dari ikatan dunia menuju kebebasan mokṣa. Pohon beringin ( Ficus benjamina ), dalam banyak teks tattva, dimaknai sebagai lambang keteguhan dan perlindungan. Ia berdiri tegak dengan akar yang menghunjam ke bumi sekaligus menggantung dari udara, seolah menjembatani langit dan bumi. Karena itulah, dalam Siwa Tattwa disebutkan: “Wṛkṣa wringin prabhāwa Sang Hyang Siwa ring jagat, nyuhunaken teduh ring sarwa prani, mwang nira nika dadi panuntun ring atma tumut ring mokṣa.” (Pohon beringin adalah perwujudan Siwa di dunia, memberi keteduhan bagi seluruh makhluk, dan menjadi penuntun roh men...

“Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup” Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara

“Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup” Om Swastyastu Sejak menjejak bumi sudah berselimut Hindu, namun mengapa cahaya pengetahuan masih redup? Mengapa langkah spiritual berhenti pada tradisi, bukan kesadaran? Kita lahir dalam alunan mantra, dalam harum dupa, dalam gemerincing genta di pelataran pura. Dari kecil kita sudah diajak melangkah di jalur upacara. Tangan mungil kita digandeng ke bale banjar, ke merajan, ke pura desa. Kita diajari membuat canang sari, menata sesajen, menyusun janur, mengikat bunga, dan menyalakan dupa. Semua itu indah. Semua itu sakral. Namun, di balik keindahan itu, sering kali ada pertanyaan yang tidak terjawab: apa makna dari semua ini? Banyak dari kita tumbuh besar dengan rutinitas ritual, tetapi tidak pernah benar-benar diajak berdiskusi. Canang hanya menjadi persembahan wajib. Sembahyang hanya menjadi kewajiban adat. Upacara menjadi identitas budaya. Tetapi jiwa kita jarang disentuh oleh pengetahuan yang menghidupkan kesadaran. Pa...

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra

  Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra Di dunia yang bergerak semakin cepat, manusia makin sering memilih hidup mengikuti dorongan—keinginan, hasrat, insting. Segala sesuatu diukur dengan “apa yang aku mau”, bukan “apa yang seharusnya benar”. Dalam keramaian pikiran yang makin bising, ajaran suci sering kali ditinggalkan, diganti dengan nafsu yang menyamar menjadi kebutuhan modern. Padahal, ribuan tahun silam, Śrī Kṛṣṇa sudah mengingatkan lewat Bhagavad Gītā bab 16 śloka 23: yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim "Barang siapa meninggalkan petunjuk śāstra dan bertindak hanya menurut hawa nafsunya, ia tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak meraih kebahagiaan, dan tidak sampai pada tujuan tertinggi." Petunjuk yang Sering Terabaikan Śāstra bukan sekadar teks kuno. Ia adalah kompas moral yang menuntun manusia agar tidak tersesat dalam pusaran keinginan. Tetapi, saat manusia merasa “cukup pintar”, ia meningga...

Spiritualitas Palsu

Spiritualitas Palsu: Antara Ego dan Jalan Dharma Oleh    da Bagus Ngurah Semara Manuaba Dalam perjalanan rohani, banyak orang tergoda pada sesuatu yang tampak indah di permukaan, tetapi sesungguhnya menjauhkan jiwa dari dharma. Inilah yang bisa disebut spiritualitas palsu . Ia tidak lahir dari kesadaran murni ( satya ), melainkan dari getaran ego yang disamarkan dengan kata-kata manis dan simbol-simbol suci. Di Bali maupun dalam Hindu pada umumnya, spiritualitas yang sejati disebut sebagai adhyatmika margga —jalan ke dalam diri, menyatu dengan Atman. Namun di tengah era globalisasi, sering muncul fenomena "jalan singkat menuju pencerahan" yang tidak mengakar pada dharma. Ia berbicara tentang cahaya, tetapi silau oleh egonya sendiri. Ciri-ciri Spiritualitas Palsu Menurut Perspektif Hindu Monopoli Kebenaran Mereka berkata: “Kalau kamu tidak ikut metodenya, kamu belum sadar.” Dalam Hindu, kebenaran adalah aneka margga —banyak jalan menuju Tuhan. Itulah ...

“Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup”

  “Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup” Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Om Swastyastu Sejak menjejak bumi sudah berselimut Hindu, namun mengapa cahaya pengetahuan masih redup? Mengapa langkah spiritual berhenti pada tradisi, bukan kesadaran? Kita lahir dalam alunan mantra, dalam harum dupa, dalam gemerincing genta di pelataran pura. Dari kecil kita sudah diajak melangkah di jalur upacara. Tangan mungil kita digandeng ke bale banjar, ke merajan, ke pura desa. Kita diajari membuat canang sari, menata sesajen, menyusun janur, mengikat bunga, dan menyalakan dupa. Semua itu indah. Semua itu sakral. Namun, di balik keindahan itu, sering kali ada pertanyaan yang tidak terjawab: apa makna dari semua ini? Banyak dari kita tumbuh besar dengan rutinitas ritual, tetapi tidak pernah benar-benar diajak berdiskusi. Canang hanya menjadi persembahan wajib. Sembahyang hanya menjadi kewajiban adat. Upacara menjadi identitas budaya. Tetapi jiwa kita jarang disentuh oleh penget...

Banten Pisang Jati Pada Upacara Pengabenan

Banten Pisang Jati pada Upacara Pengabenan   IBN. 2004 (Makna Simbolik, Filosofis, dan Rujukan Sastra) Upacara Pitra Yadnya , khususnya Ngaben , merupakan jalan suci untuk mengantar atma (roh) kembali ke asalnya. Setiap perlengkapan yang dipakai dalam rangkaian ini memiliki makna simbolis yang dalam, bukan sekadar hiasan ritual. Salah satu sarana penting adalah Pisang Jati , atau yang dalam lontar disebut Adegan . Pisang Jati bukan hanya pohon pisang yang diletakkan di hulu sawa, tetapi perwujudan tattwa tentang tubuh, swadharma, dan pelepasan roh. Dalam Yama Purwwa Tattwa dijelaskan bahwa Adegan adalah tempat berstana sementara Panca Mahabhuta dari orang yang telah meninggal, sehingga ia menjadi simbol kehidupan manusia itu sendiri. Pisang Jati selalu dipersembahkan bersama banten tetukon . Dalam lontar Tuturan Gong Besi disebutkan: “Sang atma mwang sarira, asalipun ring panca mahabhuta, ikang sarira mapulang ring asalnya, atma lumaris ring swargaloka.” (Atma dan tub...