Langsung ke konten utama

Postingan

Dewasa Pawiwahan

Dewasa Pawiwahan: Harmoni Pakem Lontar dan Pengalaman Lapangan Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M. Dalam tradisi Hindu Bali, pawiwahan atau perkawinan bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan sebuah manusa yadnya yang menentukan perjalanan hidup, keturunan, dan keharmonisan keluarga. Karena itu, memilih dewasa ayu pawiwahan (hari baik untuk menikah) menjadi hal yang sangat penting. Penentuan hari baik umumnya berlandaskan pada pakem wariga: perhitungan wewaran (hari pasaran), penanggal (fase bulan), sasih (bulan), dan wuku (mingguan siklus 30 wuku). Namun, dari pengamatan lapangan sejak tahun 1972, terdapat fakta empiris yang memperkaya bahkan terkadang mengoreksi pengetahuan tekstual tersebut. Artikel ini berusaha mempertemukan ajaran lontar dengan pengalaman nyata agar masyarakat mendapatkan panduan yang lebih utuh dan bijak. I. Dasar Pakem Wariga Menurut lontar dan tradisi wariga, dewasa pawiwahan dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1. Wewaran Triwara: Beteng/Sejabaning P...

Banten Pejati

Banten Pejati:  Simbol Visual Proses Penciptaan Alam Semesta dalam Tradisi Hindu Bali  Oleh : IBN. Semara M. Banten Pejati,  jauh lebih dari sekadar persembahan ritual dalam upacara keagamaan Hindu Bali,  merupakan representasi visual yang kaya akan simbolisme,  mencerminkan proses penciptaan alam semesta menurut kosmogoni Bali.  Ia bukan hanya sekadar susunan sesaji,  tetapi sebuah narasi visual yang mengungkap perjalanan kosmis dari ketiadaan hingga manifestasi alam semesta yang megah. Perjalanan ini dimulai dari Nirguna Brahman,  keadaan Tuhan yang tak terdefinisi dan transenden.  Dalam Banten Pejati,  keadaan ini dilambangkan oleh Banten Daksina dengan 13 elemennya.  Setiap elemen,  dari daun kelapa muda (busung) hingga sebutir beras,  mewakili potensi energi dan materi yang belum terdiferensiasi.  Bayangkan,  kehampaan sebelum segala sesuatu ada. Kemudian,  muncullah Saguna Brahman,  manifestasi ...

Cinta Yang Menyamar

  Narsisis: Cinta yang Menyamar, Kuasa yang Bersembunyi Jalan Dharma di Tengah Jerat Ego Oleh : IBN Semara M. Pendahuluan: Cinta yang Membawa Luka Cinta, dalam ajaran Hindu, adalah salah satu ekspresi tertinggi dari kehendak Ilahi. Ia hadir bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai laku. Sebagai jembatan yang menghubungkan dua jiwa dalam rangka pelaksanaan dharma, pertumbuhan karma, dan menuju puncak moksha—kebebasan batiniah. Namun, tak semua yang datang dalam rupa cinta benar-benar berasal dari tempat suci. Tak semua yang terlihat lembut itu tulus. Ada cinta yang menyamar. Ada kasih yang ternyata adalah jerat. Dan dalam dunia batin manusia, salah satu bentuk cinta palsu paling licik adalah cinta dari seorang narsisis. 1. Wajah Narsisisme: Ketika Cinta Menjadi Topeng Seorang narsisis bukan sekadar pribadi yang bangga pada diri sendiri. Narsisme adalah luka batin yang dibungkus topeng keagungan. Mereka tampak percaya diri, menyenangkan, bahkan memukau. Namun di balik s...

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba   Nafas Yadnya di Dalam Diri Kadang kita merasa, yadnya adalah sesuatu yang besar, megah, dan penuh asap dupa yang membumbung ke langit. Kita membayangkannya sebagai upacara, sesajen, bebantenan, mantra, dan serangkaian ritual di pelataran suci. Namun sesungguhnya, yadnya bukan hanya sesuatu yang dilakukan tangan, tetapi juga yang diam-diam tumbuh dari kesadaran. Ia bukan sekadar persembahan luar, tapi lebih dalam lagi—persembahan batin kepada kehidupan. Yadnya bukan hanya ritual. Ia adalah cara semesta mengajarkan manusia untuk hidup dalam ketulusan, pengorbanan tanpa pamrih, dan cinta yang tidak meminta balasan. Ia ada dalam senyum seorang ibu saat menanak nasi, dalam peluh seorang petani yang tak henti mencangkul sawahnya. Dalam diam seorang guru yang terus mengajar walau tak pernah dimuliakan. Yadnya bukan hanya persembahan kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama, kepada alam...

Dialog Kosmik Sains dan Spiritualitas di Era Kontemporer

Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas   Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba. Ketika Stephen Hawking menyatakan bahwa “hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan”, dunia modern gempar. Bagi sebagian orang, pernyataan itu terdengar radikal, bahkan menggugurkan gagasan tentang Tuhan pencipta. Namun, dalam keheningan teks kuno Veda, pertanyaan yang sama telah bergema sejak ribuan tahun lalu. Nasadiya Sukta dari Rigveda (10.129) bertanya penuh ragu: “Apakah ada ketiadaan atau keberadaan di awal? Bahkan para dewa tidak tahu, karena mereka lahir setelah penciptaan.” Di sinilah paradoks kosmik itu berdiri: sains modern dengan keberanian matematisnya, dan Hindu Dharma dengan kedalaman metafisisnya, sama-sama mengakui bahwa misteri asal-usul semesta tidaklah sederhana. Sains menyebut “ketiadaan” sebagai vakum kuantum, ruang hampa yang ternyata penuh dengan energi fluktuatif. Hindu Dharma menyebutnya Nirguna Brahman, realitas tanpa atribut,...
Suara yang Tak Pernah Padam Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.   Pengetahuan Abadi tentang Hakikat Hidup Langit malam di tepi Sungai Sarasvati memantulkan gemintang seperti kepingan api yang abadi. Di sana, ribuan tahun silam, para Rsi mendengar Sruti—bisikan alam semesta yang terangkum dalam Veda. Bukan sekadar kata-kata, melainkan ilmu yang tak lekang zaman. "Na jāyate mriyate vā kadācin…" (Ia tak lahir, tak mati, tak berawal, tak berakhir…) Kalimat itu menggema dalam gelap, menjawab pertanyaan paling purba: Siapa kita sebenarnya?   Sang Atma – Penjelajah Kekal Awan tebal menyelimuti gunung ketika Rsi Vyasa berbisik kepada muridnya: "Kau bukanlah tubuh ini. Kau adalah atma—roh yang abadi, hanya berpakaian daging dan tulang untuk sementara. Seperti baju yang kau ganti, kau pun akan mengenakan kehidupan demi kehidupan…" Sloka Bhagavad Gita 2.20 mengukirnya dalam bahasa suci: "Ia tak pernah lahir, tak akan...

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Sastra

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra Oleh : IBN Semara M. Di dunia yang semakin bergerak cepat, manusia makin terbiasa hidup mengikuti dorongan—keinginan, hasrat, insting. Segala sesuatu ditentukan oleh "apa yang  aku suka ", bukan " apa yang benar".  Dalam ruang batin yang makin kebisingan, ajaran suci perlahan ditinggalkan, digantikan oleh  nafsu  dan  ambisi  yang menyamar menjadi kebutuhan modern. Padahal, dalam Bhagavad Gītā bab 16 śloka 23, Śrī Kṛṣṇa dengan sangat tegas memberi peringatan: yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim "Barang siapa meninggalkan petunjuk śāstra dan bertindak semata-mata menurut hawa nafsunya, ia tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak meraih kebahagiaan, dan tidak sampai pada tujuan tertinggi." Inilah suara kebenaran yang telah bergema sejak ribuan tahun lalu. Suara yang kini semakin jarang didengar. Jalan Yang Ditinggalkan Kata " śāstra-vidhi " berarti ...

Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas

Hawking dan Hindu: Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba "Yang jauh di luar galaksi itu sama dengan yang dekat dalam napasmu." Di era modern, ketika teleskop menembus kegelapan semesta dan fisikawan menelusuri asal-usul segala yang ada, nama Stephen Hawking menjulang sebagai ikon sains yang mencoba memecahkan misteri penciptaan. Namun siapa sangka, pemikiran-pemikiran Hawking tentang asal-usul alam semesta justru menggema kembali dalam kidung-kidung suci Weda yang telah berusia ribuan tahun. Ketika “Ketiadaan” Jadi Pintu Masuk Penciptaan Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa "hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan. " Sebuah kalimat yang bagi banyak ilmuwan terdengar revolusioner —tetapi bagi umat Hindu , ini adalah pengulangan dari pertanyaan yang telah diajukan dalam Nasadiya Sukta dari Rigveda (10.129 ): Nasadiya Sukta (Nāsadīya Sūkta) adalah himne ...