Sabtu, 09 November 2024

"Pro dan Kontra Keikutsertaan Sulinggih dalam Asuransi Ketenagakerjaan"

Secara etis, pandangan tentang keikutsertaan seorang sulinggih dalam asuransi BPJS memang dapat menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, karena sulinggih adalah pemuka agama yang menjalankan tugas spiritual dan dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, ada kekhawatiran bahwa hal tersebut bisa memengaruhi persepsi mengenai kesucian atau pengabdian beliau. Sebagian pihak mungkin merasa bahwa asuransi lebih sesuai untuk pekerja pada umumnya dan tidak sejalan dengan peran suci sulinggih yang berfokus pada dharma dan pelayanan spiritual.

Namun, di sisi lain, ada juga pandangan bahwa mengikuti asuransi ketenagakerjaan seperti BPJS bukanlah tindakan yang mengurangi kesucian beliau, melainkan sebagai bentuk perlindungan untuk keselamatan fisik dan kesejahteraan. Dengan adanya jaminan perlindungan ini, seorang sulinggih dapat tetap menjalankan peran dan tanggung jawab spiritualnya dalam kondisi yang lebih aman dan sehat, yang pada akhirnya memberikan manfaat kepada masyarakat yang dilayani.

Oleh karena itu, dari segi etika, keikutsertaan seorang sulinggih dalam BPJS dapat dipandang sesuai atau tidak tergantung pada sudut pandang dan pemaknaan nilai-nilai spiritual serta kebutuhan perlindungan yang dianggap relevan untuk beliau.
Pandangan bahwa sulinggih sebaiknya tidak diikutsertakan dalam hal-hal "duniawi" seperti asuransi atau pekerjaan formal sebenarnya berakar pada pemahaman bahwa sulinggih menjalani kehidupan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Sebagai pemuka agama yang menjalankan tugas spiritual, sulinggih dipandang sebagai sosok yang sepenuhnya mengabdikan diri pada dharma—kewajiban suci dalam menjaga keseimbangan spiritual bagi umat dan alam semesta.

Namun, jika kita melihatnya dari sisi lain, Tuhan yang Maha Agung sekalipun "bekerja" untuk menciptakan, memelihara, dan memusnahkan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Seperti yang diyakini dalam Hindu, Tuhan selalu aktif dalam mengatur alam semesta. Tanpa campur tangan-Nya, dunia akan hancur. Prinsip ini juga bisa dijadikan landasan bahwa kerja atau keterlibatan dalam hal tertentu, termasuk asuransi atau perlindungan sosial, bukanlah hal yang mengurangi kesucian, asalkan tujuannya adalah kebaikan dan pengabdian.

Jika sulinggih didaftarkan dalam BPJS atau asuransi lainnya, hal tersebut tidak mengubah kesucian beliau karena tidak berkaitan langsung dengan tugas keagamaan atau spiritual beliau. Asuransi dalam hal ini hanya berfungsi sebagai perlindungan kesehatan atau keselamatan fisik, yang pada akhirnya membantu beliau menjalankan tugas spiritual dengan lebih baik. Perlindungan sosial juga tidak mengurangi dedikasi beliau kepada Tuhan dan masyarakat. Malahan, ini bisa dianggap sebagai dukungan bagi beliau untuk menjaga kesejahteraan jasmani, agar tugas spiritual yang beliau emban bisa dilakukan dalam kondisi kesehatan yang baik dan aman.

Jadi, bila diartikan secara mendalam, konsep kerja atau partisipasi dalam asuransi atau perlindungan sosial untuk sulinggih bukanlah bentuk kerja "duniawi" yang merendahkan atau mengurangi kesucian beliau. Selama hal tersebut tidak mengubah niat dan pengabdian beliau kepada Tuhan dan umat, serta digunakan untuk menjaga kondisi fisik beliau dalam menjalankan dharma, maka hal tersebut dapat dianggap selaras dengan nilai-nilai spiritual.

Ida Bagus Ngurah Semara.


Sabtu, 11 Mei 2024

Bangli..bersama tim diksapariksa PDPN. Cabang Bangli.

Diksa Pariksa.
Diksa Pariksa pada dasarnya adalah proses administratif untuk mencatat calon diksita di pemrintah, bukan untuk menguji atau menyudutkan mereka. Namun, dalam prakteknya, proses ini dapat menimbulkan paradoks karena tidak adanya sekolah formal untuk menjadi sulinggih. Sulinggih dibentuk melalui bimbingan dan inisiasi dari seorang guru spiritual atau nabenya. Oleh karena itu, pengujian calon diksita bisa terlihat paradoksal karena pertanyaan yang diajukan mungkin tidak selalu relevan dengan aspek spiritual atau kualifikasi yang sebenarnya malahan ada kecendrungan mempersulit seseorang untuk menjadi seorang sulinggih.

Ritual Surya Sewana dari Sudut Pandang Kesehatan


Saat matahari naik di langit, Wiku yang tinggal di Bali, mempersiapkan diri untuk menjalani puja surya sewana. 
Dengan penuh kesederhanaan, bliau melepaskan pakaian/baju yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan sinar matahari menyentuh kulit bliau langsung saat bliau berada duduk di tengah piyasan  
Puja surya sewana dilakukan saat fajar menyingsing di ufuk timur, di mana keindahan alam menyatu dengan ritual spiritual, membiarkan sinar matahari meresap ke dalam tubuh bliau tanpa penghalang. 
Dari sudut pandang medis, keputusannya untuk tidak memakai baju saat melakukan ritual ini memiliki manfaat yang signifikan. Tanpa penghalang pakaian/baju, sinar matahari langsung dapat menembus kulitnya, merangsang produksi vitamin D dalam tubuh bliau. Vitamin D adalah nutrisi penting yang memainkan peran vital dalam menjaga kesehatan tulang, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan mendukung fungsi tubuh lainnya.

Dengan memperoleh paparan sinar matahari yang cukup selama puja surya sewana, bliau secara alami mengoptimalkan kesehatan tulangnya dan memperkuat pertahanan tubuhnya terhadap penyakit. Selain itu, keputusannya untuk berada di bawah sinar matahari langsung juga dapat membantu dalam mengatur siklus tidur-bangun bliau. 
Paparan sinar matahari di pagi hari membantu mengaktifkan hormon-hormon dalam tubuh yang berperan dalam mengatur ritme sirkadian, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas tidur pada umumnya.

Meskipun bagi sebagian orang praktik seperti ini mungkin terdengar tidak konvensional, dari sudut pandang medis, keputusan bliau untuk tidak memakai busana baju saat melakukan puja surya sewana adalah tindakan yang sangat bijaksana untuk menjaga kesehatan tubuh bliau, dan mungkin juga salah satu penyebab yang membuat bliau berumur panjang.
Dengan penuh rasa hormat terhadap kearifan lokal dan spiritualitasnya, bliau menemukan harmoni antara tradisi dan kesehatan tubuh bliau.

Ida Bagus Ngurah Semara M.

Memahami Lima Aspek Kunci untuk Kesuksesan Upacara Yadnya.

Dalam agama Hindu Bali, pemimpin upacara atau yang sering disebut sebagai yajamana memiliki peran yang sangat penting dan harus memenuhi beberapa kriteria pengetahuan khusus agar dapat melaksanakan upacara yadnya dengan benar. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai lima aspek yang harus dipahami oleh seorang pemimpin upacara dalam Hindu Bali:

1. Kala/Sang Waktu : Yajamana sudah mengerti tentang penentuan waktu yang baik untuk melakukan upacara yadnya, yang disebut dengan 'kala'. Kala ini sangat penting karena setiap aktivitas memiliki waktu yang paling tepat untuk dilaksanakan agar hasilnya maksimal dan harmonis dengan alam semesta. Acuan dalam menentukan kala ini adalah dengan memahami 'wariga', yaitu sistem kalender Bali yang menggabungkan aspek astronomi dan astrologi.

2. Bhuta/Tempat : Pemilihan tempat untuk pelaksanaan upacara juga sangat kritis. Tempat upacara bisa berbeda-beda tergantung pada jenis yadnya yang akan dilakukan. Misalnya, upacara bisa dilakukan di rumah, di pura (tempat suci), atau di tempat usaha, di crematorium, diperumahan, Yajamana harus bisa menentukan lokasi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan spiritual dari upacara tersebut.

3. Mengerti tentang Pembutan Upakara : Dalam melaksanakan upacara, yajamana  mengerti cara membuat bebantenan atau persembahan yang akan digunakan. Bebantenan ini harus disiapkan sesuai dengan aturan dan simbolisme yang mendalam dalam Hindu Bali. Pemahaman ini diperlukan agar setiap elemen dalam upacara dapat memberikan efek yang diharapkan.

4. Mengerti tentang Puja Mantr : Mantra yang dibacakan selama upacara harus sesuai dengan jenis yadnya yang dilakukan. Setiap mantra memiliki makna dan kekuatan spiritual tertentu. Yajamana semestinya menguasai mantra-mantra ini dan cara pengucapannya yang benar untuk memastikan bahwa upacara dapat berlangsung dengan sakral.

5. Palelubangan (Evaluasi) : Setelah upacara selesai, yajamana harus melakukan evaluasi yang disebut dengan palelubangan. Evaluasi ini mencakup refleksi atas jalannya upacara dan pengaruhnya terhadap kehidupan orang-orang yang terlibat. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah upacara tersebut telah memberikan dampak positif atau negatif, dan apa yang bisa diperbaiki untuk upacara selanjutnya.

Pemahaman mendalam tentang kelima aspek ini sangat vital untuk yajamana dalam memimpin upacara yadnya yang tidak hanya ritualistis tetapi juga  memiliki dampak spiritual yang mendalam bagi semua yang terlibat.

Ida Bagus Ngurah Semara.

Pura Dang Kahyangan Geria Sakti Manuaba, Apuan Susut Bangli.

Cikal Bakal Berdirinya Pura Dang Kahyangan Geria Sakti Manuaba,, di Desa Apuan Bangli.

Pada  abad ke 18, di sisi utara desa Manuaba Tegallalang, sebuah pesraman tegak megah berdiri di atas bukit, menjadi tempat kediaman bagi seorang tokoh spiritual yang sangat dihormati, yaitu Ida Pedanda Sakti Manuaba. Keberadaan pesraman ini tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi sang Pedanda, tetapi juga menjadi pusat kegiatan spiritual dan pembelajaran bagi masyarakat setempat.

Semuanya berawal dari sebuah keberhasilan besar yang diraih oleh Pedanda Sakti Manuaba. Beliau berhasil membangun sebuah bendungan yang mengubah wajah tanah tegalan menjadi lahan persawahan yang subur. Dari situlah, masyarakat Desa Manuaba, yang terdiri dari tujuh banjar, mulai merasakan kemajuan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Lahan persawahan yang subur memberikan hasil yang melimpah, meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan.

Pada suatu hari, di tengah kesibukannya membimbing masyarakat, Pedanda Sakti Manuaba merasa terpanggil untuk mengunjungi sepupunya yang tinggal di Puncak Manik, sebuah daerah indah di perbukitan Gianyar. Dengan langkah tegap, beliau memutuskan untuk berjalan kaki melewati desa Petak. Saat melintasi sungai yang memisahkan desa-desa tersebut, beliau terpesona oleh keindahan alam yang memukau di seberang sungai.

Ternyata, tempat yang dilihatnya adalah Desa Apuan, sebuah perbukitan kecil yang dikelilingi oleh aliran sungai dan hutan-hutan hijau. Suasana damai dan penuh keindahan membuat hati Pedanda Sakti Manuaba merasa nyaman. Kicauan burung-burung di sana seolah-olah menyambutnya dengan hangat, dan masyarakat Desa Apuan dengan penuh hormat mengadap beliau untuk meminta petunjuk spiritual dan bimbingan dalam mengatasi tantangan kehidupan mereka.

Melihat pola perumahan tradisional "Nabuan" atau Pondokan yang masih dominan di Desa Apuan, Pedanda Sakti Manuaba memberikan saran kepada penduduk setempat untuk membangun perumahan dengan pola "Jejer Wayang", serta mengembangkan lahan datar dan subur menjadi sawah menggunakan sistem Subak yang sudah terbukti efektif dan lahan yang kurang subur dijadikan tempat tinggal. Saran tersebut disambut dengan antusias oleh masyarakat dan pemimpin mereka, Gusti Ngurah Jelantik, seorang keturunan Raja Blahbatuh, bersama istrinya yang bernama Nini Pecuit. Dengan tekad dan kerja keras, mereka berhasil mencetak sawah-sawah baru yang subur.

Dengan bimbingan dan ajaran Pedanda Sakti Manuaba, Desa Apuan semakin berkembang dan maju. Untuk menghormati jasanya, masyarakat Desa Apuan membangun sebuah pura yang diberi nama "Pura Dangkahyangan Geria Sakti Manuaba", di tempat di mana sang pedanda pertama kali menapaki tanah Desa Apuan. Pura tersebut menjadi tempat suci yang menjadi sumber kebijaksanaan dan ketenangan bagi masyarakat sekitar, dan juga tempat pemujaan bagi Pedanda Sakti Manuaba yang dianggap sebagai guru loka susuhunan jagat, pemberi cahaya, dan petunjuk bagi mereka yang membutuhkan.

Ida Bagus Ngurah Semara M.