Adat sebagai Pagar, Agama sebagai Cahaya: Mencari Keseimbangan yang Hilang Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Dalam kebijaksanaan leluhur yang sunyi namun dalam, agama diturunkan bukan untuk memberatkan manusia, melainkan sebagai cahaya. Ia hadir sebagai penuntun batin, menerangi jalan kesadaran, memberi arah agar manusia tidak tersesat di tengah riuh dunia. Bersamaan dengan itu, lahirlah adat sebagai pagar—bukan untuk menutup cahaya, melainkan untuk menjaganya agar tetap menyinari kehidupan bersama, selaras dengan ruang, waktu, dan keadaan yang senantiasa berubah. Sejak awal, keduanya tidak pernah dimaksudkan untuk saling menundukkan. Agama memberi makna dan nilai universal, sementara adat mengatur cara nilai itu hidup dalam keseharian masyarakat. Keduanya adalah dua sisi dari kehidupan yang bermartabat: cahaya yang menerangi dan pagar yang melindungi. Namun, dalam perjalanan waktu, terjadi pergeseran yang nyaris tak terasa. Adat yang sejatinya berfungsi sebagai pagar p...
Kala di Apit Lawang dan Aling-Aling: Tatwa yang Sering Terlupa Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Dalam tatanan arsitektur dan niskala Bali, apit lawang dan aling-aling bukanlah sekadar elemen bangunan atau estetika tradisi. Keduanya adalah ruang peralihan, ruang rawan, sekaligus ruang kerja Kala. Di sanalah energi luar dan dalam bertemu, bersilang, lalu ditata agar tidak saling melukai. Karena itu, memahami Kala di apit lawang dan aling-aling tidak bisa diletakkan pada logika pemujaan, melainkan pada kesadaran akan keseimbangan. Kala dalam ajaran Hindu Bali bukan pribadi yang dipuja seperti Dewa, melainkan hukum waktu dan energi kosmis yang bekerja pada batas-batas. Ia hadir ketika ada perubahan, peralihan, pintu, dan persimpangan. Apit lawang adalah mulut ruang, mukha bhuwana, tempat keluar-masuknya pengaruh desa, manusia, dan alam. Di titik inilah bekerja dua aspek Kala yang dikenal dalam pakem undagi dan tradisi lisan Bali, yaitu Kala Jaba dan Kala Dalem. Kala J...