Mengubah
Alam Semesta untuk Menemukan Kekosongan
Dalam tradisi spiritual Hindu Bali, terdapat sebuah ungkapan yang
memuat makna mendalam, yaitu: "Ubah alam semesta sampai kau temukan
kekosongan." Ungkapan ini mengajak umat Hindu untuk merenungkan
hakikat alam semesta dan realitas hidup yang tampaknya nyata, namun
sesungguhnya merupakan cerminan dari pemahaman yang lebih dalam tentang konsep
kekosongan (Sunyata). Kekosongan, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang
kosong atau nihil, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu tidak
terikat oleh definisi atau pemikiran yang membatasi.
Kekosongan dalam Pandangan Hindu Bali
Di Bali, konsep kekosongan dapat dipahami melalui ajaran Trikita
Karana, yang merujuk pada tiga penyebab atau prinsip utama yang mengatur
kehidupan: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar sesama
manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam dan lingkungan). Ajaran ini
memberikan panduan untuk hidup yang seimbang dan harmonis. Namun, di balik
penerapan prinsip-prinsip ini, terdapat suatu kesadaran yang lebih dalam
mengenai realitas yang sebenarnya.
Kekosongan, dalam pengertian ini, merujuk pada konsep Sunyata dalam
filosofi Hindu, di mana segala sesuatu dianggap tidak memiliki esensi tetap.
Segala objek, fenomena, dan bahkan ide-ide yang kita temui dalam kehidupan
sehari-hari bersifat sementara, berubah, dan tidak memiliki substansi yang
kekal. Dalam konteks Trikita Karana, pemahaman tentang kekosongan ini
mengajarkan untuk tidak terjebak pada ilusi atau kesan bahwa segala sesuatu
adalah tetap atau abadi. Sebaliknya, kita diajak untuk menyadari bahwa realitas
ini adalah sebuah proses yang selalu berubah, dan hanya dengan pemahaman ini
kita bisa mencapai kedamaian batin dan kebijaksanaan.
Mengubah Alam Semesta
Ungkapan "ubah alam semesta sampai kau temukan
kekosongan" mencerminkan gagasan bahwa transformasi batin kita—atau
perubahan pandangan terhadap dunia—adalah kunci untuk memahami kebenaran yang
lebih tinggi. Alam semesta bukanlah sesuatu yang statis; ia senantiasa dalam
keadaan perubahan, seperti halnya tubuh kita, perasaan kita, atau bahkan cara
kita berpikir. Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kekosongan,
kita harus mengubah cara kita memandang dunia ini.
Ini bisa dimulai dengan mengenali bahwa semua fenomena di sekitar
kita—baik itu manusia, objek, atau peristiwa—merupakan manifestasi dari energi
yang terus bergerak dan berubah. Apa yang kita sebut sebagai "kekosongan"
bukanlah kekosongan dalam arti harfiah, melainkan suatu keadaan di mana kita
tidak terikat pada bentuk, pemikiran, atau emosi tertentu. Dalam ajaran Trikita
Karana, ini berarti kita belajar untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
(Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam semesta (Palemahan) tanpa
keterikatan pada bentuk atau identitas yang terbatas.
Pertanyaan dalam Geguritan Tatam: "Apa
Isinya Kosong Itu?"
Dalam salah satu bagian dari geguritan tatam (puisi tradisional
Bali), terdapat sebuah pertanyaan mendalam yang berbunyi, "Apa isinya
kosong itu?" Pertanyaan ini merujuk pada pencarian makna di balik konsep
kekosongan. Dalam geguritan tersebut, jawaban yang diberikan adalah bahwa
"isinya kosong itu adalah pikiran."
Jawaban ini sangat relevan dengan ajaran Hindu Bali, terutama dalam
konteks kekosongan. Pikiran, yang merupakan pusat dari kesadaran kita,
seringkali terjebak dalam ilusi dan keterikatan pada objek duniawi. Pikiran
kita cenderung terfokus pada hal-hal yang tampak nyata, padahal hakikatnya
semuanya bersifat sementara. Dengan memahami bahwa "isinya kosong itu
adalah pikiran," kita diajak untuk melepaskan keterikatan pada
pikiran-pikiran yang membatasi dan mengarah pada penderitaan.
Dalam ajaran Trikita Karana, pengendalian pikiran adalah bagian
penting dari pencapaian keseimbangan hidup. Ketika kita dapat memahami bahwa
pikiran itu sendiri adalah kosong, kita dapat lebih mudah untuk melepaskan diri
dari kebingungannya dan menyadari bahwa segala sesuatu yang kita anggap nyata
atau tetap hanyalah hasil dari proses mental yang terus berubah. Ini adalah
langkah penting menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kekosongan dalam
kehidupan kita.
Menghubungkan Kekosongan dengan Simbol-Simbol
dalam Hindu Bali
Dalam tradisi Hindu Bali, konsep kekosongan ini tidak hanya
terwujud dalam ajaran filosofis, tetapi juga tercermin dalam simbol-simbol
penting yang memiliki makna mendalam, seperti bebantenan (sesajen), candi
sastra (prasasti dan simbol-simbol dalam sastra), pura (tempat suci), dan
pralingga (arca atau patung-patung suci). Masing-masing simbol ini
menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama, serta menuntun
kita untuk menyadari kekosongan dalam hidup yang tidak terikat pada bentuk atau
substansi.
1. Bebantenan (Sesajen)
Bebantenan adalah simbol dari persembahan atau pengorbanan yang
dilakukan oleh umat Hindu untuk menghormati Tuhan dan berbagai entitas
spiritual lainnya. Sesajen ini sering kali terdiri dari berbagai macam bahan
yang terbentuk dalam bentuk yang sangat terstruktur dan estetis. Namun, di
balik semua bentuk tersebut, terdapat makna bahwa sesajen itu sendiri tidak
mengikatkan kita pada bentuk yang ada. Ia mengajarkan kita untuk melihat bahwa
yang sebenarnya dihormati bukanlah bentuk fisik atau materi dari sesajen itu,
melainkan niat dan kesadaran yang melampaui bentuk tersebut. Inilah gambaran
kekosongan, di mana segala sesuatu tidak terikat pada rupa atau simbol,
melainkan pada kedalaman niat dan kesadaran batin.
2. Candi Sastra (Prasasti dan Simbol dalam
Sastra)
Candi sastra, sebagai prasasti dan karya sastra dalam tradisi Hindu
Bali, mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar bentuk fisik atau
tulisan yang terpahat. Prasasti atau karya sastra ini sering kali berisi ajaran
spiritual yang mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi tentang Tuhan, alam,
dan kehidupan. Candi sastra mengajak kita untuk melihat melampaui bentuk teks
atau prasasti yang terlihat, menuju inti ajaran yang mengarah pada pemahaman
kekosongan. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami bahwa bentuk fisik
hanyalah medium, sementara makna sejati terletak pada ajaran dan hikmah yang
terkandung di dalamnya.
3. Pura (Tempat Suci)
Pura, sebagai tempat suci dalam tradisi Hindu Bali, adalah simbol
dari hubungan antara manusia dan Tuhan. Pura adalah tempat di mana umat Hindu
melakukan ritual dan sembahyang, namun esensi dari pura tidak terletak pada
struktur bangunannya, melainkan pada kekosongan spiritual yang memungkinkan
kita untuk berhubungan dengan Tuhan. Pura mengingatkan kita bahwa meskipun
bentuk fisik dari pura adalah penting sebagai tempat ibadah, yang sebenarnya
mendalam adalah hubungan spiritual yang melampaui batasan fisik dan bentuk
luar. Pura dengan segala ritualnya mengarah pada pemahaman kekosongan, yaitu
kesadaran bahwa ruang dan waktu adalah relatif, dan yang abadi adalah hubungan
batin dengan Tuhan.
4. Pralingga (Arca atau Patung-Patung Suci)
Pralingga, seperti Barong, arca, atau patung-patung lainnya dalam
tradisi Hindu Bali, adalah simbol-simbol yang digunakan untuk mewujudkan atau
menggambarkan entitas spiritual dalam bentuk fisik. Namun, seperti halnya
bebantenan dan pura, pralingga mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada
bentuk fisiknya. Arca dan patung-patung ini bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi
sebagai representasi atau media untuk menghubungkan umat dengan kekuatan yang
lebih tinggi. Mereka mengingatkan kita bahwa semua bentuk adalah relatif dan
tidak kekal. Kekosongan yang terkandung dalam ajaran ini mengajarkan kita bahwa
yang paling penting adalah hubungan batin kita dengan Tuhan, bukan pada benda
atau patung itu sendiri.
Kesimpulan
Ajaran Hindu Bali, melalui ungkapan "ubah alam semesta
sampai kau temukan kekosongan," mengajak kita untuk menyelami hakikat
hidup yang lebih dalam. Melalui pemahaman tentang kekosongan yang terkandung
dalam ajaran Trikita Karana, kita diajak untuk melihat dunia tanpa keterikatan
pada definisi atau konsep yang membatasi. Kekosongan bukanlah hal yang perlu
dihindari, melainkan suatu kondisi yang memungkinkan kita untuk melepaskan diri
dari penderitaan dan menemukan kebijaksanaan sejati dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengubah pandangan kita terhadap alam semesta, kita akan lebih dekat
pada pemahaman yang lebih tinggi tentang diri kita, Tuhan, dan dunia ini.
IBN. Semara
M.