Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Cinta Yang Menyamar

  Narsisis: Cinta yang Menyamar, Kuasa yang Bersembunyi Jalan Dharma di Tengah Jerat Ego Oleh : IBN Semara M. Pendahuluan: Cinta yang Membawa Luka Cinta, dalam ajaran Hindu, adalah salah satu ekspresi tertinggi dari kehendak Ilahi. Ia hadir bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai laku. Sebagai jembatan yang menghubungkan dua jiwa dalam rangka pelaksanaan dharma, pertumbuhan karma, dan menuju puncak moksha—kebebasan batiniah. Namun, tak semua yang datang dalam rupa cinta benar-benar berasal dari tempat suci. Tak semua yang terlihat lembut itu tulus. Ada cinta yang menyamar. Ada kasih yang ternyata adalah jerat. Dan dalam dunia batin manusia, salah satu bentuk cinta palsu paling licik adalah cinta dari seorang narsisis. 1. Wajah Narsisisme: Ketika Cinta Menjadi Topeng Seorang narsisis bukan sekadar pribadi yang bangga pada diri sendiri. Narsisme adalah luka batin yang dibungkus topeng keagungan. Mereka tampak percaya diri, menyenangkan, bahkan memukau. Namun di balik s...

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba   Nafas Yadnya di Dalam Diri Kadang kita merasa, yadnya adalah sesuatu yang besar, megah, dan penuh asap dupa yang membumbung ke langit. Kita membayangkannya sebagai upacara, sesajen, bebantenan, mantra, dan serangkaian ritual di pelataran suci. Namun sesungguhnya, yadnya bukan hanya sesuatu yang dilakukan tangan, tetapi juga yang diam-diam tumbuh dari kesadaran. Ia bukan sekadar persembahan luar, tapi lebih dalam lagi—persembahan batin kepada kehidupan. Yadnya bukan hanya ritual. Ia adalah cara semesta mengajarkan manusia untuk hidup dalam ketulusan, pengorbanan tanpa pamrih, dan cinta yang tidak meminta balasan. Ia ada dalam senyum seorang ibu saat menanak nasi, dalam peluh seorang petani yang tak henti mencangkul sawahnya. Dalam diam seorang guru yang terus mengajar walau tak pernah dimuliakan. Yadnya bukan hanya persembahan kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama, kepada alam...

Semesta sebagai Tuhan, Manusia sebagai Pantulan-Nya

Hawking dan Hindu: Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas   (Ekspansi Artikel oleh Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba dengan Penambahan Perspektif Kontemporer)   Paradoks Penciptaan dalam Sains dan Vedanta Ketika Stephen Hawking menyatakan bahwa _"hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan"_, ia sebenarnya mengulang pertanyaan yang telah diajarkan dalam  Nasadiya   Sukta (Rigved10.129)  3.000 tahun lalu:   > _"Apakah ada 'ketiadaan' atau 'keberadaan' di awal? Bahkan para dewa tidak tahu, karena mereka lahir setelah penciptaan."_     Perbedaan mendasar:   -  Sains Barat Modern : "Ketiadaan" = vakum kuantum (ruang tanpa materi tetapi berisi energi fluktuatif).   -  Hindu Dharma : "Ketiadaan" =  Nirguna Brahman  (realitas non-dual tanpa atribut), yang dalam  Mandukya   Upanishad  disebut sebagai _"Turiya"_ - keadaan kesadaran melampaui ti...
Suara yang Tak Pernah Padam Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.   Pengetahuan Abadi tentang Hakikat Hidup Langit malam di tepi Sungai Sarasvati memantulkan gemintang seperti kepingan api yang abadi. Di sana, ribuan tahun silam, para Rsi mendengar Sruti—bisikan alam semesta yang terangkum dalam Veda. Bukan sekadar kata-kata, melainkan ilmu yang tak lekang zaman. "Na jāyate mriyate vā kadācin…" (Ia tak lahir, tak mati, tak berawal, tak berakhir…) Kalimat itu menggema dalam gelap, menjawab pertanyaan paling purba: Siapa kita sebenarnya?   Sang Atma – Penjelajah Kekal Awan tebal menyelimuti gunung ketika Rsi Vyasa berbisik kepada muridnya: "Kau bukanlah tubuh ini. Kau adalah atma—roh yang abadi, hanya berpakaian daging dan tulang untuk sementara. Seperti baju yang kau ganti, kau pun akan mengenakan kehidupan demi kehidupan…" Sloka Bhagavad Gita 2.20 mengukirnya dalam bahasa suci: "Ia tak pernah lahir, tak akan...

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Sastra

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra Oleh : IBN Semara M. Di dunia yang semakin bergerak cepat, manusia makin terbiasa hidup mengikuti dorongan—keinginan, hasrat, insting. Segala sesuatu ditentukan oleh "apa yang  aku suka ", bukan " apa yang benar".  Dalam ruang batin yang makin kebisingan, ajaran suci perlahan ditinggalkan, digantikan oleh  nafsu  dan  ambisi  yang menyamar menjadi kebutuhan modern. Padahal, dalam Bhagavad Gītā bab 16 śloka 23, Śrī Kṛṣṇa dengan sangat tegas memberi peringatan: yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim "Barang siapa meninggalkan petunjuk śāstra dan bertindak semata-mata menurut hawa nafsunya, ia tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak meraih kebahagiaan, dan tidak sampai pada tujuan tertinggi." Inilah suara kebenaran yang telah bergema sejak ribuan tahun lalu. Suara yang kini semakin jarang didengar. Jalan Yang Ditinggalkan Kata " śāstra-vidhi " berarti ...

Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas

Hawking dan Hindu: Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba "Yang jauh di luar galaksi itu sama dengan yang dekat dalam napasmu." Di era modern, ketika teleskop menembus kegelapan semesta dan fisikawan menelusuri asal-usul segala yang ada, nama Stephen Hawking menjulang sebagai ikon sains yang mencoba memecahkan misteri penciptaan. Namun siapa sangka, pemikiran-pemikiran Hawking tentang asal-usul alam semesta justru menggema kembali dalam kidung-kidung suci Weda yang telah berusia ribuan tahun. Ketika “Ketiadaan” Jadi Pintu Masuk Penciptaan Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa "hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan. " Sebuah kalimat yang bagi banyak ilmuwan terdengar revolusioner —tetapi bagi umat Hindu , ini adalah pengulangan dari pertanyaan yang telah diajukan dalam Nasadiya Sukta dari Rigveda (10.129 ): Nasadiya Sukta (Nāsadīya Sūkta) adalah himne ...

Pengendalian diri dan kesederhanaan hidup

Padmasana dan Medan Kuantum: Menyatu dengan Kekosongan Suci dalam Hindu Bali Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba > "Yad Bhāvam Tad Bhavati" – Sebagaimana pikiranmu, demikianlah realitamu terjadi. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Pendahuluan: Jalan Menuju Takdir melalui Kesadaran Dalam tradisi Hindu Bali, hidup bukan sekadar rentetan peristiwa lahiriah, melainkan cerminan dari apa yang terjadi di dalam batin manusia. Pikiran bukan hanya alat berpikir, tetapi kekuatan pencipta. Kata-kata bukan sekadar getaran vokal, tetapi mantram yang bisa mengguncang semesta. Dan kesadaran bukan hanya pengamat, tetapi energi yang mampu merancang realita. Kini, dalam era modern, sains kuantum datang untuk membuktikan ulang apa yang telah diajarkan oleh para rsi ribuan tahun silam. Bahwa realita tidak sesederhana materi, dan bahwa di balik bentuk-bentuk lahiriah, ada kekosongan suci yang justru merupakan sumber dari segala sesuatu. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri keterkaita...

Lingga‑Yoni dan Caduceus: Simbolisme Kosmik dan Energi Kehidupan

Lingga‑Yoni dan Caduceus: Simbolisme Kosmik dan Energi Kehidupan   Oleh : IBN. Semara M. Dalam tradisi spiritual Nusantara dan Yunani kuno terdapat dua simbol yang sering dianggap sejajar dalam makna mendalamnya: Lingga‑Yoni di Indonesia dan Caduceus di Yunani. Keduanya bukan hanya dekoratif, tetapi juga sarat dengan filosofi tentang kekuatan penciptaan, keseimbangan energi, dan perjalanan spiritual. 1. Lingga‑Yoni — Mewakili Persatuan Makro dan Mikro Lingga (phallus) adalah simbol energi maskulin, kesadaran kosmis, dan kekuatan kehidupan dari sudut pandang Shaivisme. Sementara Yoni (kelahiran) melambangkan energi feminin, kesuburan, dan ruang kelahiran ciptaan kosmis. Bersama-sama, keduanya merepresentasikan penyatuan Purusha (roh) dan Prakriti (materi), penciptaan dan regenerasi alam semesta. Di Bali dan Jawa, simbol ini hadir dalam instalasi dan upacara keagamaan sebagai manifestasi spiritual dan artistik yang dalam. Air suci sering dialirkan melalui yoni, menggamb...