Langsung ke konten utama

Postingan

“Samkhya dan Fisika Kuantum: Satu Getaran di Dua Bahasa”

“Samkhya dan Fisika Kuantum: Satu Getaran di Dua Bahasa” Bayangkan sebuah ruang yang kosong, gelap, dan sunyi. Tidak ada angkasa, bumi, atau waktu. Dalam keheningan itu terdengar getaran pertama, sabda tanmātra , seperti bisikan lembut yang membelah kegelapan. Dari bisikan itu, lahirlah akasa (ruang), fondasi bagi seluruh ciptaan. Menurut filsafat Sāṃkhya , getaran pertama ini bukan sekadar suara, tapi benih energi yang cerdas, yang kemudian memunculkan gas, cahaya, air, dan tanah — lima elemen alam (panca mahābhūta). Konsep ini sejalan dengan temuan fisika kuantum, yang menyebutkan bahwa segala benda tersusun dari partikel kecil yang bergetar dan muncul dari ruang hampa. Perjalanan Elemen: Dari Ruang ke Bumi Getaran kosmis ini berevolusi menjadi lima elemen: 1. Ruang (Akasa) – benih getaran pertama. 2. Gas (Bayu) – bergerak, menari, membawa energi. 3. Cahaya/Panas (Teja) – muncul dari gas yang berputar, seperti matahari. 4. Air (Apah ) – mengalir, menyejukkan, menyatuk...
Postingan terbaru

Menjernihkan Sejarah Pura Tirta Empul Apuan

Menjernihkan Sejarah Pura Tirta Empul Apuan Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Artikel berjudul “Dengan Pemongmong Jro Mangku Srigati: Kisah Pura Tirta Empul Apuan” yang dibuat oleh KKN Universitas Pendidikan Nasional Denpasar bersama Humas Desa Apuan, patut diapresiasi karena telah berupaya memperkenalkan potensi spiritual dan kebudayaan Desa Apuan. Namun, agar pemahaman umat dan masyarakat luas tidak terjebak dalam kekeliruan historis, beberapa hal penting perlu diluruskan. Pertama, mengenai penyebutan bahwa Rsi Markandya pernah beryoga di Pura Tirta Empul Apuan pada masa pemerintahan Raja Tamanbali. Pernyataan ini tidak sesuai dengan fakta sejarah. Berdasarkan sumber epigrafis dan kajian arkeologi, Rsi Markandya hidup pada masa Dinasti Warmadewa, sekitar abad ke-10 Masehi, jauh sebelum masa pengaruh Majapahit. Sedangkan Raja Tamanbali adalah penguasa lokal yang hidup sekitar abad ke-17–18 Masehi. Jarak waktu di antara keduanya lebih dari tujuh abad, sehingga secara kr...

Makna Tattwa Banten Penyineban di Pura Dang Kahyangan Griya Sakti Manuaba, Apuan

Makna Tattwa Banten Penyineban di Pura Dang Kahyangan Griya Sakti Manuaba, Apuan Penyineban merupakan bagian penutup dari seluruh rangkaian piodalan di sebuah pura. Namun sesungguhnya, penyineban bukan sekadar menutup upacara, melainkan puncak dari siklus suci kembalinya seluruh kekuatan dewata ke asalnya — ke dalam kesunyian Brahman.  Dalam pemahaman tattwa, seluruh rangkaian piodalan mencerminkan perjalanan spiritual yang bermula dari suwung, muncul menjadi wujud, dan akhirnya kembali menyatu ke suwung, yang disebut Nirwigenam Brahman — Tuhan tanpa bentuk, tanpa atribut, namun menjadi sumber segala keberadaan. Penyineban di Pura Dang Kahyangan Griya Sakti Manuaba, Apuan, memiliki makna yang sangat dalam karena pura ini didirikan untuk memuliakan Ida Pedanda Sakti Manuaba sebagai Guru Loka, guru spiritual yang menuntun umat menuju kesadaran sejati. Dalam piodalan di pura ini terdapat beberapa pelinggih utama, yaitu Padmasana, Sanggar Surya (dibangun temporer saat pioda...

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi Ketika yadnya berubah jadi ajang pamer, suci pun kehilangan maknanya. Ada saat di mana yadnya tidak lagi menjadi persembahan, melainkan pertunjukan. Ketika dupa masih mengepul, tetapi hati justru terikat pada pujian dan gengsi. Padahal yadnya sejati bukanlah tentang seberapa besar banten yang dihaturkan, melainkan seberapa tulus hati yang mempersembahkan. Jika yadnya kehilangan kesucian niatnya, maka apa yang semestinya menjadi jalan menuju kebebasan bisa berubah menjadi jerat keterikatan baru. Hakikat Yadnya yang Sebenarnya Dalam kehidupan umat Hindu, yadnya sering dipahami sebagai inti dari dharma, sebab ia adalah wujud bakti dan rasa syukur manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun sejatinya, yadnya tidak hanya soal upacara, persembahan, atau besarnya banten yang dihaturkan. Ia adalah gerak kesadaran spiritual yang lahir dari hati yang suci. Dalam Bhagavad Gita Adhyaya XVII dijelaskan bahwa yadnya dibedakan menjadi tiga, sesuai ...

Bhisama Danghyang Nirartha Oleh: Semara Manua. IBN Dalam sejarah perjalanan suci penyebaran Dharma di Bali, nama Danghyang Nirartha bersinar bagaikan cahaya terang di tengah gelapnya zaman peralihan. Beliau bukan hanya seorang pendeta pengembara (dharmaduta), tetapi juga seorang revolusioner spiritual yang mewariskan ajaran mendalam, tertata dalam kesadaran, bukan kemegahan. Jejak beliau tidak hanya meninggalkan pura-pura suci dan karya sastra keagamaan, tetapi juga bhisama, yaitu wasiat suci yang ditujukan khusus kepada para keturunannya. Salah satu bhisama beliau yang paling dikenal adalah larangan memuja pratima — bentuk perwujudan Tuhan dalam arca, batu, atau benda fisik lainnya. Mengapa Pratima Tidak Diperkenankan? Bhisama ini bukanlah penolakan terhadap ajaran Hindu yang menerima pratima sebagai sarana pemujaan, melainkan penekanan pada kesadaran spiritual yang melampaui bentuk. Bagi keturunan Danghyang Nirartha, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Nirguna Brahman— Tuhan yang tak berbentuk, tak terdefinisi, dan hanya terjangkau melalui keheningan batin dan kejernihan jiwa. Oleh karena itu, pemujaan hanya diperkenankan di hadapan Padmasana, bukan pratima. Padmasana adalah simbol kesucian tertinggi, lambang kekosongan agung (sunya) sebagai tempat bersemayamnya Tuhan yang transenden, tanpa rupa dan tanpa wujud. Padmasana sebagai Wahana Kesadaran Murni Dalam ajaran beliau, Padmasana bukan sekadar pelinggih, melainkan tangga menuju pemahaman keesaan Tuhan. Di sinilah pembeda antara pemujaan berbasis simbol fisik (saguna) dan penyatuan kesadaran (advaita). Umat diajak untuk tidak terjebak pada wujud benda, tetapi melebur dalam vibrasi ilahi yang tak terbatas. Bhisama ini juga menegaskan bahwa keturunan beliau tidak diperbolehkan sembahyang di pura tanpa Padmasana, karena hanya Padmasana yang secara simbolis mengarah pada pemujaan Tuhan dalam wujud Nirguna. Makna Bhisama yang Mendalam Larangan ini mengandung ajaran halus namun dalam: 1. Tuhan tidak memerlukan perantara bentuk. 2. Persembahan tertinggi adalah kesadaran hening, hati tulus, dan pikiran terang — inilah yadnya yang utama. 3. Penolakan terhadap materialisme spiritual, di mana nilai kesucian sering diukur dari kemegahan upacara, bukan kebeningan jiwa. Di era konsumtif saat ini, bhisama ini menjadi pengingat: "Raga pinaka pratima, idep pinaka upacara"(Tubuh adalah pratima, pikiran suci adalah upacara). Melestarikan Warisan Kesadaran Bagi keturunan Danghyang Nirartha, mematuhi bhisama ini adalah: Penghormatan kepada leluhur sekaligus penjagaan kemurnian ajaran. -Jawaban atas modernitas yang penuh simbol dan formalitas, dengan mengajak kembali ke hakikat: Tuhan hadir dalam kesunyian dan kesadaran tak terucap. Penutup: Ajakan untuk Hidup dalam Kesadaran Warisan Danghyang Nirartha bukan sekadar doktrin, tetapi undangan untuk: Menempuh yadnya dalam keheningan batin. Memuja Tuhan dalam ketakterjangkauan-Nya, yang hanya bisa dipeluk oleh hati, bukan mata. "Dalam diam, kita menemukan-Nya; dalam kesadaran, kita menyatu dengan-Nya." ------

Bhisama Danghyang Nirartha Oleh: Semara Manua. IBN Dalam sejarah perjalanan suci penyebaran Dharma di Bali, nama  Danghyang   Nirartha  bersinar bagaikan cahaya terang di tengah gelapnya zaman peralihan. Beliau bukan hanya seorang pendeta pengembara ( dharmaduta ), tetapi juga seorang revolusioner spiritual yang mewariskan ajaran mendalam, tertata dalam  kesadaran , bukan kemegahan. Jejak beliau tidak hanya meninggalkan pura-pura suci dan karya sastra keagamaan, tetapi juga  bhisama , yaitu wasiat suci yang ditujukan khusus kepada para keturunannya. Salah satu bhisama beliau yang paling dikenal adalah larangan memuja  pratima  — bentuk perwujudan Tuhan dalam  arca ,  batu , atau  benda fisik  lainnya.  Mengapa Pratima Tidak Diperkenankan ? Bhisama ini bukanlah penolakan terhadap ajaran Hindu yang menerima pratima sebagai sarana pemujaan, melainkan penekanan pada  kesadaran spiritual yang melampaui bentuk. ...

Dari Dogma ke Spiritualitas

Dari Dogma ke Spiritualitas Sejak awal peradaban, manusia selalu dihantui oleh pertanyaan yang sama: dari mana kita berasal, mengapa kita ada, dan ke mana kita akan kembali. Agama hadir sebagai jawaban awal, sebuah percobaan untuk mengisi kekosongan itu. Ia menyajikan cerita tentang penciptaan, tentang Tuhan, tentang keteraturan semesta, dengan bahasa yang sederhana namun menenangkan hati. Namun, seiring waktu, sains masuk membawa jawaban yang lebih konsisten, lebih teruji, meski sering kali terasa dingin dan rumit. Sains berbicara dengan angka, rumus, dan teori yang kadang sulit dipahami. Agama, sebaliknya, berbicara dengan simbol, cerita, dan harapan. Seperti rasa manis yang tetap dicari meskipun dianggap kurang sehat, agama bertahan karena memberi kenyamanan. Ia membuat manusia merasa tidak sendirian, memberi ruang untuk berharap, bahkan menjadi semacam candu yang menenangkan. Di masa depan, mungkin agama tidak lagi diperlakukan sebagai kebenaran mutlak yang bersaing den...

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya”

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya” Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M. Pawiwahan dalam tradisi Bali adalah salah satu puncak kehidupan spiritual dan sosial. Ia bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan ikatan batin yang disertai restu leluhur dan doa bersama masyarakat. Dalam pawiwahan, manusia mempersembahkan yadnya kepada Sang Hyang Widhi, leluhur, dan masyarakat sekitarnya. Karena itu, pawiwahan disebut suci, penuh makna, dan sarat simbol. Ia bukan perayaan pribadi, melainkan momentum kolektif yang mengikat rasa kebersamaan. Sejak dahulu, undangan dalam pawiwahan bukanlah formalitas kosong. Ketika seseorang datang membawa undangan, ia membawa niat tulus, senyum ramah, dan sapaan hangat. Undangan adalah pengikat sosial yang memelihara tali persaudaraan. Ia hadir sebagai ajakan untuk berbagi doa, bukan sekadar mengisi daftar hadir. Dalam budaya Bali, undangan lebih dari sekadar kertas—ia adalah wujud keterhubungan hati. Namun kini, angin per...